NASEHAT PRESIDEN KEPADA PARA PEJABAT
Jakarta, Merdeka
Presiden Soeharto ketika menerima Gubernur baru Bengkulu Razie Yahya Senin sempat memberikan nasehat-nasehat yang amat mendalam dan memiliki arti yang luas sekali. Dikatakannya seorang pejabat janganlah hendaknya sampai tergoda oleh derajat, semat dan wanita.
Artinya derajat yang dikatakan Presiden adalah seorang pejabat itu harus mampu mengendalikan diri. Jangan sampai berambisi memperoleh jabatan yang lebih tinggi dengan melakukan apa saja atau menghalalkan segala macam cara.
Sedangkan arti semat yaitu kalau kita mempunyai jabatan jangan mengejar-ngejar kekayaan. Jangan neko-neko. Jangan kebat keliwat. Dan tentunya jangan mumpung. Tetapi segala sesuatunya harus direncanakan dan dipertimbangkan secara matang. Tidak terburu-buru.
Sedangkan khusus mengenai masalah wanita, kiranya hampir semua kalangan masyarakat mengerti apa arti yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu masalah seperti ini di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 10.
Nasehat Presiden kepada para pejabat ini tentunya dilandasi suatu penemuanpenemuan atau indikasi-indikasi yang menyangkut masalah-masalah tadi. Sebab hampir menjadi rahasia umum dewasa ini terdengar, bagaimana segelintir kalangan memainkan peranan seperti yang disinyalir Presiden tadi.
Banyak kalangan masyarakat kita yang menganggap wajar kalau ada sementara pejabatnya melakukan segala macam cara, asalkan apa yang diinginkan atau ditujunya dapat dicapai. Bahkan yang namanya melakukan sogok dan upeti, sudah dianggap bukan hal yang luar biasa.
Malah ada sementara kalangan pejabat yang main-main dukun segala untuk meraih jabatan yang diinginkannya. Sehingga seringkali kita tidak lagi melihat apa yang dilakukannya rasional. Tindakan-tindakan irrasional justru seringkali kita dengar.
Dan setelah segelintir kalangan tadi berhasil meraih apa yang diinginkannya dengan cara-cara machiavelistis, maka tidak mengherankan kalau kemudian mereka melakukan tindakan yang bersifat mumpung. Dan resultat dari sikap seperti itu jelas akan menumbuhkan sifat-sifat sok kuasa, otoriter.
Sikapnya semakin egoistis. Mereka sudah tidak ambil peduli lagi, apakah tindakannya baik atau sudah tidak lagi. Mereka berpikir pendek saja. Mereka pikir kalau tidak sekarang, kapan lagi.
Ekses-ekses negatif pun niscaya terus menyusul kemudian dan semakin bertimbun saja. Menarik sekali apa yang telah diungkapkan presiden Soeharto tadi. Oleh karena itu, untuk menghindarkan dan mengeliminimya diperlukan suatu sistim pengawasan dan mekanis mejenjang jabatan yang sifatnya kualitatif.
Sehingga setiap atasan tidak sesuatu hanya sekedar atas dasar like or dislike. Suka atau tidak suka. Jenjang karier seseorang hendaknya diukur dari kualitas serta ketrampilan dan loyalitasnya. Dan hendaknya dihindarkan suatu sistim koneksiisme, familiisme atau klikisme.
Dalam kaitan ini, kiranya seluruh jajaran pemerintahan harus benar-benar melaksanakan sasaran tadi secara terpadu. Sehingga mekanisme sistim ketja seperti itu tidak memungkinkan oknum-oknum tertentu melakukan tindakan machiavelistis.
Suatu tindakan-tindakan tidak terpuji seperti yang dinasehatkan Presiden diatas tadi. Sebab memang sulit untuk menghindarinya, manakala mekanisme sistim kerja masih memungkinkan segelintir oknum-oknum untuk berbuat dan bersikap neko-neko.
Adalah mustahil suatu tindakan atau sikap yang tidak terpuji tadi dapat berwujud dalam kenyataan hidup kita sehari-hari kalau hanya dilakukan sebelah tangan. Tindakan dan sikap tidak terpuji tersebut baru akan berwujud kalau segalanya dilakukan kedua belah pihak.
Karena itu sekali lagi, kiranya suatu iklim atau sistim yang terpadu yang dapat mengeliminir tindakan dan sikap yang tidak terpuji tadi harus secara mantap diwujudkan. Kiranya kita semua sependapat janganlah sampai masih ada celah-celah untuk segelintir orang berbuat semaunya. Karena yang dirugikan bukan hanya sekedar diri dan keluarganya saja. Tetapi lebih penting dari itu, seluruh rakyat dan negara ini pun niscaya akan dirugikan.
Dan membiarkan hal itu terus mewabah sama saja dengan kita membiarkan negara ini menuju ke suatu jurang kehancuran.
Sumber : MERDEKA(09/08/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 280-281.