Memperjuangkan Pemerataan Hasil Pembangunan

Memperjuangkan Pemerataan Hasil Pembangunan [1]

Rachmat Saleh [2]

 

Menulis catatan berisi kenang-kenangan dalam membantu Presiden Republik Indonesia selama lebih dari duapuluh tahun adalah suatu tantangan yang tidak kecil. Begitu banyak peristiwa dan pengalaman yang meninggalkan kesan mendalam, sehingga tidaklah mudah untuk memilih dan memprioritaskan cuplikan­cuplikan yang dapat disusun dalam sajian yang terbatas panjangnya. Dan dapatlah dimengerti bahwa apa yang saya alami itu hanyalah pengalaman yang terbatas sekali bila dibandingkan dengan apa-apa yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru ini. Lagi pula, saya harus akui, “pengenalan” saya mengenai Pak Harto sangat bertambah setelah membaca buku otobiografi beliau yang berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.

Maka mau tidak mau yang pertama-tama terlintas dalam ingatan saya adalah kejadian dimana hubungan kerja saya dan Pak Harto bermula. Masih terbayang sekali dalam ingatan saya suatu peristiwa yang berlangsung lebih dari 25 tahun yang lalu di Istana Cipanas. Ketika itu saya menjabat Direktur Bank Indonesia. Rasanya suasana sepi-sepi saja di waktu itu, meskipun banyak pejabat berkumpul. Kawan-kawan duduk sambil mengobrol dan cerita yang lucu-lucu, tanpa jelas tugas masing-masing. Gelak tertawa dari kerumunan orang-orang itu tak juga dapat menghindarkan rasa tercekam sekalipun tersembunyi. Maklumlah menteri-menteri, pejabat-pejabat teras kementerian-kementerian dan pucuk pimpinan Bank Indonesia, semuanya ada disitu. Mereka dikumpulkan di Istana Cipanas untuk merumuskan kebijaksanaan yang dirasakan mendesak guna mengatasi kemelut ekonomi. Namun setelah selang beberapa hari pun tetap tidak ada tindak lanjutnya yang harus dikerjakan.

Di Istana Cipanas itulah, menjelang akhir tahun 1965 saya pertama kali melihat dan menyaksikan Pak Harto, yang hadir untuk menyampaikan sambutan dan pandangan pihak Angkatan Bersenjata. Sudah banyak saya dengar dan baca mengenai Pak Harto, namun di situlah pertama kalinya saya menyaksikan beliau. Dan dapatlah dimengerti bahwa saya dan pejabat-pejabat lain yang menggeluti masalah-masalah ekonomi dan keuangan, dengan penuh curiosity ingin mendengarkan tanggapan-tanggapan beliau. Saya ingat, memang tak terlalu panjang uraian Pak Harto ketika itu, namun lain nada dan penyampaiannya dibandingkan dengan pembicara-pembicara yang terdahulu. Maka tidaklah mengherankan bila kesegaran nampak pada wajah para pendengar beliau waktu itu; pandangan yang dikemukakan Pak Harto selaku wakil ABRI itu memang terasa menyegarkan.

Bagaimana tidak. Jika pengarahan para “tokoh ekonomi” sebelumnya masih saja bernada “komando”, “tekanan”, seolah­olah harga-harga dapat turun dengan komando atau barang-barang kebutuhan akan bermunculan di pasar dengan melakukan tekanan­tekanan, maka dalam uraian Pak Harto, untuk pertama kalinya tersirat pendekatan dan pengakuan bahwa kehidupan ekonomi itu tak dapat dilepaskan dari hukum-hukumnya sendiri.

Dengan realistis diuraikan oleh beliau masalah-masalah ekonomi sehari-hari yang sedang dihadapi. Dan dari cara-cara pemecahan yang ditampilkan dalam uraian beliau yang pertama kali itulah kiranya, dalam tahun-tahun selanjutnya, terlahir pendekatan baru. Berdasarkan pandangan itu timbul anggapan bahwa kesulitan ekonomi yang melanda Indonesia pada dewasa itu sebagian seyogyanya dipecahkan dalam “jangka waktu pendek” dan sebagian lagi sebaiknya dipikirkan dan ditangani dalam kurun waktu “jangka panjang”.

*

Pertemuan di Cipanas tersebut memang tidak menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mampu mengatasi kemelut ekonomi pada waktu itu. Yang dihasilkannya adalah tindakan sanering moneter, yaitu nilai m.ata uang diciutkan m. enjadi seperseribunya. Namun bagi saya pertemuan Cipanas itu merupakan permulaan halaman baru yang penting dalam perjalanan kedinasan maupun kehidupan pribadi saya. Sejak itu, selama lebih dari dua puluh tahun, saya mendapat kesempatan untuk membantu ataupun menyaksikan Pak Harto memutuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan, khususnya di bidang ekonomi, yang banyak menyangkut kehidupan Republik Indonesia.

