MENGIKUTI KUNJUNGAN PRESIDEN KE AS (1) JENEWA, KOTA TUA NAN CANTIK

MENGIKUTI KUNJUNGAN PRESIDEN KE AS (1) JENEWA, KOTA TUA NAN CANTIK

 

 

Jakarta, Pelita

“DARI Indonesia mas ?” sapa dua orang pria berkulit sawo matang dengan perawakan agak kecil ketika Pelita berada di suatu daerah pertokoan Placette di Jenewa, Swiss, menjelang malam Minggu lalu.

Semula kaget juga mendapat sapaan dalam bahasa Indonesia itu. Karena selain tidak membayangkan akan bertemu dengan bangsa sendiri di negeri orang, sapaan dengan bahasa Indonesia itu membuat perasaan gembira.

Bisa dibayangkan, jangankan berbahasa Indonesia, orang-orang Swiss yang mau dan bisa berbahasa Inggris hanya satu dua. Setiap orang yang ditanya, apakah ia berbahasa Inggris hanya akan geleng kepala. Itu jawaban singkatnya.

Tapi pertemuan dengan bangsa Indonesia di luar negeri benar-benar suatu kegembiraan. Apalagi dalam pembicaraan singkat itu, tergambar rasa gembira kedua orang itu karena mereka mendengar bahwa Presiden Soeharto hari itu berada di Jenewa.

“Saya dengar Bapak (Presiden Soeharto-red) berada di sini,” ucapnya. Dan itupun langsung saya iyakan, selain itu juga saya informasikan bahwa Kepala Negara malam itu akan melakukan pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Jenewa.

“Saya juga sudah mendengar itu dari teman-teman yang menelepon. Karena itu saya datang ke Jenewa. Nanti malam saya juga akan datang ke pertemuan itu,” katanya lagi sambil berlalu setelah bersalaman dengan Pelita.

Namun Pelita baru tersadar bahwa dalam pertemuan singkat itu tidak menanyakan nama maupun alamat kedua orang itu, karena tergesa-gesa segera kembali ke hotel untuk melakukan persiapan meliput pertemuan antara Presiden Soeharto dengan masyarakat Indonesia di Jenewa.

 

Menggigil

Dan memang benar, ketika dalam pertemuan di Wisma Duta, tempat tinggal Wakil Tetap RI untuk PBB, Wisher Loeis Pelita bertemu kembali dengan kedua pria muda itu. Bukan hanya mereka berdua yang tampak gembira bisa bertemu dan berkumpul dengan orang sebangsa dan setanah airnya, tapi juga mereka yang tinggal di Swiss tampak gembira dalam pertemuan tersebut.

Seakan pertemuan di bawah terpaan udara dingin yang menggigilkan badan, merupakan reuni dan kangen-kangenan. Apalagi mereka bisa langsung bertatap muka dengan presidennya. Sehingga biarpun dalam keadaan cuaca yang tiba-tiba menjadi sangat dingin itu, acara tatap muka berjalan lancar.

Rasa antusias terlihat jelas dalam sikap dan tatapan. mereka, ketika mendengarkan wejangan Presiden Soeharto yang berlangsung sekitar satu jam lebih.

Kegembiraan itu kian terlihat jelas, ketika para warga masyarakat Indonesia di Jenewa mendapat kesempatan untuk berjabat tangan dengan Presiden dan lbu Tien Soeharto yang dilanjutkan dengan makan malam bersama.

Setiap mendapat jamuan makan bagi rombongan-terutama bagi Pelita terasa itu merupakan makan yang sebenarnya. Sebab selama dalam perjalanan dan tinggal di hotel jarang bertemu dengan nasi.

“Ini baru namanya makan,” celetuk salah seorang rekan wartawan sambal menahan gemelutuknya gigi akibat dinginnya udara malam.

Mengenai makan, ternyata masih menjadi masalah di New York sehingga jika mendapat jamuan makan baik pada waktu di Wisma Indonesia New York maupun di Washington perasaan itu muncul kembali.

Ketika berada di New York pun sebelum ke Markas Besar PBB, beberapa orang rekan dengan dipandu oleh pengemudi kendaraan asal Indonesia berangkat ke China Town hanya untuk makan nasi.

Di samping masakan itu cocok dengan perut dan lidah Indonesia, harga di tempat itu sangat miring dibandingkan dengan makanan di hotel. Apalagi menu yang disodorkan dalam bahasa Indonesia, kendati pemilik restoran itu tidak mengerti sama sekali dengan bahasa Indonesia.

Kami makan berlima di restoran itu dengan mie goreng, nasi putih, ayam goreng. cumi kangkung, cah kangkung daging sapi, dan minuman lainnya hanya mengeluarkan uang 41 dolar AS.

