Mochtar Kusumaatmadja: Pak Harto Penuh Perhatian Terhadap Hukum Laut

Penuh Perhatian Terhadap Hukum Laut [1]

Mochtar Kusumaatmadja [2]

 

Menulis tentang pengalaman serta kenangan mengabdi negara dan bangsa selama kurang lebih 14 tahun membantu Presiden dalam pemerintahan bukan sesuatu hal yang mudah. Hal itu karena masih terlalu dekat dengan masa yang lampau, sehingga belum cukup jarak yang memisahkan saya dari masa itu untuk dapat benar benar obyektif. Juga karena sejarah masih bisa memberi penilaian yang lain tentang hal-hal yang terjadi dalam kurun masa itu. Karena itu tulisan ini lebih bersifat kesan-kesan pribadi tentang pengalaman membantu Presiden Soeharto dalam menjalankan pemerintahan di bidang Kehakiman dan Luar Negeri yang berlangsung masing­-masing dari Januari 1974 hingga Maret 1978 dan April1978 hingga Maret 1988.

Saya pertama berkenalan dengan Bapak Soeharto pada tanggal 11 Januari 1974 pada waktu diminta untuk menghadap beliau di kediaman di Jalan Cendana. Dalam hati saya bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan saya diminta datang. Mungkinkah ada hubungan dengan desas-desus rencana aksi mahasiswa yang akail turun ke jalan waktu kunjungan Perdana Menteri Tanaka dari Jepang. Waktu itu memang ada usaha untuk mengikutsertakan mahasiswa di Bandung. Sebagai Rektor Universitas Padjadjaran saya berusaha, bersama-sama Rektor ITB Prof. Doddy Tisna Amidjaja dan Panglima Kodam VI/Siliwangi, untuk mencegah dilibatkannya mahasiswa Bandung kedalam rencana orang-orang Jakarta ini. Akan tetapi rasanya kurang masuk akal Presiden langsung menaruh perhatian terhadap suatu masalah yang tentu sudah ditangani oleh alat-alat keamanan. Ternyata maksud beliau memanggil saya adalah lain daripada yang saya duga.

Kesan pertama yang saya dapat dari Bapak Soeharto waktu perkenalan pertama adalah bahwa orangnya tenang; juga cara mengemukakan pikiran dilakukan dengan kata-kata yang dipilih dengan cermat. Beliau mengatakan bahwa saya diminta untuk membantu beliau dalam pemerintahan sebagai Menteri Kehakiman. Saya masih ingat kata-kata beliau:

”Melihat ilmu pengetahuan dan keahlian yang Saudara miliki di bidang hukum dan juga pribadi dan sikap yang pantas menjadi tauladan dan memiliki pengalaman memimpin, maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini kami, seandainya Saudara bersedia, minta Saudara untuk membantu kami melaksanakan pemerintahan di bidang hukum. Perlu kami tegaskan bahwa pilihan atas diri Saudara ini sekali-kali tidak dilakukan atas dasar keinginan memperkuat satu klik dalam pemerintahan. Sekali-kali tidak. Kami mengharapkan Saudara melaksanakan tugas Saudara menurut hati nurani Saudara sesuai dengan Pancasila dan UUD dan jangan lihat sama Soeharto“.

Tugas yang diberikan adalah; pertama, memimpin Departemen Kehakiman. Kedua, mengembangkan hukum nasional yaitu pem baharuan hukum nasional dengan menggunakan LPHN. Ketiga, tetap menangani Hukum Laut. Keempat, merangkap jabatan Rektor Universitas Padjadjaran sambil menyiapkan seorang pengganti.

Mendengar susunan kata-kata yang digunakan Bapak Soeharto, saya terkesan dengan kecermatan dan kerapihan beliau dalam menyampaikan permintaan beliau kepada saya untuk menjadi Menteri Kehakiman. Pesan yang disampaikan menggambarkan seseorang yang berwatak sungguh-sungguh (serius), cermat, mempunyai tanggungjawab yang besar dan committed terhadap Pancasila dan UUD 1945. Juga tergambar di situ ketulusan hati dan keinginan untuk melaksanakan tugas benar-benar berdasarkan hati nurani dan Undang-undang Dasar dan tidak berdasarkan pada kekuasaan semata-mata. Begitu saya mengartikan petunjuk beliau agar dalam menjalankan tugas saya dipedomani Pancasila dan UUD 1945, dan tidak menurut perintah begitu saja.