Dari pengalaman-pengalaman selama jangka waktu itulah saya mencoba memetik beberapa peristiwa yang saya nilai paling mengesankan dalam membantu Presiden Republik Indonesia yang kedua ini.

*

Tahun 1966 dapat dicatat sebagai tahun dimana mulai diambil serangkaian kebijaksanaan ekonomi yang meletakkan dasar bagi perkembangan maupun kebijaksanaan ekonomi dua dekade berikutnya. Pak Harto mengumpulkan beberapa pemikir ekonomi usia muda, untuk membantu beliau. Bank Indonesia sering menjadi tempat berkumpul pemikir-pemikir tersebut; merekalah yang dalam masa-masa berikutnya mempunyai pengaruh besar dalam pemikiran kebijaksanaan ekonomi Indonesia. Salah satu tempat dimana mereka sering berkumpul adalah kamar tamu di sebelah ruang kerja saya di.Bank Indonesia. Pada waktu itu yang sering datang bertandang adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Emil Salim,.Subroto dan lain-lain. Bapak Sudharmono SH, yang waktu itu.masih berpangkat letnan kolonel, sering pula mampir.

Banyak kebijaksanaan yang dicetuskan pada masa-masa permulaan Orde Baru. Dari rentetan kebijaksanaan itu, menurut penilaian saya, ada satu kebijaksanaan ekonomi yang patut dicatat sebagai produk yang bersejarah. Kebijaksanaan itu lahir pada tanggal 3 Oktober 1966. Rangkaian kebijaksanaan “deregulasi” yang mulai muncul secara berkesinambungan semenjak tahun 1983 dapatlah kiranya dikatakan bertitik-mula pada kebijaksanaan yang dikeluarkan pada tanggal 3 Oktober 1966 itu. Kebijaksanaan yang lahir pada tanggal itu pada hakikatnya merupakan tindakan deregulasi pertama kali yang mempunyai dampak luas bagi tata laksana ekonomi di Indonesia.

Kalau pada masa-masa sebelumnya impor barang diatur dan ditetapkan berdasarkan alokasi devisa untuk masing-masing jenis atau kategori barang, maka kebijaksanaan 3 Oktober 1966 memberikan kebebasan kepada pelaku-pelaku ekonomi untuk memilih sendiri barang-barang apa yang akan diimpornya berdasarkan penilaiannya tentang kebutuhan pasar, baik berupa barang konsumsi ataupun barang kebutuhan produksi. Memang benar bahwa demi menjaga agar devisa yang terbatas itu hanya digunakan untuk mengimpor barang·barang yang esensial saja, maka barang-barang yang boleh diimpor dibatasi pada apa yang dicantumkan dalam suatu “Daftar lmpor”. Namun demikian pelaku ekonomi dapat memilih sendiri barang apa yang akan diimpornya dari daftar itu.

Sistem yang terdahulu menetapkan suatu alokasi devisa untuk impor barang dimana nilai masing-masing barang yang dapat diimpor besarnya ditetapkan berdasarkan suatu “rencana”. Tidaklah dapat disangkal bahwa sistem tersebut telah banyak menimbulkan kesenjangan dan korupsi. Dan dengan “deregulasi” impor yang ditetapkan pada tanggal 3 Oktober itu, terhapuslah suatu sistem birokratis yang banyak menimbulkan hambatan sekaligus memberikan peluang korupsi dan pilih kasih.

*

Pak Harto adalah manusia yang dikaruniai naluri common sense yang tajam sekali. Masih terbayang jelas di mata saya suasana dan reaksi Pak Harto pada suatu malam ketika serombongan pemikir ekonomi itu mengajukan pemikiran-pemikiran tentang kebijaksanaan deregulasi ini. Dengan cepat sekali beliau menangkap esensi dan konsekuensi dari pemikiran-pemikiran tersebut. Dan kesan demikian ini berulang kali dapat disaksikan dalam·tahun­tahun berikutnya, manakala ada pemikiran-pemikiran kebijaksanaan penting dan mendasar yang diajukan kepada beliau. Diantara begitu banyak kebijaksanaan penting yang memperoleh persetujuan beliau, dapat kita catat kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang perombakan sistem devisa, krisis Pertamina, devaluasi dan lain sebagainya. Dan berdasarkan pemahaman secara mendalam tentang esensi dan konsekuensinya, Pak Harto menerima usulan-usulan serta memberikan “pengamanan” politis yang diperlukan. “Keadaan simbiosis” demikian ini pulalah yang sering mendapat kajian oleh para ahli dan negarawan di luar negeri, khususnya sesama negara berkembang, disertai “warna” iri mengapa hal serupa tak dapat terciptakan di negeri mereka sendiri.

