MENGENAL PAK HARTO DARI DEKAT [1]
Djakarta, Angkatan Bersenjata
Peribahasa “alon-alon asal kelakon” (pelan-pelan tetapi penuh kepastian akan berhasil) sebagai lawan dari peribahasa “kebat keliwat” (cepat tapi lolos), adalah merupakan falsafah yang selalu menjadi pegangan kerja bangsa Indonesia, khususnya berasal dari suku Jawa.
Yang dimaksud dengan “alon-alon” adalah suatu sikap dan tindakan yang didasarkan atas ketelitian yang menjamin berhasilnya suatu pola pemikiran terhadap suatu masalah secara maksimal.
Dalam hal ini yang terpenting adalah kelakonnya (tercapainya tujuan) sehingga pelaksanaannya berhasil, daripada bertindak buru-buru tanpa guna seperti digambarkan peribahasa kebalikannya yaitu “kebat keliwat” (cepat tapi lolos).
1 Oktober 1965
Tanggal 1 Oktober 1965 pagi-pagi saya mendapat berita dari Sekretaris RT saya (waktu itu saya menjadi Ketua RT di Jalan H. Agus Salim) yaitu Sdr. Mashuri dan Sdr. Hamid, yang kemudian datang pula menyusul Sdr. Brato Kusmarjo mengenai terjadinya penculikan terhadap diri beberapa perwira tinggi TNI/AD.
Setelah berita itu saya check kebenarannya, saya terus berkesimpulan bahwa pimpinan Angkatan Darat pada waktu itu kosong. Pada saat itu saya memberanikan diri untuk mengambil alih karena biasanya apabila pimpinan Angkatan Darat (Jenderal A. Yani) tidak ada di tempat atau berhalangan maka saya selalu yang mewakili.
Saya segera berpakaian dinas dan pergi ke Markas Besar Kostrad di Jalan Merdeka Timur. Pada waktu itu saya juga melihat adanya banyak pasukan di sekitar Monas dan Istana. Waktu itu di Jakarta sedang ada dua batalyon dari luar Jakarta, yaitu Batalyon 530 dari Jawa Timur dan Batalyon 454 dari Jawa Tengah yang dipersiapkan untuk ikut merayakan peringatan Hari Ulang Tahun 5 Oktober 1965.
Waktu itu saya masih belum tahu pasti siapa sebenarnya yang memerintahkan pasukan-pasukan ini berada di sekitar Monas dan Istana. Sesudah ada pengumuman dari RRI mengenai adanya gerakan yang dipimpin oleh Letkol Untung dengan pengumumannya antara lain bahwa pangkat tentara yang paling tinggi hanya Letkol. dan makin jelas lagi setelah ada pengumuman berikutnya mengenai susunan Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Letkol Untung, maka saya telah bisa menduga dengan jelas, bahwa gerakan yang dilakukan oleh Untung Cs adalah gerakan yang didalangi oleh PKI.
Melihat kejadian ini saya terus berusaha memisahkan kedua batalyon 530 dan 454 dari komando Untung Cs. Kedua komandan batalyon tersebut tidak ada ditempat sehingga yang saya panggil adalah wakil. Setelah kedua wakil komandan batalyon tersebut menghadap saya, kemudian saya beri penjelasan yang sebenarnya bahwa perintah yang mereka untuk menjaga keselamatan Bung Karno dari kup Dewan Jenderal adalah sama sekali tidak betul. Presiden Sukarno tidak ada di Istana, kalian hanya diperalat oleh Untung dan kawan-kawannya.
Kedua wakil komandan batalyon tersebut dapat memahami penjelasan saya, kemudian saya perintahkan agar semua pasukannya melapor ke Kostrad. Batalyon 530 seluruhnya kemudian melaporkan diri kepada Kostrad, sedangkan Batalyon 454 yang diberi waktu sampai jam 6 sore ternyata yang melapor hanya separo, sedangkan separo lagi melarikan diri ke Halim untuk menggabungkan diri dengan Untung Cs.
