Emil Salim: Pak Harto Berprinsip Menang Tanpa Ngasorake (Bagian 2)

Menang Tanpa Ngasorake (Bagian 2)[1]

Emil Salim[2]

 

Perhatian Pak Harto agak beragam, tidak hanya terbatas pada masalah-masalah besar, tetapi juga pada masalah-masalah praktis. Saya masih ingat ketika pada suatu hari di tahun 1967 berlangsung peragaan pakaian bagi para pejabat dalam acara mirip mode-show. Setelah menyaksikan peragaan pakaian itulah Pak Harto memutuskan bahwa pakaian kerja sehari-hari bukan lagi jas atau kemeja berdasi, tetapi pakaian sipil harian, mirip pakaian safari berlengan pendek, dan pakaian sipil resmi berlengan panjang. Sedangkan untuk acara-protokol resmi di luar negeri dipakai jas tutup dengan kain songket pendek melingkari pinggang.

Di bulan September 1971 saya diangkat menjadi Wakil Ketua Bappenas merangkap Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara. Pak Harto meminta agar aparatur negara bisa dikembangkan mengikuti fungsi staf, fungsi pelaksana dan fungsi pengawasan melaksanakan suatu siklus kerja yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengawasan.

Sederhana tugas yang diberikan ini, namun setelah terjun beberapa bulan dalam bidang Aparatur Negara, segera saya sadari bahwa masalah yang dihadapi tidaklah sederhana. Untuk tahap perencanaan ini mekanisme Daftar Isian Proyek disempurnakan bersama dengan Departemen Keuangan mendorong aparatur untuk mengungkapkan dengan jelas apa yang mau direncanakan. Dalam mengembangkan fungsi pelaksanaan dirasa perlu, bersama dengan Kantor Urusan Pegawai, Lembaga Administrasi Negara dan Departemen Keuangan memperbaiki sistem gaji yang semula memuat banyak tunjangan dengan gaji pokok yang rendah. Gaji pokok dinaikkan, berbagai tunjangan dirasionalisasi; dan tunjangan anak dibatasi dari semula tidak terbatas dalam rangka penerapan kebijakan Beyond Family Planning menjadi terbatas hanya pada tiga anak; sedangkan dalam bidang pengawasan tampak menonjol pentingnya perencanaan formasi kepegawaian dijaga ketat, untuk menutup terbuka peluang bagi tumbuhnya pegawai fiktif.

Selama satu setengah tahun menjabat tugas Menpan, kentaralah betapa Pak Harto ingin agar aparat sipil dikembangkan secara sistematis seperti halnya dengan aparat militer, terutama dalam pengawasan oleh atasan langsung. Jika built-in control atau pengawasan melekat ini terwujud, maka penyimpangan bisa dikurangi. “Pengawasan bukan mencari-cari kesalahan, tetapi adalah bagian dari manajemen”. ltulah yang selalu beliau pesankan ketika pengawasan digalakkan.

Ketika dalam Kabinet Pembangunan III (1978-1983) saya ditugasi urusan pengawasan pembangunan disamping lingkungan hidup, maka kembali pengawasan melekat beliau minta untuk diperhatikan. Dalam melaksanakan tugas pengawasan, salah satu hal penting yang perlu dikembangkan adalah mengatasi masalah konflik kepentingan (conflict of interest) di kalangan pejabat. Sayang waktu terlalu singkat untuk merampungkan masalah ini.

Di bulan Maret 1973 saya dipanggil Pak Harto untuk memperoleh tugas baru selaku Menteri Perhubungan, Komunikasi dan Pariwisata. Fokus perhatian Pak Harto ketika itu adalah pada pembangunan Wawasan Nusantara. Hingga tahun 1973 beliau telah menelusuri praktis semua wilayah tanah air. Dan satu hal yang beliau rasakan strategis untuk dibangun adalah sistem transportasi dan komunikasi yang menunjang persatuan dan kesatuan wawasan nusantara. Besar keprihatinan beliau menyaksikan sulitnya angkutan di daerah Indonesia bagian timur, khususnya Irian Jaya.

Besar tantangan yang Pak Harto berikan. Dan ini harus diusahakan dalam keadaan negara masih kekurangan dana. Dalam keadaan begini, maka jaringan telekomunikasi merupakan alat yang relatif cepat bisa menghubungkan Nusantara Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dan teknologi sudah mengembangkan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD). Tetapi sistem ini belum pernah digunakan di negara berkembang Lagipula yang mengembangkan sistem satelit baru beberapa negara. Tetapi yang paling sulit adalah memecahkan masalah biaya, lebih-lebih bagi Indonesia yang sedang digoncangkan krisis keuangan Pertamina.

