MENGABDI SEBESAR-BESARNYA UNTUK KEPENTINGAN RAKYAT

MENGABDI SEBESAR-BESARNYA UNTUK KEPENTINGAN RAKYAT

 

 

Jakarta, Pelita

Ulang tahun Presiden Soeharto senantiasa dirayakan hanya dalam lingkungan keluarga. Ulang tahunnya ke-69 pada tanggal 8 Juni, hari Jumat lalu,juga diperingati di lingkungan keluarga. Pada hari Sabtu, Presiden Soeharto hadir dalam upacara penyerahan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun Klender di Jakarta . Pada kesempatan menyambut, Direktur Utama Perum Perumnas Suradi Wongsohartono, maupun Gubernur Jakarta Raya, Wiyogo Atmodarminto, lebih dulu menyampaikan ucapan selamat ulang tahun kepada Presiden.

Atas ucapan selamat itulah, kemudian Kepala Negara menjawab dan menyinggung usianya yang kini telah memasuki hari senja. Presiden berkata: “Satu tahun lagi saya sudah akan memasuki umur 70 tahun, walaupun sekarang pun menurut perhitungan tahun Jawa, saya sudah masuk usia 71 tahun”.

“Mudah-mudahan, saya pun menyadari akan umur itu dan tidak perlu Saudara-saudara ragu-ragu di dalam melihat, memandang apa yang saya lakukan dalam menghadapi kehidupan saya memasuki hari senja, kalau sudah memang hukum daripada hidup demikian”.

“Oleh sebab itu, saya berterima kasih atas doa restu dari pada Saudara dan rakyat Indonesia.”

Lebih jauh, dalam sambutan tanpa teks itu, Presiden Soeharto menyatakan “Saya hanya ingin menggunakan sisa kepercayaan rakyat ini untuk mengabdi sebesar-besamya kepada rakyat”.

Baik mereka yang hadir, maupun kita yang mengikutinya lewat siaran televisi atau membaca dalam surat kabar, terharu oleh ucapan spontan Kepala Negara.

Pekerjaan, terutama tanggungjawab seorang Presiden dari suatu negara kepulauan yang luas dan berpenduduk 175 juta serta bermasyarakat majemuk, bukanlah peketjaan yang ringan.

Dalam momen-momen tertentu, bobot tanggungjawab itu tampil secara akumulatif. Momen semacam itu di antaranya, pada saat memperingati dan mensyukuri ulang tahun, terutama ulang tahun dalam, usia senja 69 tahun.

Pemyataan spontan Kepala Negara adalah pemyataan manusiawi yang mendalam dan tulus dan karena itulah, kita ikut hanyut dalam keharuan serta rasa syukur.

Tidaklah disangsikan, selama ini, terutama dalam kedudukan sebagai Pengemban Super Semar, sebagai Pemimpin Bangsa, sebagai Kepala Negara, Presiden Soeharto bekerja “untuk inengabdi sebesar­ besamya kepada rakyat”.

Jika sebagian besar hidupnya telah diabdikan untuk pengabdian, dan pengabdian itu, untuk ukuran manusia yang daif, membawa keberhasilan-keberhasilan, tidak ada alasan untuk meragukan kelanjutannya.

Setiap orang mempunyai naluri untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Bukan hanya bangsa Romawi yang memiliki kebajikan bahwa akhir yang baik, merupakan mahkota panggilan pekerjaan.

Adalah juga naluri kuat setiap insan, kesadaran tentang tanggung jawab semakin peka, tatkala usia-usia senja mulai dilalui. Sebab menurut hukum kehidupan seperti yang dikutip oleh Presiden hal itu berarti, waktu untuk berbuat jas a, tidak banyak lagi.

Pada pemimpin, kesadaran akan tugas pada usia senja itu, bahkan diperkaya dan diperkuat oleh kesadaran sejar ah dalam pengertian, kesadaran untuk menjaga, agar karya besar yang dihasilkan mengatasi ruang dan waktu, merupakan warisan, monumen, sekaligus modal akumulatif untuk kelanjutan yang semakin mendekati perwujudan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.

TATKALA di satu pihak, bangsa-bangsa melangkah maju, berkejaran kemajuan dalam kerja sama dan dalam kompetisi, akan tetapi juga, ketika bangsa-bangsa dan benua terlempar dalam arus-arus perubahan besar, kesadaran akan sejarah dalam kehidupan bangsa, bertambah kuat. Apa jadinya, jika suatu bangsa masuk dalam gelombangnya arus perubahan, tanpa kesadaran sejarah, yang berarti tanpa akar, tanpa pegangan hidup dan tanpa arah hidup yang mengatasi ruang dan waktu dan yang betapapun gegap gempitanya, akan sanggup menjinakkan arus-arus perubahan itu demi sebesar-besarnya kesejahteraan bangsanya dan umat manusia.

Arus balik yang sedang melanda dunia adalah arus balik menemukan kembali jati diri manusia, kemanusiaan, peradaban, kebudayaan, kehidupan.

Dengan menggunakan perangkat kebudayaan kita sendiri, dengan mengalami pasang surut, kekurangan dan kelemahan, melalui pembangunan, kita memberikan kontribusi kepada arus balik itu.

DALAM kepercayaan kita yang tanpa sangsi kepada kepemimpinan Presiden Soeharto, bagaimana kita menempatkan pendapat yang berbeda, adu argumen, kritik dan kontrol terhadap kebijakan maupun realisasi kebijakan, bahkan juga terhadap hal-hal yang tak berkenan.

Baik dalam kebudayaan politik kita, dalam sistem sosial politik kita, dalam neraca perhitungan keberhasilan dan kegagalan, kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan, sikap kritis itu berfungsi semata­mata, agar komitmen pengabdian sebesar-besamya kepada rakyat, terlaksana secara optimal.

Pandangan yang berbeda, adu argumen, kritik dan kontrol, sikap kritis, tidaklah berfungsi menggugat, mendiskreditkan, menjatuhkan atau mengganti, melainkan memperkukuh dan semakin memperbaiki.

Baik sebagai rasa syukur, maupun demi kelanjutan keberhasilan­keberhasilan yang bersejarah, kita semua mempunyai kepentingan, agar pengabdian sebesar-besarnya kepada rakyat yang menjadi komitmen Presiden Soeharto, berhasil sampai akhir.

Ketulusan dan keikhlasan yang tidak disertai pamrih politik, justru harus sanggup menyampaikan isyarat-isyarat yang diperlukan oleh sang pemimpin. Itulah makna doa dan restu yang sejati.

Doa dan restu itulah yang kiranya dengan ikhlas diberikan oleh rakyat kepada Presiden, sesuai dengan harapannya pada sambutan spontan pada upacara penyerahan sertifikat hak milik atas Rumah Susun Klender, Jakarta, pada hari Sabtu lalu.

 

 

Sumber : PELITA (11/06/1990)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 497-501.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.