MENPERDAG TENTANG SWASTANISASI BUMN

MENPERDAG TENTANG SWASTANISASI BUMN

Jakarta, Antara

Pemerintah dalam mengambil keputusan swastanisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan memperhatikan berbagai aspek antara Jain aspek ideologi, politis dan aspek  ekonomis.

Penegasan tersebut dikemukakan Menteri Perdagangan Rachmat Saleh SE dalam sambutannya pada pelantikan pejabat eselon II dan Dewan Komisaris Persero Niaga di bawah lingkungan Departemen Perdagangan di Jakarta, Jumat.

Dikatakan, Presiden Soeharto telah membentuk satu tim untuk menilai keadaan BUMN dan perusahaan-perusahaan daerah apakah perlu diswastakan atau tidak.

Salah  satu  yang  melatar belakangi kemungkinan swastaniasi BUMN adalah untuk menghilangkan beban negara di samping untuk meningkatkan hasilnya secara optimal sehingga masyarakat dapat hasil yang lebih baik BUMN yang benar-benar dapat membuktikan bahwa hasil karyanya tidak kurang dan bahkan melampaui perusahaan-perusahaan yang dikelola swasta tidak perlu diswastakan.

“Dalam mengambil keputusan swastanisasi BUMN, pemerintah akan memperhatikan berbagai aspek antara lain aspek ideologi, politis dan aspek ekonomis,” kata Menteri Rachmat Saleh.

Swastanisasi suatu perusahaan BUMN banyak tergantung dari kemampuan, ketekunan dan kemampuan melihat jauh ke depan dari para pengelolanya dengan dukungan seluruh  karyawannya.

Dalam hubungan itu Menteri Rachmat Saleh mengajak para dewan komi saris di lingkungan Departemen Perdagangan yang baru dilantik untuk memperkaya kemampuan mengelola perusahaan BUMN yaitu memantapkan pengelolaannya, lincah, penuh dedikasi dan mampu melihat ke depan. Menjawab pertanyaan pers mengenai penghapusan subsidi, Menteri mengatakan, Indonesia sebagai salah satu anggota Persetujuan Umum mengenai Perdagangan dan Tarif (GATT) sepakat untuk menghapuskan subsidi eskpor, kalaupun ada secara bertahap harus dihapuskan.

Du a tahun lalu Indonesia sudah menghapuskan Sertifikat Ekspor, karena rangsangan tersebut oleh negara-negara pengimpor dianggap sebagai subsidi, begitu juga Kredit Ekspor yang tingkat suku bunganya sembilan persen dianggap sebagai subsidi , oleh karena itu secara bertahap kredit ekspor juga subsidinya harus dihapuskan.

Dalam hubungan kredit ekspor, pemerintah mulai 1 April 1987 mulai menghapuskan 50 persen subsidinya, sehingga tingkat bunganya naik dari sembilan persen menjadi 12 persen setahunnya dan pada 1 April 1990 subsidi kredit ekspor tersebut harus dihapuskan seluruhnya.

Penghapusan subsidi kredit ekspor diakui akan berpengaruh terhadap peningkatan ekspor, khususnya komoditi non-migas, namun kalau Indonesia ingkar terhadap kesepakatan yang dicapai, dikhawatirkan negara-negara pengimpor akan menghalang-halangi ekspor Indonesia antara lain menolak secara terang-terangan, mengenakan kuota atau mengenakan bea masuk tambahan .

Untuk menghindarkan hambatan ekspor tersebut, pemerintah akan menghapuskan subsidi ekspor yang ada, meskipun diakui dalam jangka pendek akan berpengaruh terhadap nilai ekspor Indonesia .

Guna merangsang para eksporter meningkatkan ekspomya, pemerintah akan mencari upaya yang tidak bersifat subsidi antara lain dengan deregulasi dan

pengurangan bea masuk  bahan baku  untuk  produk  eskpor, demikian  Menteri Perdagangan Rachmat Saleh. (LS) (T-A 11/RH1/1320)

Sumber: ANTARA(20/03/1987)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 408-410.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.