Menghadapi persoalan yang cukup rumit, keputusan sangat ditentukan oleh political will pemimpin. Dalam hal ini Pak Harto sudah jelas arah strateginya. Beliau ambil keputusan berani membangun sisiem satelit domestik dengan kredit Exim Bank, Amerika Serikat, yang membatasi tender pada supplier Amerika Serikat. “Dalam pembangunan selalu ada risiko. Soalnya adalah pandai mengambil risiko dengan perhitungan yang matang”, pesan beliau ketika SKSD ditetapkan.

Proses pengadaan SKSD ini sempat membangkitkan kecurigaan pers yang menuduh adanya korupsi dalam aparat Departemen Perhubungan. Oleh karena itu saya merasa perlu melaporkan secara terperinci proses tender, penilaian dan sistem pengadaan satelit.

Beberapa waktu kemudian, di tahun 1976, di gedung DPR dengan disaksikan oleh Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX, para menteri, dan anggota DPR, Pak Harto mencabut keris yang dihubungkan secara elektronik dengan tombol sebagai pertanda diresmikannya SKSD yang diberi nama ”Palapa” oleh beliau. Secara simbolis Pak Harto menelepon Gubernur Aceh di belahan Indonesia bagian barat dan Gubernur Irian Jaya di belahan Indonesia bagian timur.

Setelah telekomunikasi, maka alat kedua yang bisa mempercepat .hubungan antar pulau adalah penerbangan. Disamping mengembangkan armada Garuda, perhatian besar dicurahkan Pak Harto kepada pengembangan armada perintis penerbangan. Beliau mendukung pembelian 22 pesawat Twin Otter, yang kemudian menghubungkan daerah-daerah pedalaman Irian Jaya, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku. Cita-cita beliau adalah semua ibu-kota propinsi berada di jalur penerbangan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, sehingga tersusun sistem angkutan udara yang mencakup jalur utama (trunk line) dan dirangkai dengan jalur penunjang (feeder line).

Sedangkan di bidang angkutan laut, pola yang serupa diterapkan dengan jalur utama menghubungi kota-kota besar di tepi pantai ditunjang oleh jalur penunjang yang memasok jalur utama. Untuk mengembangkan jalur penunjang dikembangkan armada perintis pelayaran dengan mengutamakan provinsi-provinsi berkepulauan seperti Riau, Maluku, dan Irian Jaya.

Disamping pengembangan investasi dalam sarana telekomunikasi dan angkutan, tak kurang pentingnya adalah mengembangkan sistem tarif yang sehat. Apabila kurs devisa cepat naik di masa itu, maka ongkos pengadaan suku cadang yang masih diimpor ikut pula naik, sehingga tarif perlu disesuaikan. Tapi menaikkan tarif angkutan telekomunikasi bukanlah hal yang populer. Lebih-lebih mengingat bahwa kenaikan tarif bis kota di tahun 1965 pernah menyulut demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran. Sebaliknya bila tarif angkutan tidak dinaikkan, maka pengadaan suku cadang dan usaha perawatan terganggu, kecuali jika diberikan subsidi oleh pemerintah. Tetapi dana keuangan negara inilah yang menjadi kendala besar di masa itu.

Memilih alternatif yang terbaik dari rupa-rupa alternatif yang sulit adalah tugas Presiden yang tidak ringan. Sebelum mengambil keputusan tentang tarif, satu hal selalu beliau pesankan agar dalam menyusun struktur tarif senantiasa diusahakan supaya tidak sampai memberatkan konsumen rakyat kecil.

Provinsi Bali merupakan daerah yang tidak memiliki sumber mineral yang berarti bagi pengembangan industri. Tetapi Bali memiliki masyarakat yang kreatif dan artistik, sehingga pariwisata dapat menjadi motor penggerak pembangunan Bali. Pak Harto memesankan agar pariwisata Bali dikembangkan dengan mengindahkan dua kendala. Pertama, jangan sampai pariwisata merusak masyarakat Bali. Kedua, jangan sampai ia merusak tanah sawah yang subur.

Dengan mengindahkan dua kendala inilah, Nusa Dua dikembangkan sebagai sentra pengembangan hotel-hotel internasional di Bali. Daerah Nusa Dua terdiri dari tanah kapur yang kering dan tidak subur. Letaknya cukup terpisah, sehingga hotel-hotel dapat dikonsentrasikan di sini. Dari sinilah wisatawan diangkut menelusuri pulau Bali. Dengan begitu bisa dihindari pembangunan hotel-hotel internasional tersebar secara semrawut di daerah, dan bisa dicegah hal-hal yang mengganggu tempat ibadah masyarakat Bali dan merusak landsekap pulau Bali yang indah itu. Sedangkan permintaan tour-operator asing untuk diizinkan menyelenggarakan sex-tour dengan mentah-mentah  ditolak.