Menghadapi situasi pada waktu itu saya tidak buru-buru mengambil tindakan militer, seperti perlawanan dan sebagainya. Waktu ini saya lebih banyak bersikap diam dan memberikan waktu sampai jam 6 sore. Hal tersebut sengaja saya lakukan agar Dntung Cs terus mengumumkan mengenai gerakannya dan susunan Dewan Revolusinya.
Dengan demikian maka rakyat juga makin tahu masalah yang sebenamya, yaitu bahwa kejadian atau peristiwa Untung Cs itu bukanlah masalah intern Angkatan Darat saja, tetapi adalah masalah nasional.
Sesudah semuanya jelas, maka pada malam harinya sekitar jam 19.00 RRI saya perintahkan untuk direbut kembali, sehingga pada jam 20.000 saya terus mengumumkan bahwa:
- Telah terjadi penculikan terhadap Perwira-perwira tinggi Angkatan Darat yang belum diketahui nasibnya.
- Adanya Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Let. Kol Dntung yang semuanya ini didalangi oleh PKI.
Saya mengenal Untung karena saya pernah menjadi atasannya langsung. Untung adalah bekas komandan Seksi dalam Batalyon Digdo yang waktu itu berasrama di Kleco/Solo. Batalyon ini adalah merupakan kader-kader PKI.
Pada waktu saya memegang pimpinan komando Angkatan Darat dan Panglima Kostrad dan setelah saya menerima pernyataan dari semua Panglima Angkatan bahwa semua Angkatan bersedia di bawah komando saya, maka pada waktu itu saya mengeluarkan perintah sebagai berikut:
- Semua pasukan tinggal/siap di tempat,
- Gerakan pasukan tunggu perintah dari saya.
Didalam pelaksanaan komando ini bagi saya yang penting adalah tercapainya tujuan dengan prinsip bahwa Pancasila harus diselamatkan. Jadi dalam menghadapi situasi ini kita dihadapkan pada pilihan, mau “kebat asal kelakon”, atau lebih baik bertindak pelan tetapi pasti daripada bertindak buru-buru tanpa hasil.
Jadi dalam hal ini peribahasa “alon-alon asal kelakon” adalah bertujuan untuk mematangkan situasi sebelum saya dapat bertindak lebih lanjut dengan tepat.
S.P. 11 Maret 1966
Sesudah gerakan 1 Oktober yaitu gerakan pembersihan terhadap G-30-S/PKI dilancarkan, maka tindakan-tindakan korektif terhadap Pemerintah pada waktu itu telah dilancarkan pula oleh para Mahasiswa dan Pelajar dengan tiga tuntutan (Tri Tura) yaitu:
- Bubarkan PKI,
- Turunkan harga-harga,
- Bubarkan Kabinet.
Mengapa sampai terjadi Gerakan 30 September PKI? Karena PKI telah banyak mendapat kesempatan untuk menunggangi keadaan sehingga berhasil mengadakan kup. Disamping terjadinya penyelewengan-penyelewengan konstitusi pada waktu itu.
Ketika Presiden Soekarno mengadakan kunjungan ke Semarang tahun 1956 (waktu itu saya menjadi Panglima Divisi Diponegoro) dalam kesempatan satu mobil saya pernah bertanya kepada Bung Karno:
HT. Bagaimana dengan kekuatan PKI ini Pak?
BK. PKI secara kenyataan memang telah menang dalam Pemilu, jadi kenyataan itu harus diakui.
HT. Apa bisa dipercaya ?
BK. Itu PKI harus di Pancasilakan.
HT. Apa bisa Pak ?
BK. Itu perjuangan saya. Kamu sebagai seorang prajurit laksanakan tugasmu dengan baik. Soal politik itu adalah urusan saya.
Pertanyaan saya ini pernah saya ulangi pada tahun 1965 setelah terjadinya G-30-S/PKI, “Kan benar Pak bahwa yang pernah saya sampaikan tahun 1956 sekarang menjadi kenyataan”. Pada waktu itu Bung Karno diam saja dan tidak menjawab.
