MENUJU PENATAAN JALUR PENERBANGAN YANG SEHAT [1]
Oleh Adi Lazuardi Jakarta, Antara
Ditjen Perhubungan Udara kinimenata kembali berbagai rute penerbangan untuk ditawarkan kepada seluruh maskapai nasional.
“Kami sedang menggodok konsep penataan rute penerbangan yang baru dan direncanalcan mulai dilayani awal tahun 1994,”kata Menteri Perhubungan Haryanto Dhanutiro, beberapa waktu lalu setelah menghadap Presiden Soeharto.
Sebelum tahun 1980, maskapai swasta tidak diperbolehkan memiliki pesawat jet kecuali Garuda Indonesia (GIA) sebagai perusahaan penerbangan milik negara, namun setelah turun Instruksi Presiden No.l/1980 barulah pihak swasta diperbolehkan untuk mengoperasikan pesawat jet.
“Pemerintah akan meninggalkan kebijaksanaan “mono airline” (maskapai tunggal) dengan deregulasi dan debirokratisasi serta membuka kesempatan luas bagi swasta untuk mengembangkan dunia penerbangan nasional,”kata Menteri Perhubungan yang lama Azwar Anas beberapa waktu lalu.
Kemerosotan harga minyak di pasaran internasional menjadi salah satu sebab berkurangnya devisa nasional Alternatif untuk mengatasinya, antara lain dengan mengembangkan sektor pariwisata untuk “menjaring” wisatawan mancanegara.
Untuk itu dibuka beberapa “gerbang” udara intemasional guna memperlancar dan memperbanyak Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Indonesia, sehingga mampu meningkatkan jumlah penumpang pesawat udara 10 persen per tahun.
Peningkatan jumlah penurnpang pesawat udara itu semakin menuntut pelayanan yang lebih baik. Untuk itu, pemerintah mendorong maskapai swasta nasional meningkatkan pelayanannya sekaligus menciptakan iklim persaingan dengan maskapai “plat merah” (milik negara).
Sejak 1990, maskapai swasta semakin gencar meningkatkan kapasitas armadanya dengan menyewa atau membeli beberapa pesawat jet yang berkemampuan “jam terbang” lebih lama. Peningkatan armada udara itu membutuhkan investasi yang besar, sehingga iklim usaha penerbangan yang sehat menjadi syarat partisipasi swasta dalam dunia penerbangan.
Pilih Kasih
Kebijakan pemerintah untuk menyehatkan dunia usaha penerbangan tanpa pilih kasih itu ditegaskan kembali oleh Menteri Perhubungan saat ini Dr. Haryanto Dhanutirto.
“Saya tegaskan, tidak ada anak emas dan anak tiri dalam dunia penerbangan,” kata Haryanto. Secara terpisah, dalam rapat dengar pendapat maskapai Garuda Indonesia dengan Komisi V DPR yang membidangi perhubungan, anggota dewan berharap agar pemerintah dapat konsisten menjalankan kebijakannya dalam menciptakan iklim usaha penerbangan yang sehat dan adil.
Para wakil rakyat menilai, masih ada pilih kasih dan tidak ajegnya kebijakan usaha penerbangan nasional, misalnya pemberian jatah penerbangan Garuda ke Perth, Australia, dari Jakarta- Surabaya kepada maskapai penerbangan swasta.
Soenaryo Haddade yang memimpin sidang itu menyatakan, GIA seharusnya mendapat jatah penerbangan ke Taipeh (Taiwan) dan Perth (Australia) sebanyak delapan kali per minggu. Ternyata, GIA hanya mampu menerbangi kedua kota itu sebanyak empat kali per minggu dan memesan 10 pesawat Airbus 300-600.
Pada akhir 1992, jalur penerbangan antar dua kota itu ditangani oleh maskapai swasta Sempati. Penambahan jalur penerbangan tersebut dilakukan pula untuk rute Jakarta-Surabaya.
“Akibatnya, banyak pesawat Garuda yang pengoperasiannya tidak optimal dan terpaksa menyewakan kembali beberapa pesawat Airbus 300-600 kepada maskapai asing,”ujar Dirut Garuda Wage Mulyono.
Peningkatan jumlah armada penerbangan swasta, ternyata menimbulkan kelebihan kapasitas kursi penumpang untuk beberapa rute, seperti Jakarta-Medan, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Yogyakarta, atau Jakarta-Batam.
“Dampak dari kelebihan kapasitas kursi di beberapa rute gemuk itu menyebabkan perang tarif yang nantinya dapat merugikan maskapai penerbangan,” kata Wage.
Kondisi serupa agaknya dialami pula oleh maskapai penerbangan “anak perusahaan” GIA, Merpati, yang selama ini menjadi “tulang punggung” perhubungan antar daerah yang jumlah penumpangnya sedikit. “Kami mengharapkan agar Merpati juga dapat hak menerbangi rute-rute gemuk,” kata Direktur Niaga Merpati Rozali.
Rute Kurus
Untuk membuktikan bahwa pemerintah akan mengembangkan iklim usaha penerbangan yang sehat dengan kebijaksanaan tanpa pilih kasih, Menhub memberikan indikasi kemungkinan penerbangan swasta mengisi jalur-jalur kurus.
“Beberapa penerbangan swasta yang selama ini hanya mengisi jalur -jalur gemuk akan dirninta untuk juga bertanggungjawab mengisi jalur-jalur kurus,” kata Haryanto.
Para wakil rakyat di Komisi VIII mengharapkan pula, kebijakan penerbangan yang menyangkut rute pelayanannya akan ditentukan secara lebih adil.
“Pemerintah belum memiliki dasar hukum yang kuat untuk menetapkan rute penerbangan, sehingga harus segera mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Angkutan Udara,” kata Wakil Ketua Komisi V Muhammad Buang, SH.
Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 15tahun 1992 tentang Penerbangan, namun seharusnya dilengkapi oleh beberapa PP (peraturan pemerintah). Salah satu pasal dalam UU tersebut adalah pengaturan rute penerbangan berjadwal itu harus diatur melalui peraturan pemerintah.
“Setelah satu tahun,UU Penerbangan hingga saat itu belurn dilengkapi dengan PP. Akibatnya, penetapan rute-rute penerbangan tidak didasarkan oleh aturan main yang jelas,” demikian Buang. (T.AL/PE07/SP01/RB1/17/09/9317:56)
Sumber:ANTARA(17/09/1993
____________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 821-823.