Jakarta, 29 Juni 1998
Kepada
Yth. Bapak H.M. Soehart
Jl. Cendana No. 7
Jakarta Pusat
MIMPI TERDAMPAR DI TENGAH DANAU [1]
Dengan hormat,
Damai sejahtera Allah menyertai Bapak, dan dalam keadaan suka cita penuh menerima surat ini. Dengan ini kami kiranya mendapatkan kehormatan, memperkenalkan diri kepada Bapak, Nama kami Chevrolet, umur 62 tahun, pekerjaan Pendeta di Gereja Methodist Indonesia di Jakarta. Kami merasa terpanggil menyampaikan sesuatu amanah yang kami merasa yakin datangnya dari Allah, Tuhan semesta alam. Pertama – tama kami mohon maaf, karena mungkin mengganggu Bapak dalam penyampaian ini.
Pada bulan Mei 1996 kami mendapat mimpi tentang Bapak, di mana keadaan mimpi itu, sesuai yang terjadi seperti keadaan sekarang ini. Mimpi lanjutan terjadi lagi awal Juni 1998 dan oleh dorongan “devine contact” mimpi tahun 1996 yang seharusnya disampaikan kepada Bapak, diamanahkan untuk disampaikan kepada Bapak.
Adapun mimpi yang kami alami tahun 1996 – garis besarnya sebagai berikut:
- Adanya semacam upacara nasional di suatu tempat (mirip Taman Mini)
- Komandan upacara yang seperti biasanya secara militer, diambil alih oleh seorang sipil dan upacara tetap berjalan dalam penghormatan militer dan umum.
- Setelah upacara selesai, ada terjadi gangguan massa dan dihentikan dengan agak keras oleh anggota ABRI yang bertugas. Korban manusia terjadi – yang diperingatkan sebelumnya jangan dilakukan tindakan keras.
- Terjadi proses alam, cahaya matahari meredup bertahap, dan identitas cahaya berubah dari cerah menjadi seperti cahaya magrib (menggelap).
- Lautan manusia jadi panik, beberapa menteri kabinet, antara lain Bapak Mantan Menteri Pekerjaan Umum dan Isteri beliau, lari menyelamatkan diri, kekacauan terjadi.
- Bapak dan sebahagian orang berpakaian rapi, meninggalkan lapangan dengan tenang berjalan ke suatu simpang jalan dan yang kami lihat jelas Bapak Murdiono. Tujuan Bapak tidak jelas.
- Alam yang seharusnya makin terang (karena upacara yang terjadi jam 10.00 pagi) makin berubah menggelap dan menakutkan.
- Terjadi lagi arus baru, datangnya pasukan berkuda sangat menakutkan berpakaian ninja (semacam pasukan tidak dikenal) dan banyak orang yang terinjak kuda, serta kocar – kacir. Dalam mimpi tersebut kami hanya berucap “Ya, Allah kenapa begini”.
Pada awal Juni 1998, tanggalnya kami lupa, kami mimpikan Bapak lagi bersama sejumlah pembesar, dan setelah selesai ramah – tamah Bapak dengan mereka, semuanya pergi, dan tinggallah Bapak seorang diri. Kami menemui Bapak, dan mengajak naik ke satu rumah di suatu perkampungan. Bapak naik ke rumah tersebut, dan kami per-silahkan duduk.
Kami tidak melihat Bapak mengeluh. Proses alam pun terjadi lagi, satu danau di dekat perkampungan itu meluap tanpa datangnya hujan, dan air semakin mengitari rumah dan membuat hati jadi bingung dan kecewa. Kami pamit kepada Bapak, untuk mengusahakan perahu atau speed boad atau kapal kecil yang memang selalu tersedia di pinggiran danau itu untuk menyeberangkan Bapak ke tempat yang dituju. Hati kami jadi kecewa karena tidak ada satu perahu atau kapal kecil apapun lagi tersedia, karena semua orang telah memakainya. Dalam ketenangan dan kesendirian, Bapak menunggu saya, tetapi gagal mendapatkan kapal serta penyeberangan.
Kedua mimpi yang kami alami itu, dengan perasaan berat kami sampaikan kepada Bapak, sungguhpun sangat terlambat. Hati kami selalu sungkan menyampaikannya, tapi dorongan hati, seperti ada devine contact atau “Kontak Illahi” untuk harus menyampaikan kepada Bapak. Dalam hal ini, terpenuhilah dorongan kontak tersebut, sungguhpun hanya mimpi tapi amanah atau pesan dimaksud telah kami sampaikan kepada Bapak.
Kami berdoa kepada Tuhan, memohon perlindungan Bapak, dan telah menyampaikan pesan amanah. Kami tahu bahwa Bapak mungkin akan sangat kecewa dengan mimpi tersebut tetapi kami rasakan adalah “Amanah Illahi” maka tetap kami sampaikan kepada Bapak. Harapan kami, agar Bapak tetap sehat-sehat, dalam sejahtera Tuhan, dengan satu harapan pesan kenabian:
“Allah masih mengasihi Bapak dan karenanya tidak seorang pun lagi manusia yang dapat campur tangan dalam kehidupan Bapak, secara vertikal kecuali dalam kasih sayang Tuhan, yang menciptakan langit dan bumi, yang menyapa Bapak dengan pesan khusus”
Kami mohon kesediaan bapak secara “Totally direct” mohon keampunan kepada Allah, karena menurut kami, Bapak sedang disapa dan mohon segala perkenan-Nya. Kami penuh percaya dengan maksud Allah yang khusus kepada Bapak, kehendak Tuhan akan terjadi, siapa tahu petunjuk apa yang akan diberikan-Nya kepada Bapak, namun kami yakin dengan segala penyesalan Bapak tekun berdo’a puasa seorang diri, maka Dia akan menjawab do’a Bapak.
Demikian penyampaian kami, kiranya Tuhan tetap memberkati kehidupan Bapak kehidupan Bangsa Indonesia yang kita cintai ini, dan kehidupan orang-orang yang percaya kepada-Nya. Amin. (DTS)
Salam dan hormat kami,
Pdt. Chevrolet Lumbantoruan, STh.
Jakarta Selatan
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 327-329. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.