SELAMAT BAGI PRESIDEN SOEHARTO

SELAMAT BAGI PRESIDEN SOEHARTO [1]

 

Jakarta, Nusantara

KAMIS malam Djum’at Legi 18 Sapar 1905 atau 22 menjelang 23 Maret 1973, calon Presiden Djenderal Soeharto telah dikukuhkan oleh MPR untuk djabatan Presiden selama 5 tahun yang akan datang.

Susunan MPR sesudah Pemilu 1971 demikian rupa komposisi anggotanja hingga fraksi Golkar, ABRI dan waki12 daerah angkatan pemerintah menduduki 720 tempat dari 920 seluruhnja. Pers asing sesaat setelah diketahuinja hasil pemilu pada tahun 1971 mengutip bahwa pemilihan umum jang berlangsung di Indonesia pada tahun 1971 itu berjalan atas tradisi dan garis “demokrasi” jang berlaku di Korea Selatan, Taiwan dan Vietnam Selatan.

Ditambah dengan fraksi2 angkatan maka komplitlah seperti apa yang dikatakan oleh harian Pedoman beberapa waktu jl. dalam laporan peta bumi Rosihan Anwar bahwa ABRI kita merupakan “engineer politik yang mahir”.

Dengan demikian dikukuhkannja kembali Presiden Soeharto perlu kita njatakan ucapan selamat jang sedalam2nja.

Pola kepemimpinan Presiden kita selama djabatannja termin pertama, tjiri chas jang dapat kita kutip adalah sikapnja jang dikatakan berlandaskan paham2 demokrasi tapi sebaliknja, kurang sekali menghiraukan pendapat orang2 lain atau orang luar, dan pemerintah berjalan atas kehendak kekuasaannja.

Keadaan itu asing bagi suatu pola landasan berlakunja satu tata cara the rule of the games jang umumnya dikenal dalam arti dernokrasi jang dikenal oleh dunia. Hal itu namanja bagi Indonesia adalah “Demokrasi Pantjasila”.

Makna dan pengetrapannja sampai sekarang belum ada tafsiran jang dapat didjadikan pegangan bagi tata tjara pola permainan demokrasi itu sendiri. Tidak hanja orang asing jang bingung dalam berusaha memahami demokrasi Pantjasila itu, bagi politisi2 dan rakjat umum didalam negeri pun persoalan itu susah dipahami.

Itulah kenjataan, dan karena itu rakjat Indonesia jang sudah sangat susah mempertahankan diri untuk hidup menurut tradisi jang dialami dari abad ke abad sampai sekarang, tentunja tidak akan begitu memperhatikan persoalan2 jang berlaku di MPR sekarang.

Jang mendjadi harapan dari inti hasil pemilu tahun 1971 bagi mereka jang masih ada perhatian pada kehidupan politik, djustru adanja satu perwakilan jang katanja mewakili rakjat dipilih sebagai anggota2 parlemen MPR jang akan memperdjuangkan hak2 rakjat itu dan tidak hanja menekankan diri pada kewadjiban2 semata2 sebagai rakjat jang diperintah. Hak2nja itu ternjata karena adanja “engineering politik” berupa tjampurtangan sementara penguasa sampai pada tingkat “pembadjakan” pengurus2 parpol, telah melahirkan suatu kondisi dimana sementara pemimpin parpol jang sudah “divermaak” itu berlomba2 melakukan satu tindakan politik berupa pudjian dan sandjungan terhadap alamat penguasa sampai pada tingkat jang memuakkan.

Kultus individu, kalau kita dapat tjatat utjapan2 Presiden Soeharto sendiri tidak dikehendaki. Tapi akibat dari pada “kemahiran engineering politik” berupa tjampurtangan jang kasar terhadap parpol2 itu sendiri, telah melahirkan satu pola perlombaan pengkultusan individu pemimpin2 kepada siapa sesungguhnja orang2 parpol jang sudah divermaak itu menggantungkan nasibnja untuk djabatan dan segala sesuatunja.

