MEMELIHARA  DAN  MEMPERTAHANKAN

MEMELIHARA  DAN  MEMPERTAHANKAN

 

 

 

 

Sumatera Barat, Merdeka

Kepala Negara dalam pidatonya di Sumatera Barat telah mensinyalir tentang salah satu kelemahan bangsa kita. Yakni tidak mampu memelihara sesuatu yang sudah dibangun dengan susah payah. Oleh karena itu diingatkan kembali pada masyarakat agar supaya memupuk sikap bertanggungjawab untuk memelihara pembangunan, terutama proyek-proyek pembangunan fisik.

Ini, dalam konteks kejiwaan, merupakan salah satu unsur dan otokritik. Bila kita ingin menjadi bangsa yang baik, bangsa yang berwatak, bangsa yang memiliki harga diri, pertama-tama kita memang harus menguliti dari diri kita sisik-sisik kelemahan yang melekati tubuh, watak dan jiwa bangsa kita. Kita harus mawas diri, perlu introspeksi terus-menerus, untuk melenyapkan kelemahan-kelemahan yang ada. Mawas diri secara individual, mawas diri secara sosial, dan mawas diri secara nasional.

Di tahun 1950 an dalam pers nasional dan juga pers berbahasa Belanda yang ketika itu masih ada, pernah disiarkan tinjauan dari seorang pengamat Asia tentang salah satu kelemahan bangsa kita. Disebut oleh penulis asing itu bahwa Indonesian are good imitators. Bangsa Indonesia adalah tukang tiru yang baik.

Tuduhan itu dari sudut yang peka bisa membuat kita tak senang. Mengapa dakwaan itu harus ditujukan kepada bangsa kita? Dalam hal apa orang Indonesia suka meniru? Penilaian yang subyektif dan berasal dari orang luar itu bukanlah sesuatu yang mustahil dihubungkan dengan kita. Orang Jepang pun, dari dulu hingga hari ini, dituduh sebagai tukang tiru ekonomi yang paling berani dan paling konsekuen. Mereka meniru semua produk industri Barat, apakah secara legal maupun secara ilegal, untuk membangun kekuatan serta hajat hidup ekonominya sendiri. Bangsa Jepang didakwa sebagai hidup dari peniruan ekonomi.

Lalu mengapa orang Indonesia juga didakwa yang sama, terbatas dan tidak spektakuler tuduhan terhadap orang Jepang, namun sama pahitnya kita rasakan? Kita terutama dinilai sebagai peniru dalam hal tingkah laku, sikap mental, gaya hidup. Jadi kebalikan dari apa yang dinilai mengenai bangsa Jepang.

Tetapi kini lewat sinyalemen Kepala Negara, suatu indikasi mawas diri dinyatakan. Yaitu bahwa sebagai bangsa dan masyarakat, kita tidak mampu memelihara apa yang telah dibangun dengan susah payah. Hal ini bisa saja menyangkut tanggungjawab, sikap mental, kecenderungan vandalistis. Dan sebagainya.

Dalam arti umum kelemahan ini bisa merugikan dan merusak banyak hasil-hasil pembangunan, tidak hanya yang bersifat fisik. Tetapi juga yang bersifat politik, ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan juga hasil pembangunan dalam bidang ideologi sebagai landasan hidup bangsa kita, bisa juga rusak karena tidak terpelihara atau tidak dipertahankan oleh karena kelemahan kita sendiri.

Bukan hanya kelemahan untuk memelihara, ketidakmampuan untuk mempertahankan. Ada tampak gejala-gejala bahwa bangsa kita memiliki kompleks jiwa yang vandalistis menghancurkan apa yang sudah ditemukan atau dibangun. Karya-karya dan prestasi-prestasi generasi pendahulu bukan disinambungkan, dilestarikan dan dipertahankan sebagai karya historis bangsa, tetapi diubah, dirusak, dihancurkan untuk kemudian diganti dengan yang baru. Apa sebabnya demikian?

Pertama, kita tidak berusaha membangun kepribadian yang utuh dan tangguh dan karakter yang teguh perkasa. Kedua, kita belum mempunyai kesadaran yang utuh dan mendasar tentang hakekat, makna dan fungsi sejarah dilihat dari benang merah pertumbuhan bangsa. Dan ketiga, kita menganggap diri bangsa yang besar, bangsa yang bersatu-padu, bangsa yang patriotik. Namun dalam banyak hal kita tidak memaharni diri kita sendiri, tidak setia kepada jiwa dan semangat persatuan, mudah diombang-ambingkan, diadu domba, diterobos secara empuk, dari luar. Tidak mengherankan bila dalam menghadapi proyek-proyek fisik yang terdiri dari batu, kayu atau besi yang bisa diganti, sikap kita juga terlalu gampang dan simpel.

Peringatan di atas meminta agar proses mendewasakan diri secara konsisten dalam semangat hidup dan tanggungjawab sebagai bangsa, perlu kita hidupkan terus, agar pertumbuhan bangsa kita makin terkristalisir dan makin sempurna menghadapi perkembangan abad-abad 689. (LS)

 

 

Sumber: MERDEKA (25/06/1987)

 

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 475-476.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.