Mendengar permintaan Bapak Soeharto dan cara penyampaiannya, saya merasa bisa bekerja membantu orang yang memiliki sifat­sifat dan prinsip berkerja yang saya sebutkan di atas. Saya pun menyatakan bersedia sambil mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan. Sebagai seorang ahli hukum, benar-benar merupakan suatu kehormatan bagi saya karena diangkat menjadi Menteri Kehakiman.

Ini berarti bahwa saya mendapat kesempatan untuk melaksanakan idea-idea dan pikiran tentang pembinaan dan pembaharuan hukum yang dikembangkan menurut konsep yang tidak semata-mata melihat hukum sebagai perangkat ketentuan untuk memelihara ketertiban belaka, tetapi juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Didalam pelaksanaan tugas sebagai Menteri Kehakiman, saya tidak menemui kesulitan apapun karena selalu mendapat dukungan sepenuhnya dari Bapak Soeharto. Kepercayaan ini antara lain tercermin dalam kenyataan bahwa tugas mengenai Hukum Laut tetap dipercayakan kepada saya, walaupun saya sudah menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Seperti diketahui, usaha di bidang Hukum Laut bertujuan untuk meningkatkan partisipasi Indonesia dalam Konferensi Hukum Internasional PBB tentang Hukum Laut dan kegiatan penyelesaian garis batas landas kontinen dan batas-batas laut lainnya. Usaha yang saya jalankan sejak tahun 1969 ini diminta oleh Pak Harto agar dilanjutkan terus, bahkan ditingkatkan. Partisipasi·aktif Indonesia yang meningkat dalam bidang Hukum Laut ini banyak membantu perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan internasional akan asas negara kepulauan dalam hukum laut yang merupakan pencerminan daripada Wawasan Nusantara.

Pengertian dan dukungan Presiden Soeharto terhadap usaha memperjuangkan kepentingan Indonesia di bidang Hukum Laut ini menjelma dalam dukungan yang diberikan Menteri Hankam/ Pangab dengan pembentukan Panitia Koordinasi Wilayah Nasional (Pankorwilnas). Panitia ini cukup penting peranannya dalam mengkoordinasikan segala masukan tentang kegiatan dalam mengkoordinasikan segala masukan tentang kegiatan pelbagai instansi dan departemen di bidang Hukum Laut.

Pidato yang diucapkan oleh Presiden Soeharto pada waktu pelantikan Menteri Kehakiman memberi petunjuk yang jelas tentang arah yang harus ditempuh dalam melakukan pembinaan dan pembaharuan hukunm nasional. Beliau mendukung gagasan agar hukum tidak saja merupakan pengayom untuk pencari keadilan tetapi juga berfungsi sebagai sarana dalam pembangunan. Sebagai orang universitas yang telah membantu Bappenas dan Sekretaris Kabinet menyusun Bab dalam Repelita II yang memuat pola dasar dan prograrn pembaharuan hukum nasional, saya tentu berbesar hati mendengarnya. Atas dorongan Presiden Soeharto inilah dalam waktu yang relatif singkat diletakkan dasar-dasar bagi usaha pembinaan dan pembaharuan hukum secara berencana sebagai bagian daripada rencana pembangunan nasional.

Selain dalam substansi pekerjaan, Presiden Soeharto juga memberikan dukungan penuh dalam pelaksanaan tugas, dalam arti bahwa beliau sepenuhnya mempercayakan penanganan bidang hukum itu kepada saya sebagai Menteri Kehakiman. Waktu yang tersedia, yakni kurang dari satu masa jabatan, terlalu singkat untuk berbuat lebih banyak, tetapi berkat dukungan Bapak Soeharto terhadap gagasan hukum sebagai sarana pembangunan, cukup banyak dasar yang dapat diletakkan dalam waktu yang singkat itu. Apabila semua biro hukum di semua departemen ditingkatkan kemampuannya, sehingga Menteri Kehakiman dengan BPHN-nya memiliki mitra kerja di semua departemen dalam bidang hukum dan perundang-undangan, maka mekanisme kegiatan legislatif nasional bisa, berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Disamping peningkatan kemampuan setiap departemen di bidang hukum dan perundang undangan, untuk terbinanya program legislatif nasional yang baik, yang meliputi segala sektor pembangunan, diperlukan juga perencanaan legislatif tiap departemen. Kemampuan penyusunan perencanaan undang-undang di setiap departemen bisa ditingkatkan dengan jalan meningkatkan kemampuan legal drafting (ketrampilan menulis dan menyusun naskah RUU dan dokumen hukum lainnya).

