Menyatu dengan Aspirasi Bangsa (Bagian 2)[1]
BJ Habibie[2]
Sementara Pak Harto berkembang didalam kariernya di bumi Indonesia, saya di Jerman Barat pun bertambah pengalaman, sesuai dengan ritme perkembangan semangat pembangunan diantara pemuda pelajar di rantau, dan dengan mendapatkan inspirasi dari pemimpin-pemimpin perjuangan.
Perkembangan idiologi di tahun-tahun 1960-an, dengan “Penemuan Kembali Revolusi Indonesia”, Manipol-USDEK, dan pernyataan idiologis-revolusioner lainnya, mempunyai pengaruh pada gerakan pemuda Indonesia di luar negeri, termasuk Eropa. Kebetulan, saya waktu itu sedang diberi kesempatan untuk berperan serta dalam memimpin generasi saya didalam memberikan response yang rasional tetapi penuh dedikasi terhadap panggilan perjuangan bangsa. Saya mendapatkan kehormatan untuk bergerak di dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Jerman Barat dan di Eropa. Melalui PPI, yang pada waktu itu oleh Pemimpin Besar Revolusi dinyatakan sebagai aparat revolusi, saya ikut di dalam perjuangan. Dan tanpa disadari, melalui bekal pengalaman dalam sistem itu, rupanya saya dipersiapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu manusia Indonesia yang harus melanjutkan perjuangan bangsa.
Saya yakin bahwa saya beserta putera-puteri Indonesia yang memperoleh kesempatan meresap ilmu pengetahuan di luar negeri, khususnya Eropa, berkewajiban mengamalkan ilmu yang diperolehnya untuk pembangunan bangsanya. Kita pemuda pelajar wajib mengisi kemerdekaan dengan karya-karya nyata pembangunan. Karena keyakinan itulah saya berhasil menggerakkan rekan-rekan di PPI di Jerman dan Eropa untuk menyelenggarakan seminar-seminar pembangunan. Dengan bantuan teman-teman se-PPI dan dengan sumbangan-sumbangan yang saya kumpulkan dari perusahaan-perusahaan Jerman, akhirnya terlaksana “Seminar Pembangunan Mahasiswa dan Pelajar se-Eropa di Hamburg-Barsbuttel selama 6 hari, dari tanggal 20 sampai 25 Juli 1959.
Dengan bekal semangat dan pengalaman itu, pertemuan saya sebagai insinyur muda dengan Pak Harto, yang pada waktu itu sudah berpangkat mayor jenderal, menanamkan suatu kesan yang sangat mendalam di dalam otak dan sanubari saya. Rupanya Pak Harto pun mengingat pertemuan itu. Pertemuan tersebut terjadi sewaktu beliau bersama-sama Pak Nasution mengunjungi Eropa tahun 1961 (red=kemungkinan besar dalam rangka negosiasi pengadaan persenjataan dalam rangka pembebasan Irian Barat, akan tetapi respon barat kurang positif dan akhirnya Rusia-lah yang berhasil membantu dalam penyediaan persenjataan tempur). Pada waktu itu, saya hanyalah sebagai seorang insiyur muda yang mendapatkan kesempatan berbicara dengan banyak pemimpin termasuk Pak Harto. Saya memandang Pak Harto sebagai orang yang pendiam tetapi mampu menangkap aspirasi-aspirasi di dalam lingkungannya serta mampu menganalisa dan mengintepretasikannya. Bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, beliau mampu merencanakan realisasinya sesuai dengan keyakinan beliau untuk kepentingan masyarakat.
Saya masih ingat, bagaimana dalam pertemuan di Jerman Barat itu, saya, entah terdorong oleh perasaan apa, menjelaskan mengenai peranan seorang insinyur di dalam proses pembangunan melalui karya-karya yang nyata untuk kesejahteraan bangsa. Saya tidak menyadari bahwa salah seorang diantara yang saya berikan penjelasan itu kelak ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menjadi pemimpin bangsanya. Ia ditakdirkan untuk dengan segala patriotismenya mengembalikan Revolusi Indonesia dan aspirasi bangsanya ke relnya yaitu Pancasila dan Undang-Unadng Dasar 1945 dan memulai Orde Baru. Itulah patriotisme yang hanya dapat dirasakan oleh seseorang yang benar-benar mencintai bangsanya dan memahami inspirasi Revolusi Kemerdekaan 1945.
Dalam beberapa tahun kemudian, Pak Harto menjadi mandataris MPRS, Presiden Republik Indonesia, dan memimpin bangsanya untuk mengisi kemerdekaan dengan karya-karya nyata putera-putri Indonesia, tanpa meninggalkan kebudayaan dan pola pemikiran yang diwariskan generasi-generasi sebelumnya. Beliau memikir jauh ke depan, sehingga dengan sekaligus beliau membudayakan Demokrasi Pancasila agar kita tidak kehilangan arah di dalam pembangunan masyarakat yang kita cita-citakan.