Akhir Maret 1978 saya dipanggil Presiden untuk memperoleh tugas baru di bidang Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Indonesia adalah, mungkin, negara yang pertama yang mengangkat menteri yang ditugaskan mengurus lingkungan ketika itu. Banyak orang, termasuk saya sendiri, heran bertanya apa dan bagaimana lingkungan hidup itu. Lebih-lebih karena “binatang” lingkungan hidup itu belum dikenal. Saya sendiri surprised ketika Pak Harto menjelaskan pentingnya lingkungan hidup dipelihara. Pembangunan yang kita laksanakan tidak boleh merusak lingkungan hidup tetapi harus dijaga keutuhannya, sehingga lingkungan Indonesia dapat diwariskan secara utuh kepada anak-cucu kita.

Jauh jangkauan penglihatan ini. Tidak semua negara memiliki seorang menteri yang menangani masalah lingkungan hidup. Baru di tahun 1990 Presiden George Bush mengangkat seorang menteri Lingkungan dalam kabinet pemerintahannya. Selama ini Amerika Serikat hanya mempunyai Environmental Protection Agency yang kepalanya tidak punya status anggota kabinet. Juga pemerintah Uni Sovyet sampai sekarang belum mempunyai jabatan Menteri Lingkungan, sehingga masalah lingkungan ditangani oleh berbagai pihak. Dalam konperensi-konperensi internasional yang membahas masalah lingkungan, Uni Sovyet diwakili oleh Deputi Menteri Luar Negeri-nya.

Para pengamat lingkungan hidup di luar negeri menyambut gembira kehadiran seorang anggota kabinet yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup, karena Indonesia mempunyai hutan hujan tropis yang terluas di kawasan Asia ini. Bersama-sama dengan Zaire di Afrika dan Brazilia di Amerika Latin, ketiga negara ini memiliki 65% dari luas.hutan hujan tropis yang masih utuh di dunia. Dan·peranan hutan sangat penting sebagai paru-paru bumi ini, sehingga perlu dipelihara kelestarian fungsinya. Tetapi, sebaliknya, hutan hujan tropis Indonesia bersama dengan sumber alam lainnya juga penting untuk pembangunan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bagaimanakah memecahkan konflik antara lingkungan dan pembangunan ini?

Pesan Pak Harto menanggapi konflik ini adalah lingkungan dilarutkan dalam pembangunan. Tujuan jangka panjang pembangunan tidak mengejar kemajuan lahiriah saja, seperti kecukupan pangan, sandang, papan, dan sebagainya, juga tidak rnengejar kepuasan batiniah saja, seperti rasa keadilan, ketenteramam dan sebagainya. Tujuan pembangunan jangka panjang Indonesia harus tertuju pada terciptanya keselarasan antara kemajuan lahiriah dan batiniah, keserasian antara kemajuan spiritual dan material. Tujuan jangka panjang pembangunan Indonesia adalah membentuk manusia Indonesia seutuhnya, yang memuat ciri-ciri keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, keselarasan hubungan manusia dengan masyarakat dan keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan alam. “Jij  pegang ini sebagai pedoman,·seperti digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.” Demikian tanggapan Pak Harto tentang apa dan mengapa lingkungan hidup itu.

Sangatlah menarik bahwa visi pembangunan seperti diuraikan ini diterima pula oleh World Commission on Environment and Development, dimana Indonesia menjadi salah satu dari 22 wakil negara-negara, dan dituangkan dalam laporan berjudul “Hari Depan Kita Bersama”. Melarutkan lingkungan dalam pembangunan adalah pokok pendekatan Indonesia dalam menanggapi tantangan pembangunan. Dan di luar negeri pandangan akhir-akhir ini dikonsepsionalkan dalam pqla “Pembangunan Berkelanjutan” atau Sustainable Development, yakni pola pembangunan yang ditopang oleh berkelanjutannya fungsi sumber alam dan lingkungan hidup.

Bagi Indonesia ini bukan sekedar teori. Ketika di daerah Banyu Asin, Sumatera Selatan, ratusan ekor gajah memporak-porandakan rumah-rumah transmigran, maka perintah Presiden adalah “selamatkan penduduk dan selamatkan gajah!” Berkat bantuan TNI-AD dilaksanakan “Operasi Ganesha” (1982) yang berhasil menggiring 230 ekor gajah ke luar·daerah transmigrasi masuk hutan lindung.

