MENTAN TUNTUTAN AS HAPUS SUBSIDI TIDAK TEPAT
Jakarta, Antara
Keinginan Amerika Serikat untuk meliberalisasikan perdagangan produk pertanian hanya cocok bagi negara-negara maju tapi tidak tepat bila diberlakukan bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya.
Menteri Pertanian Achmad Affandi mengatakan hal itu kepada pers sesudah melaporkan kepada Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Kamis tentang akan berkunjungnya Menteri Pertanian AS Richard Lyng mulai 3 Februari 1987.
Kunjungan tamu dari Amerika Serikat itu bertujuan mencari dukungan bagi penghapusan semua hambatan impor dan ditiadakannya subsidi bagi sektor pertanian dalam jangka waktu 10 tahun mendatang yang dianggapnya mengakibatkan distorsi dalam perdagangan dunia.
“Ya, itu bagus untuk negara maju dan memang memperjuangkan liberalisasi di dalam perdagangan komoditi pertanian bagus untuk sana (negara maju, red). Tapi kalau untuk negara berkembang barangkali tidak begitu tepat sebab di negara berkembang seperti Indonesia yang diutamakan adalah produsen yang jumlahnya 65 sampai 70 persen dari rakyat biasa,” kata Affandi.
Mentan mengingatkan, sebaliknya di negara-negara maju produsen pertanian hanya merupakan enam hingga tujuh persen dari seluruh rakyat negara maju bersangkutan.
Kepada tamu dari AS itu juga akan diingatkan bahwa pemberian subsidi dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan mereka.
Subsidi yang diberikan Pemerintah Indonesia, kata Affandi, antara lain pada harga pupuk serta penentuan harga dasar, sehingga bila harga gabah di bawah harga dasar, pemerintah akan membelinya.
Minyak sawit mentah
Mengenai kebijaksanaan Departemen Pertanian untuk mengekspor semua CPO, sehingga untuk minyak goreng dipakai bahan minyak kelapa Menteri Achmad Affandi mengatakan, produksi CPO tahun lalu sekitar 1,4 juta ton.
Harga di dalam negeri sekitar Rp 425/kg, sedangkan di luar negeri jauh di atasnya, yaitu 480 dolar AS/ton atau kurang lebih Rp 700/kg. Padahal biaya produksinya paling-paling hanya Rp 140/ kg.
Namun ia membantah bahwa pihaknya telah memutuskan untuk mengekspor semua minyak sawit mentah (CPO).
Tahun 1986, Departemen Pertanian mengalokasikan 160.000 ton CPO untuk diekspor, namun yang ditebus hanya 9.700 ton. Untuk tahun 1987 yang juga disediakan 160.000 ton ternyata pada empat bulan terakhir telah habis semuanya dibeli para pengolah minyak nonprodusen. Padahal selama periode Januari-Agustus tahun silam banyak pengolah yang tidak mengambil jatahnya.
Ketika ditanya kenapa tiba-tiba banyak pengu saha yang banyak mengambil jatahnya untuk diekspor Affandi mengatakan, “saya tidak tahu. Saya tidak mempunyai dugaan seperti itu, tapi hanya timbul pertanyaan mengapa bisa begitu. Jatah 160.000 ton itu bisa habis dengan cepat kalau harga di luar negeri meningkat. Tapi kalau harga di luar negeri sedang turun tidak diambil jatahnya”.
…
Jakarta, ANTARA
Sumber : ANTARA (27/01/1988)
…
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku X (1988), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 240-241.