Kalau andaikata hasil pemilu 1971 itu tidak divermaak sebegitu rupa dalam pelaksanaan demokrasi jang sudah tidak sempurna, tentunja masih ada harapan2 masjarakat untuk menikmati kehidupan politik di negeri kita ini. Namun, tidaklah demikian hakekat perdjalanan kehidupan politik kita selama ini.

Mudah2an sadja bagi Presiden Soeharto sendiri jang sudah mempunjai pengalaman lebih dari 5 tahun mendjadi Presiden kepala eksekutif, akan memberikan ganti ketidakpuasan umum dalam kehidupan politik berupa harapan perbaikan nasibnya di bidang kehidupan sosial ekonomi. Dan tidak seperti sekarang ini dimana dua setengah prosen penduduk Indonesia-jang nota bene lebih dari 50% dari 2,5% djumlah penduduk itu terdiri dari Tjina2 asing-menikmati 80% dari kekajaan dan kemakmuran negara R.I.

Bukan pemerintah kita ini berusaha membetulkan piramidea-sosial jang terbalik, dimana 97,5% rakjatnja terdiri dari rakjat pribumi hanja kebagian l.k. 20% dari kemakmuran rakjat.

Tidak ada gunanja kalau pidato2 Presiden kita itu mengkonstatir bahwa rakjat Indonesia hanja kebagian 1,5 kilo protein hewani, 0,8 liter susu dan 10 butir telur setahunnja dan usaha untuk setjara drastis memperbaiki kondisi sosial ekonomi seperti itu.

Jang berlaku djustru dari hari kehari bukan rakjat pribumi jang didjadikan tudjuan guna merobah struktur peninggalan kolonialisme Barat, tapi Tjina2 itulah jang sampai sekarang menikmati hasil terbesar dari kekajaan dan kemakmuran negeri ini. Rupanja, bukan hanja sementara pimpinan parpol jang sudah berlomba2 melakukan kultus individu melupakan tugasnja untuk mendidik rakjat ke arah djalan jang benar.

Sementara menteri pada bidang eksekutif kurang berhasil dalam perdjuangannja mengutamakan panggilan naluri kesardjanaan mereka daripada kedudukan jang empuk dan nikmat sebagai menteri2 pembantu Presiden kita. Disini letak kebenaran aksioma bahwa naluri kesardjanaan sardjana2 Indonesia telah dikalahkan oleh “sesuap nasi” dan pangkat jang mentereng. Karena ketiadaan pilihan lain untuk mendjadi elite jang memimpin bangsa Indonesia diluar kepegawaian.

Kita utarakan hal ini untuk kesekian kalinja bukan didorong oleh pertimbangan2 hanja ingin mengeritik semata2, tapi berdasarkan suatu keprihatinan luar biasa. Karena ketjintaan kita kepada nasib jang malang dari rakjat Indonesia, jang sampai kini belum berhasil sesudah kita 28 tahun merdeka untuk menikmati apa jang ditjita2kan oleh nenek-mojangnja berupa satu masjarakat “gemah ripah loh djinawi toto tenterem karta rahardja”.

Sebab ternjata perangai manusia seperti mahluk Tuhan itu, apakah ia pendjadjah asing, apakah ia Tjina pendatang, hakekatnja kalau menjangkut kepentingan pribadi mereka masing2, lebih mengutamakan wudjud materi kesenangan hidup bagi diri mereka masing2 daripada tjita2nja.

Bukan kemakmuran dan kebahagiaan hidup bagi rakjat itu sendiri jang penting, tapi djustru karena ketiadaan itu bagi rakjat Indonesia tidak ada perbedaan hidup pada djaman2 kekuasaan orang2 asing.

Disini letak tragedi nasional jang mengundang masuknja kekuasaan2 asing karena pada hakekatnja djika perbedaan itu tidak ada, hakiki untuk melakukan pilihan antara merdeka dan tidak merdeka itu telah dipersempit. Seperti halnja keruntuhan kolonialisme Belanda pada tahun 1942 jang hanja bertahan 8 hari terhadap serbuan Djepang, nantinja jangan kita menjesal kalau sedjarah itu dalam bentuk lain berulang kembali. (DTS)

Sumber: NUSANTARA (23/03/1973)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 317-319.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.