Sebagai seorang yang lahir dan mengalami masa kanak-kanak di desa, bagi Pak Harto memelihara lingkungan hidup bukanlah kosmetik sebagai perias muka Indonesia terhadap luar negeri: Beliau menghayati hidup dalam lingkungan alam yang asri. Rekreasi beliau adalah kegiatan yang membawa beliau berhubungan dengan alam. Karena itulah beliau suka memancing ikan di laut, jauh dari keributan kehidupan kota. Beliau memiliki kawasan pertanian di Tapos, menyilangkan ternak, mengolah kotoran sapi menjadi biogas. Ringkasnya, beliau mencintai lingkungan hidup.

Tetapi Pak Harto adalah pula Presiden dari negara yang rakyatnya masih miskin. Tiga puluh juta penduduk masih berada dibawah garis kemiskinan (1987). Karena itu sumber bumi dan kakayaan alam harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maka yang beliau dambakan adalah keserasian antara pembangunan dengan kelestarian fungsi lingkungan, yang kemudian dirumuskan dalam GBHN 1988, sebagai pola pembangunan berkelanjutan. Dan dalam UU no. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok mengenai Pengelolaan Lingkungan, disebut juga pola “Pembangunan Berwawasan Lingkungan”.

Namun tidak terelakkan bahwa kadang-kadang timbul konflik antara kegiatan pembangunan di bawah departemen-departemen dengan kepentingan lingkungan. Sejauh mungkin saya berusaha mencari pemecahannya antara sesama menteri. Namun apabila beda pendapat sukar dipertemukan, maka kepada Presidenlah masalah perbenturan kepentingan ini diajukan. Ada kalanya saya dibenarkan,  ada kalanya tidak. Namun sampai sekarang tidak saya alami diambilnya keputusan yang merugikan lingkungan hidup terlalu besar.

Sering orang asing bertanya kepada saya bagaimana masyarakat Indonesia bisa begitu luas kesadarannya tentang lingkungan hidup. Maka saya menjawab bahwa di negara berkembang peranan pemimpin yang tertinggi sangat menentukan. Indonesia memiliki Presiden sebagai pemimpin tertinggi yang committed pada lingkungan hidup.

Hal ini tidak berarti bahwa pengembangan lingkungan berjalan mulus. Cukup banyak kejadian yang menimbulkan kerusakan lingkungan. Dan ini sering disebabkan oleh ketidakpahaman aparat, tidak dilaksanakannya ketentuan peraturan secara konsekuen, atau perbuatan oknum yang menyimpang. Jalan keluar yang ditunjuk oleh Pak Harto adalah meningkatkan penyuluhan, penerangan dan tindakan penegakan hukum.

Namun secara obyektif masalah lingkungan semakin rawan akibat tekanan penduduk yang semakin bertambah pula. Sungguh pun program keluarga berencana berhasil menurunkan tingkat kelahiran penduduk, namun peningkatan pendapatan dan perbaikan kesehatan telah berhasil menurunkan tingkat kematian lebih cepat lagi. Akibatnya adalah bertambahnya penduduk Indonesia yang diperkirakan bakal berlanjut sampai pertengahan abad ke-21 pada saat penduduk Indonesia diperkirakan naik dari 178 juta jiwa (1989) menjadi 212 juta jiwa (2000) dan 290 juta jiwa (2030).

Penduduk yang bertambah ini memerlukan pangan, sandang, papan, lapangan kerja, dan sebagainya. Dan untuk menghasilkan ini semua dibutuhkan sumber alam. Karena itu bisa diramalkan bahwa faktor kependudukan akan memberi tekanan pada sumber alam dan lingkungan hidup. Agaknya pikiran ini sudah terpancang lama dalam diri Pak Harto. Sementara permasalahan jangka pendek sudah berhasil beliau pecahkan, seperti kecukupan pangan dan sandang, maka perhatian beliau semakin banyak dicurahkan pada masalah-masalah jangka panjang seperti perkembangan teknologi, peranan wanita, pemukiman, lingkungan hidup dan kependudukan. (Bersambung).

***



[1] Emil Salim, “Menang Tanpa Ngasorake”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 385-402. Red: Menang Tanpa Ngasorake (Jawa): “Menang tanpa pihak lawan merasa terkalahkan/terendahkan/terlecehkan”.

[2]  Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam Kabinet Pembangunan V

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.