Ketika pemberontakan G.30.S/PKI meletus di Indonesia, saya kebetulan baru saja menyelesaikan semua persyaratan untuk memperoleh gelar Dr. -Ing. dan baru saja ikut mempersiapkan Kongres Pemuda tahun 1965, dengan PPI sebagai Alat Revolusi. Tiba-tiba kita dikagetkan oleh peristiwa G.30.S/PKI itu, dan kemudian saya pun mendengar bahwa yang berhasil mengatasinya adalah seorang Jenderal Soeharto. Karena nama Soeharto begitu umum di Indonesia, saya tidak menyadari bahwa yang dimaksudkan itu adalah Jenderal Soeharto yang saya kenal sejak tahun 1950-an di Makasar, dan yang garis hidupnya telah beberapa kali bersentuhan dengan hidup saya.
Waktu itu saya adalah seorang pemuda terpelajar yang telah mengalami pendidikan formal yang mendalam dan tinggi di Jerman Barat didalam suatu sistem pendidikan yang hampir sempurna di bidang teknologi canggih. Saya adalah pemuda Indonesia yang telah pula mengalami pendidikan kepemimpinan di dalam PPI sebagai Alat Revolusi. Saya menyadari bahwa pendidikan tersebut tidak mungkin dapat saya nikmati tanpa perjuangan bangsa Indonesia, tanpa pengorbanan rakyat Indonesia. Pendidikan di bidang teknologi beserta pendidikan kepemimpinan itu dijiwai oleh semangat perjuangan dan cinta pada Ibu Pertiwi, diilhami oleh pimpinan dan para pahlawan. Dengan demikian, jelaslah bagi saya bahwa hasil pendidikan itu harus digunakan untuk mengabdi pada perjuangan bangsa.
Tiba-tiba perjuangan bangsa itu diganggu oleh pemberontakan G.30.S/PKI. Dan kebetulan, orang yang berhasil mengatasinya adalah Jenderal Soeharto yang ketika peristiwa itu terjadi telah lama saya kenal selama lima belas tahun. Melalui Subono Manthopani, ipar saya yang telah berpangkat kolonel, saya langsung melaporkan kesiapan saya untuk ikut membantu menghadapi dan menyelesaikan semua masalah di tanah air sebagai seorang Dr.-Ing. muda berumur 29 tahun yang bersemangat juang yang sama, mencintai tanah air dan para pemimpinnya, dan yang yakin pada konsep pemimpinnya.
Pak Harto memberi pesan agar saya tetap melanjutkan tugas saya di dalam industri Jerman, dan bahwa saya akan dipanggil jika sudah tiba waktunya. Saya diminta Pak Harto agar mempersiapkan serta memperkuat diri terlebih dahulu. Karena itu saya langsung terjun kembali dalam bidang saya. (AFR). (Bersambung).
***
Catatan:
BJ Habibie terpilih sebagai wakil Presiden pada tahun 1997 mendampingi Presiden Soeharto dan secara konstitusional menggantikannya sebagai presiden, ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti tahun 1998. Tersebar kabar bahwa sejak pengunduran dirinya sebagai presiden hingga wafatnya, Pak Harto tidak berkenan menerima BJ Habibie atau BJ Habibie belum berhasil menemuinya. Hal itu memunculkan dua spekulasi:
- Kemungkinan pertama, Pak Harto ingin memberi ruang kepada BJ Habibie untuk menuliskan sejarahnya sendiri, agar sebagai presiden baru, tidak berada dalam bayang-bayang sejarah presiden sebelumnya, sekaligus melindungi BJ Habibie dari segala persepsi buruk atau propaganda hitam sejumlah kalangan, yang kesemuanya pada saat itu diarahkan kepada Pak Harto. Pak Harto tidak ingin membebankan propaganda hitam itu kepada orang lain, agar BJ. Habibie bisa fokus menangani dampak krisis moneter, yang mempertaruhkan jutaan masa depan rakyat Indonesia pada saat itu.
- Kemungkinan kedua, Pak Harto kurang berkenan soal lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Pada saat itu Menteri Luar Negeri Ali Alatas kabarnya sudah hampir berhasil meyakinkan pihak-pihak terkait di dunia internasional untuk menyelesaikan soal ini melalui jalan diplomasi. Namun atas masukan dari para penasehatnya, yang jam terbangnya belum banyak, BJ Habibie memutuskan menggelar referendum yang menyebabkan lepasnya Timor Timur. Pak Harto tentu melihat suasana kebatinan para pejuang yang dengan susah payah mengintegrasikan wilayah ini dengan Indonesia dan suasana kebatinan penduduk Timor-Timur yang merasa terlindung dalam alam integrasi.
[1] BJ. Habibie, “Menyatu Dengan Aspirasi Bangsa”, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 tahun”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 373-376.
[2] Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam Kabinet Pembangunan V.