Gagasan untuk mengubah sistem kepenjaraan dengan sistem pemasyarakatan yang mula-mula dicetuskan dan diletakkan dasar­-dasarnya oleh Menteri Kehakiman Sahardjo sempat dikembangkan, dan diperkuat dasar-dasarnya pada masa jabatan itu juga. Walaupun hampir tidak tersedia anggaran, dimulai juga pembangunan lembaga-lembaga pemasyarakatan sebagai pengganti penjara-penjara yang dulu umumnya terletak di pusat kota. Masalah anggaran diatasi dengan sistem ruilslag, yaitu menukarkan tempat penjara di tengah kota yang sempit dengan lembaga pemasyarakatan di kawasan luar kota. Istilah “pemasyarakatan” dipopulerkan untuk menggantikan istilah “pembinaan tunawarga”. Penyatuan sistem peradilan nasional yang dilakukan oleh Menteri Kehakiman Supomo untuk mengakhiri sistem peradilan kolonial yang dualistik (bahkan  pluralistik) sempat pula dimantapkan perwujudannya waktu itu dengan adanya pola Pembinaan Peradilan, yang tidak saja meliputi bentuk, pembagian tata ruang dan klasifikasi gedung pengadilan, tapi juga meliputi perangkat lunaknya, seperti pengaturan tata-ruang pengadilan, administrasi dan perpustakaan, bahkan sampai buku pedoman untuk hakim.

Di tahun 1978 saya diberi tugas sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia menggantikan Bapak Adam Malik almarhum. Mula-mula saya merasa canggung menjadi Menteri Luar Negeri dan mempunyai kecenderungan untuk menangani persoalan-persoalan politik luar negeri sebagai ahli hukum. Kekakuan ini lambat laun hilang dengan pengalaman, dan di sinipun banyak dorongan dan bimbingan saya peroleh dari Bapak Soeharto.

Bidang politik luar negeri ternyata jauh lebih banyak persoalannya, terutama karena menyangkut negara-negara lain. Juga sering ada persepsi yang berbeda dengan teman sejawat atau menteri lainnya, terutama dari bidang security/keamanan. Namun dengan saling perrgertian dan kerjasama yang baik dapat juga dibina kerjasama yang serasi. Dalam hal inipun saya merasa dapat banyak bimbingan dan dukungan dari Bapak Soeharto yang didalam menjalankan kepemimpinan selalu mengembalikan segala sesuatu pada proporsi yang wajar dengan mengalokasikan wewenang menangani sesuatu persoalan sesuai dengan jabatan masing-masing. Sikap beliau yang selalu menunjuk atau mengembalikan soal-soal luar negeri kepada Menteri Luar Negeri sebagai. pejabat yang bertugas membantu beliau, lambat laun memantapkan kedudukan Menteri Luar Negeri dan Departemen Luar Negeri yang citranya pernah sangat menurun karena pimpinannya langsung terlibat dalam G-30-S/PKI.

Kepemimpinan sering diberikan oleh Bapak Soeharto dengan teladan, misalnya ketelitian dan kecermatan tidak saja ditunjukkan beliau dalam penggunaan kata-kata dan bahasa pada umumnya, tetapi ditunjukkan juga dalam cara berpakaian dan dalam hal bertepat waktu. Dalam hal bertepat waktu saya terkesan ketika pada suatu saat Presiden Soeharto, karena sesuatu hal, datang terlambat sedikit. Ketika bertemu dan mulai menyapa saya, hal pertama yang disampaikan beliau adalah: “Maaf, saya terlambat“. Kejadian ini sangat berkesan dalam diri saya, sebab seorang atasan mau meminta maaf kepada bawahannya karena ia terlambat datang pada suatu pertemuan yang telah ditentukan waktunya. Kejadian yang menunjukkan betapa cermatnya Bapak Soeharto dalam hal-hal seperti itu menyebabkan saya selalu berusaha untuk bertepat waktu. Kebiasaan untuk tidak terlalu memperdulikan cara berpakaian juga saya coba atasi. Orang mengatakan bahwa dalam hal ini saya tidak terlalu berhasil.

Lebih daripada ketika saya menjadi Menteri Kehakiman, dalam kedudukan sebagai Menteri Luar Negeri, saya diberi dan mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk meningkatkan pelaksanaan tugas saya di bidang Hukum Laut, khususnya dalam memperjuangkan pengakuan masyarakat dunia atas Wawasan Nusantara. Bantuan dan dorongan Presiden dalam hal ini tidak sekadar terbatas pada pemberian instruksi dan dukungan, tetapi juga dijelmakan dalam bentuk bantuan yang aktif dari beliau sendiri. Dalam hal ini beliau secara aktif ikut memperjuangkan pengakuan negara lain terhadap Wawasan Nusantara.