*

Tahun 1973 cepat ditandai oleh masalah pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan pembagian hasil pembangunan ekonomi. Dari uraian-uraian beliau tertangkap bahwa Pak Harto Paham sekali dan mendambakan pemerataan itu. Maka sewaktu Bank lndonesia mengajukan gagasan kebijaksanaan khusus untuk rmembantu golongan pribumi, khususnya pengusaha-pengusahanya yang lemah —dan ini terjadi jauh sebelum peristiwa Malari— dengan cepat dan tegas sekali Bapak Presiden memberikan restu beliau. Maka lahirlah Kebijaksanaan Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) dan persyaratan tambahan kredit investasi untuk mendorong pengusaha-pengusaha pribumi mengejar ketinggalan mereka.

*

Dalam memikir-mikirkan kembali kebiasaan maupun “gaya kepeinipinan” Pak Harto, mau tidak mau saya teringat akan satu hal  yang.sulit ataupun jarang sekali saya jumpai pada pribadi-pribadi lain.

Saya mempunyai kesimpulan bahwa Pak Harto adalah pribadi yang sangat berhasil dalam mengendalikan emosi beliau. Hal ini terlihat pada kemampuan beliau untuk tidak memperlihatkan kemarahan ataupun ketidaksenangannya mengenai seseorang, sesuatu tindakan ataupun peristiwa. Kekecewaan yang dirasakan mengenai hal-hal yang demikian boleh dikatakan tidak pernah diperlihatkan beliau kepada orang lain. Sifat ataupun gaya yang demikian ini saya akui sebagai sesuatu yang sulit saya tiru, dan sifat tersebut ”menenangkan” bagi bawahan. Namun demikian terkadang terasa juga sulitnya bagi bawahan untuk menduga kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya dan tidak berkenan di hati beliau. Terkadang para pembantu beliau harus mendengar dari teman-teman yang lain bahwa Bapak Presiden tidak menyenangi sesuatu hal.

*

Sementara kalangan memberikan “nasihat” kepada saya tentang bantuan yang perlu diberikan kepada teman-teman ataupun keluarga Presiden yang bergerak di bidang usaha. Maka sewaktu saya diangkat menjadi Gubernur Bank Indonesia, tentang hal inilah yang pertama-tama saya minta petunjuk Pak Harto: “Bagaimana saya harus memperlakukannya, jika ada permintaan-permintaan seperti itu.” Jawaban beliau: “Kalau anda mendapat permintaan untuk sesuatu fasilitas usaha dari teman, pembantu-pembantu atau keluarga saya, saya harap Saudara mempertimbangkannya seperti biasa saja. Kalau semuanya sejalan dengan peraturan-peraturan serta ketentuan-ketentuan yang ada, dan permohonan itu memang yang terbaik, ya, saya harap dibantu. Tidak perlu Saudara memperlakukannya secara khusus atau diistimewakan dari peraturan-peraturan yang ada. Kalau ada sesuatu yang saya anggap perlu diberikan perlakuan khusus, maka saya yang akan langsung memintanya kepada Saudara!” Jelas sekali. Dan tak satu kalipun saya menerima pesanan dari Pak Harto.

Akan banyaklah lagi peristiwa-peristiwa yang menggambarkan kepemimpinan Pak Harto yang dapat saya kutip di sini. Namun ada sekelumit kenangan yang saya simpan dari suatu percakapan yang tidak bersifat kedinasan; percakapan ini saya nilai unik sekali. Percakapan yang bagi saya pribadi sangat meninggalkan kesan ini berlangsung tidak lama setelah timbulnya peristiwa Malari.

Pada suatu malam, Ali Wardhana, Menteri Keuangan pada waktu itu, dan saya menghadap Pak Harto di kediaman Jalan Cendana untuk melaporkan beberapa hal. Suasana malam itu santai sekali, dan setelah rampung pembicaraan soal-soal dinas, Pak Harto dengan santai bercerita. Cerita beliau masih bersangkutan dengan apa yang baru dialami negara, yaitu ketegangan-ketegangan rasial yang terjadi selama beberapa hari, khususnya di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Pak Harto menceritakan segala ihwalnya, analisa beliau mengenai sebab-musabab dan rentetan peristiwanya.

Tertegunlah saya sewaktu tanpa diduga-duga Pak Harto “berfilsafat” tentang suatu hal yang sangat menarik, yaitu topik yang akhir-akhir inipun sering disinggung-singgung. Topiknya adalah menyangkut masalah suksesi. Sambil mengingat-ingat peristiwa­peristiwa yang mengawali dan yang berlangsung sekitar pecahnya G-30-S/PKI, terlontarlah kata-kata beliau yang kurang lebih berbunyi: “Di Indonesia ini ada caranya tersendiri orang akan menjadi Presiden. Yang akan memimpin negeri ini bukanlah orang yang dipersiapkan ataupun orang yang mempersiapkan diri. Pemimpin itu akan muncul dengan sendirinya”. Yang ikut hadirpun terkesan sekali dengan ucapan spontan yang tidak terduga sama sekali ini

***



[1]     Rachmat Saleh, “Memperjuangkan Pemerataan Hasil Pembangunan”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 523-529.

[2]     Gubernur Bank Sentral masa bakti 1973-1983; dan Menteri Perdagangan masa bakti 1983-1988

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.