Sedangkan untuk sarapan pagi di hotel Plaza dengan jenis continental yang terdiri atas tiga buah roti, juice serta minuman kopi atau teh dikenakan biaya10 dolar AS/ orang. Itu paling murah.

Jika untuk makan malam atau makan siang, bisa menghabiskan Rp 145.000 orang sekali makan. Bayangkan.

 

Bersyukur

Dalam wejangannya, Presiden Soeharto mengajak semua masyarakat Indonesia di Jenewa untuk wajib menyukuri apa yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa atas pengakuan dari PBB dengan diberikan piagam penghargaan mengenai suksesnya program kependudukan di Indonesia.

Presiden juga mengungkapkan mengenai telah diterimanya piagam penghargaan sebelumnya, dari suatu lembaga kependudukan intemasional yang bermarkas di Washington.

Terus terang, kata Kepala Negara, baginya pribadi dan rakyat Indonesia dalam melaksanakan segala sesuatu khususnya mengenai pembangunan untuk memperbaiki taraf hidup seluruh rakyat Indonesia dengan kemampuan yang ada maupun dengan bantuan negara sahabat dan lembaga dunia itu sama sekali tidak mengejar atau mengingini adanya penghargaan itu.

“Tidak mengharapkan adanya pujian-pujian, tapi karena nyata pujian itu diberikan maka harus kita syukuri. Karena biarpun kita bersikap low profile tanpa harus menonjol-nonjolkan terhadap dunia, tapi akhirnya dunia menilai apa yang dilakukan oleh masyarak:at Indonesia, khususnya mengenai program kependudukan yang merupakan salah satu program pembangunan nasional Indonesia,” katanya.

Kepala Negara juga menjelaskan, mengenai pertumbuhan penduduk dan prakiraannya pada tahun 2050 serta upaya yang akan dilakukan untuk mencapai 0 pCt pertumbuhan penduduk.

Dan hal itu menurut presiden merupakan tantangan yang tidak: kecil. Presiden mengajak agar momentum dengan adanya penganugerahan penghargaan itu untuk betul-betul dipelihara, bukan hanya dalam bidang keluarga berencana saja, karena keluarga berencana itu bukan tujuan untuk membatasi kelahiran, tapi tujuan utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

 

Kota Tua Yang Cantik

Menginjakkan kaki di lapangan terbang Cointrin, Jenewa, pertama kali yang terasa adalah suatu ketidak bisingan. Pesawat DC- 10 Garuda Indonesia yang membawa rombongan Presiden Soeharto, yang mendarat sekitar pukul 08.30 waktu setempat, disambut Dubes RI untuk Swiss, TM. Hadi Thayeb serta pejabat lainnya. Beberapa orang polisi bersepeda motor BMW sport warna biru ber-CC besar, mengawal rombongan menuju Hotel Intercontinental.

Menyusuri jalan-jalan di Jenewa tertangkap kesan bahwa pemerintah negara itu, sangat memperhatikan masalah jalan -jalan dan kebersihan lingkungan.

Kota Jenewa yang banyak menyimpan gedung-gedung tua, kelihatann ya mempertahankan keaslian bentuk yang ada. Sehingga terlihat, kota yang penuh dengan orang usia tua itu, merupakan kota cantik nan asri.

Keterangan yang diperoleh, warga kota Jenewa betul-betul merniliki disiplin tinggi. Sehingga apabila mereka berhenti pada traffic light kendaraannya akan dimatikan.

Kenapa? Karena selain untuk menghemat energi atau bahan bakar, mereka tidak mau udara kotany a tercemari oleh asap yang dikeluarkan dari kendaraan mereka masing-masing.

Kota Jenewa yang terasa sejuk dalam pancaran matahari itu, masih dihiasi dengan bunga-bunga wama-warni, demikian juga pohon-pohon yang masih banyak dihinggapi burung-burung dengan kekicauannya yang merdu.

Berkaitan dengan masalah hemat energi dan pencemaran udara, maka kendaraan umum berupa bis gandengan dengan warna oranye sebagian besar mempergunakan listrik sebagai tenaganya.

Kendati pada jam kerja tidak: ada sama sekali terjadi kemacetan. Semuanya berjalan teratur dan bisa dikatakan seperti hari libur di Jakarta. Semua jalan kosong.

Hanya kendaraan pribadi yang diparkir di sepanjang jalan dengan rapi dan teratur. “Kapan di Jakarta bisa seperti ini,” ucap salah seorang teman melihat kesunyi­senyapan dan keteraturan kota dengan banyak danau itu.

 

 

Sumber : PELITA (16/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 239-243.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.