Nampaknya Bung Karno waktu itu masih keras hati bahwa PKI bisa di Pancasilakan. Sedangkan saya berpendapat bahwa PKI tidak mungkin bisa diPancasilakan, malah sebaliknya PKI lebih pandai menunggangi Bung Karno dalam usahanya mem-Pancasilakan PKI. Dua pendapat yang saling bertentangan antara saya dengan Bung Karno tidak mungkin bisa ditemukan, dan kejadian ini kelihatan bulan Oktober 1965 sampai Maret 1966.
Pada saat makin menegang antara saat sebelum SP 11 Maret, saya berulangkali berusaha memberikan penjelasan kepada Bung Karno mengenai PKI dan tuntutan rakyat pada waktu itu. Saya katakan kepada Bung Karno bahwa kalau sekiranya Bung Karno tidak berani membubarkan PKI, biar saya saja yang membubarkan, karena rakyat semua telah mengetahui bahwa PKI-Iah yang mengakibatkan semua ini agar semua keadaan bisa diatasi.
Sebaliknya Bung Karno malah menyarankan kepada saya “kalau kamu mau tunduk dengan konsepsi saya, bubarkan mahasiswa dan ambil tindakan kepada mereka”. Saya menjawab bahwa hal itu tidak mungkin dan bahwa itu suatu sikap yang salah dan malah bisa menjadikan konflik yang lebih hebat.
Pernah juga saya alami pada suatu perdebatan dengan Bung Karno mengenai usaha pembubaran PKI ini, Bung Karno memberikan alasan sebagai berikut: “Kalau sampai PKI saya bubarkan, terus bagaimana saya menaruh muka saya ini terhadap dunia”.
Memang Bung Karno telah terpedaya dengan ide Nasakom yang diharapkan bisa terlaksana tidak saja di dalam negeri, tetapi Bung Karno telah pula membawa ide Nasakom ini kepada PBB.
Pada tanggal 11 Maret pagi, di Istana diadakan sidang Kabinet yang dipimpin oleh Bung Karno. Sidang kabinet itu dibubarkan sebelum selesai dan Bung Karno lari ke Istana Bogor dengan beberapa Menteri, karena terpengaruh oleh suatu laporan bahwa diluar Istana ada pasukan yang akan menyerbu istana.
Pada waktu itu saya tidak bisa mengikuti Sidang Kabinet karena kebetulan saya sedang sakit. Beberapa saat setelah itu saya dirumah, di Jalan H. Agus Salim kedatangan tiga orang Perwira Tinggi AD yaitu: Jenderal Basuki Rachmat (almarhum), Jenderal M. Yusuf, dan Jenderal Amirmachmud.
Ketiga Jenderal tersebut memberitahukan kepada saya bahwa sidang Kabinet hari itu tidak jadi berlangsung, karena adanya laporan bahwa istana akan diserbu sehingga Bung Karno dan beberapa Menteri mengungsi ke Bogor.
Setelah saya mendapat penjelasan dari ketiga Jenderal tersebut, saya terus memerintahkan kepada mereka agar segera ke Istana Bogor untuk menghadap Bung Karno guna menyampaikan pesan saya, yaitu “kalau Bung Karno masih percaya kepada saya, maka berikanlah perintah dengan wewenang penuh untuk bisa menyelesaikan dan mengatasi keadaan ini”.
Ketiga Jenderal tersebut hari itu juga terus berangkat menuju Bogor untuk menyampaikan pesan ini kepada Bung Karno.
Sore harinya sekitar jam delapan (20.00) ketiga Jenderal tersebut telah kembali dari Istana Bogor dan datang menemui saya di rumah dengan membawa Surat Perintah 11 Maret yang ditanda tangani oleh Bung Karno. “Surat Perintah 11 Maret” tersebut perumusannya dikerjakan selama ketiga Jenderal tersebut berada di Istana Bogor bersama-sama dengan para Menteri lainnya, antara lain Dr. Subandrio dan Chairul Saleh, disamping Bung Karno sendiri.