Usaha untuk memperoleh pengakuan negara lain atas konsep Wawasan Nusantara diusahakan dengan pelbagai cara. Selain melalui perundingan-perundingan garis batas landas kontinen dan garis batas laut lainnya, maka untuk memperoleh pengakuan negara asing dilakukan juga dengan dimuatnya klausul-klausul mengenai wilayah dalam perjanjian-perjanjian Pencegahan Pajak Berganda dan perjanjian antar-negara lainnya. Kesemua ini selalu mendapat pengertian dan dukungan Bapak Soeharto. Selain daripada itu Bapak Soeharto sendiri dalam hampir setiap kesempatan kunjungan ke negara asing selalu mengusahakan atau memuat petunjuk-petunjuk usaha pengakuan atas Wawasan Nusantara dalam acara kunjungannya. Dukungan Presiden Soeharto tidak berhenti dengan cara-cara yang saya sebutkan di atas. Beliau bahkan secara pribadi menaruh banyak perhatian terhadap masalah Hukum Laut yang saya laporkan sampai pada masalah yang detail sekalipun. Dalam suatu kesempatan bahkan Bapak Soeharto memberikan sumbangan pikiran yang membantu delegasi Indonesia menemukan penyelesaian masalah lalu lintas kapal asing melalui alur-alur pelayaran.

Ketika menghadapi masalah lebar alur pelayaran (sea-lanes) yang diperlukan untuk lintas kapal asing melalui perairan Nusantara timbul masalah bahwa lebar alur yang diminta oleh negara maritim besar, kita rasakan terlalu lebar. Keberatan kita terhadap alur pelayaran, yang merupakan koridor tetap di perairan Nusantara, demikian adalah karena perairan wilayah nasional yang berada dibawah kedaulatan negara kita akan dipotong (dikurangi) oleh koridor-koridor bebas yang tidak berada dibawah kedaulatan nasional Indonesia. Dalam menghadapi masalah yang sulit dipecahkan ini, Presiden Soeharto menyetujui bahkan menyarankan agar sistem alur pelayaran berupa koridor ini diganti dengan alur pelayaran yang ditentukan menurut suatu sumbu (axis) yang ditarik melalui selat tanpa harus merupakan koridor tetap.

Konsep alur pelayaran yang berdasarkan sistem sumbu inilah yang kemudian diajukan oleh delegasi Indonesia. Konsep ini pula yang akhirnya diterima dunia, yaitu setelah perjuangan kita yang cukup berat. Oleh karena itu, bagi saya, sebagai orang yang lebih dari 30 tahun berkecimpung dalam Hukum Laut dan turut merumuskan Deklarasi Djuanda di tahun 1957, dukungan dan bantuan serta partisipasi Bapak Soeharto dalam memperjuangkan Wawasan Nusantara di forum internasional merupakan pengalaman yang paling mengesankan selama kerja saya membantu beliau, baik sebagai Menteri Kehakiman maupun sebagai Menteri Luar Negeri.

Sebagai pejabat tinggi, saya juga merasa banyak belajar dari Bapak Soeharto mengenai persoalan yang dihadapi negara yang baru merdeka yang sedang membangun seperti Indonesia. Saya juga banyak belajar dari beliau tentang bagaimana menghadapi hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam hubungan ini perlu saya kemukakan, bahwa penjelasan-penjelasan yang beliau berikan, umpamanya mengenai trilogi pembangunan, sangat komprehensif, sistematis dan jelas. Ini membantu seorang pejabat tinggi memahami benar-benar tujuan dan sasaran pembangunan nasional, baik dalam jangka pamjang maupun dalam tahapan-tahapannya. Dengan mengetahui dan memahami ini, seorang pejabat tinggi akan tahu dimana posisinya dan peranan apa yang harus dilakukan dan prestasi apa yang diharapkan daripadanya.

Khusus sebagai Menteri Luar Negeri saya menganggap penting pula adanya konsep ketahanan nasional dan ketahanan regional yang mencakup segala aspek atau segi kehidupan masyarakat dan bangsa yaitu politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hankam. Sebagai seorang yang pernah menjadi dosen pembina Seskoad di tahun 1960-an, bagi saya semua ini memang tidak terlalu sulit untuk dipahami. Akan tetapi yang sangat membantu saya dalam melaksanakan tugas adalah kemampuan Bapak Soeharto untuk menerangkan segalanya itu dengan jelas dalam konteks kenegaraan, pembangunan dan kerjasama regional serta internasional. Dengan demikian jelas bagi saya tujuan dan sasaran yang harus kita capai.