Setelah saya menerima Surat Perintah tersebut, antara jam 10.00 malam saya terus berangkat menuju Kostrad dan terus mengadakan rapat Staf yang dihadiri oleh semua Perwira-perwira Senior malam itu juga saya terus menyusun konsep pembubaran PKI.
Pertimbangan Rasionil
Meskipun saya telah memegang Surat Perintah 11 Maret dengan wewenang yang tidak terbatas, saya tetap mengutamakan agar pada tindakan-tindakan saya tidak bertentangan dengan konstitusi.
Adanya konflik yang makin keras antara rakyat waktu itu, sedangkan saya tetap berkeinginan agar segala sesuatunya tetap berjalan dan diselesaikan secara konstitusionil, maka waktu itu terus diselenggarakan Sidang MPRS yang menghasilkan beberapa ketetapan-ketetapan MPRS, antara lain Ketetapan No.IX MPRS yg merupakan pengukuhan terhadap pemegang Surat Perintah 11 Maret. Dan dengan Ketetapan No.IX MPRS ini kemudian saya bersama-sama Presiden Soekamo membentuk Kabinet Ampera.
Tahun berikutnya (1967) diadakan Sidang Istimewa MPRS untuk meminta pertanggungan-jawab Presiden Soekarno. Ternyata Bung Karno tidak bisa memberikan pertanggungan-jawab seperti yang diharapkan.
Akhirnya Presiden Soekarno waktu itu diberhentikan sebagai Mandataris, dan saya diangkat menjadi Pejabat Presiden. Pada waktu itu sebenarnya MPRS menghendaki agar saya mau diangkat langsung menjadi Presiden penuh. Hal tersebut saya tolak dan saya katakan cukup Pejabat Presiden saja.
Pada Sidang MPRS berikutnya (Sidang Umum MPRS ke – V tahun 1968) saya baru dikukuhkan oleh MPRS sebagai Presiden – Mandataris.
Berdo’a kepada Tuhan
Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, maka setiap saat saya harus minta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi berdo’a bukan pada waktu yang kesulitan saja, tetapi setiap saat saya berdo’a dan meminta petunjuk kepada Tuhan, dengan mengheningkan diri pada Tuhan, dengan memohon petunjuk kepada Tuhan mengenai apa yang dimaksud. Kalau semacam itu dianggap sebagai semedhi itu terserah.
Issue Tidak Mau Duduk di Kursi yang Telah Tersedia
Adanya issue bahwa saya tidak pernah mau duduk di kursi sewaktu saya bertemu dengan Bung Karno adalah sama sekali tidak benar.
Hal tersebut dari segi ketimuran adalah sikap yang tidak simpatik, dan tidak mau duduk adalah sifat yang angkuh. Bung Karno adalah orang tua yang harus saya hormati. Issue saya tidak mau duduk ini juga dipakai untuk menjatuhkan saya pada waktu itu, agar semua rakyat anti terhadap saya.
Evaluasi Pelita I dan II
Pelita I harus menjadi landasan untuk Pelita selanjutnya. Pembangunan jangka panjang ialah pembangunan industri yang didukung oleh Pertanian.
Sedangkan dalam Pelita I ini baru pembangunan yg dititik beratkan kepada pertanian yang didukung oleh industri yang mendukung kepada pertanian.
Rahasia Sukses
Rahasia sukses tidak ada. Yang ada hanya karena dukungan dari semua rakyat. Rahasianya ialah mengetahui kekuatan dan mengetrapkan kemampuan yang ada sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
Dan dengan membuat tahapan-tahapan dalam mengatur kemampuan untuk mencapai tujuan yang diarah.
Menggunakan Surat Perintah 11 Maret
Meskipun “Super Semar” (Surat Perintah 11 Maret) itu mempunyai wewenang yang sangat luas, tetapi saya menggunakan Super Semar hanya sekali, ialah untuk membubarkan PKI.
Dalam menghadapi masalah besar yang lain saya tidak menggunakan “Super Semar” tetapi dengan jalan lain tetapi kelakon dan berhasil. (DTS)
Sumber: ANGKATAN BERSENJATA (23/03/1973)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 320-325.