Bukan itu saja. Beliau juga memberikan petunjuk-petunjuk pelaksanaan (operational guidelines) dengan menjelaskan kepada saya arti beberapa pepatah Jawa. Beberapa yang terpenting diantaranya adalah: (1) sugih tanpa banda; (2) perang tanpa bala; (3) menang tanpa ngalahake (ngasorake); (4) weweh tanpa kelangen. Prinsip prinsip ini saya terapkan didalam pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi khususnya terhadap negara-negara Asia Tenggara dan dalam membina persahabatan dan kerjasama ASEAN. Menurut pengamatan banyak orang, sikap Indonesia banyak membantu dalam memelihara stabilitas politik di Asia Tenggara dan membina serta memperkokoh kerjasama dan persahabatan antara anggota ASEAN.

Pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi berdasarkan prinsip ketahanan nasional dan regional dilengkapi dengan asas-asas operasional yang saya sebutkan di atas, tentunya tetap berdasar­kan prinsip-prinsip politik luar negeri yang kita warisi dari pendahulu kita dan telah merupakan prinsip-prinsip yang mendasar dan tidak berubah. Untuk mudahnya dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip itu dirumuskan secara lengkap dalam Dasa Sila Bandung yang merupakan pedoman pelaksanaan politik Iuar negeri Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif.

Sesungguhnya tujuan dan dasar-dasar politik luar negeri Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan tidak mengalami perubahan. Tujuan akhirnya adalah turut menegakkan dan memelihara perdamaian dan mempertahankan serta memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara. Tujuan akhir ini, dalam satu kalimat, dapat dirangkum dalam semboyan: “kita cinta perdamaian, tapi lebih cinta kemerdekaan”. Semboyan ini sekaligus mengaitkan tujuan nasional daripada perjuangan bangsa dan negara kita dengan peranan kita sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa (dunia). Semboyan ini juga sekaligus menjelaskan prioritas yang perlu diambil apabila antara keduanya terpaksa harus diadakan pilihan.

Terhadap pertanyaan mengapa tujuan dan prinsip prinsip politik luar negeri yang sama bisa menghasilkan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi yang berbeda di masa pemerintahan Orde Lama dengan di zaman Orde Baru ini, jawabannya terletak dalam filsafat ketahanan nasional dan prinsip pelaksanaan operasional politik luar negeri dan diplomasi yang baru dikembangkan dan dipraktekkan oleh pemerintah yang dipimpin Presiden Soeharto. Saya merasa bersyukur bahwa saya telah diberi kesempatan untuk mempraktekkan prinsip pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi Orde Baru ini selama masa jabatan selaku Menteri Luar Negeri.

Kalau sebelumnya saya buka karangan ini dengan kata-kata Presiden Soeharto sewaktu meminta saya menjadi pembantu di bidang pemerintahan sebagai Menteri Kehakiman; sekarang ingin saya tutup karangan ini dengan pesan yang disampaikan beliau sewaktu saya berhenti menjadi Menteri Luar Negeri. Setelah menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang mendasari keputusan beliau untuk mengakhiri masa jab atan saya, beliau mengakhirinya dengan pesan bahwa dengan dibebaskannya saya dari jabatan Menteri Luar Negeri yang telah banyak meminta pikiran, tenaga dan waktu, sehingga tiada waktu terluang untuk melakukan pekerjaan yang kreatif dan konsepsional, beliau meminta agar saya, menggunakan waktu yang kini tersedia untuk memikirkan implementasi atau pelaksanaan Wawasan Nusantara di segala bidang pembangunan.

Menurut beliau kita sudah cukup berhasil dalam memperoleh pengakuan dunia internasional terhadap Wawasan Nusantara dalam arti kewilayahan. Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana memanfaatkan hak untuk menggunakan ruang yang terdiri dari bumi dan laut itu secara maksimal. Ini tentunya akan terwujud dalam penjabaran pelaksanaan Wawasan Nusantara di segala bidang atau sektor pembangunan. Saya dengan gembira menerima tugas baru ini karena memang tanpa implementasi dalam segala bidang pembangunan, maka Wawasan Nusantara akan kurang kegunaannya bagi kehidupan bangsa dan negara.

***



[1]     Mochtar Kusumaatmadja, ” Penuh Perhatian Terhadap Hukum Laut”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 513-522.

[2]     Menteri Kehakiman masa bakti 1974-1978; dan Menteri Luar Negeri masa bakti 1978-1988

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.