NEGERI YANG DIKUNJUNGI PRESIDEN SOEHARTO HARI INI : REFORMASI TUNISIA ALA BEN ALI[1]
Jakarta, Republika
Di bawah pemerintahan Presiden Zine El Abidine Ben Ali tanggal 7 Nopember merupakan saat titik balik bagi Tunisia dalam sejarah modern.
Tunisia adalah sebuah negeri Afrika utara yang diapit oleh Aljazair dan Libya. Negeri ini terhampar mulai pesisir selatan Eropa hingga laut tengah. Luas wilayahnya sekitar 164.150 km2 dengan jumlah penduduk 8,5 juta jiwa serta pendapatan perkapita diatas 1.600 dolar AS (Rp.3.200).
Enam tahun lalu tepatnya tanggal 7 November 1987 Ben Ali yang saat itu menjabat perdana menteri menjabat Presiden Republik Tunisia yang kedua. Dalam hari yang bersejarah itu, ia berjanji akan melakukan perubahan besar-besaran di segala bidang demi menghadapi tantangan baru di negerinya itu.
Di bidang politik, ia mengadakan sejumlah perombakan konstitusi, terutama menghapus sistem Presiden seumur hidup dan menggantikannya dengan sistem masa jabatan lima tahun. Lebih jauh lagi, membebaskan semua tahan politik dan mengizinkan pihak Amnesty International untuk meninjau. Dengan berkuasanya Ben Ali, pelaksanaan demokrasi terus ditingkatkan dengan menata sistem hukum yang mengatur kemerdekaan berpartai serta kebebasan pers. Setelah itu, ia juga mengerahkan seluruh kekuatan politik melalui suatu kebulatan tekad nasional yang antara lain menyeru agar seluruh pihak ikut dalam proses pembangunan.
Di bidang ekonomi, Presiden Ben Ali berhasil menggalang swastanisasi sector publik sehingga memberi kebebasan lebih luas kepada badan-badan usaha swasta. Dan, itu juga memberikan kebebasan bagi berdirinya maskapai-maskapai dagang internasional. Hingga November 1993 perintah Tunisia telah dua kali mengeluarkan undang-undang perdagangan yang berhasil menarik investasi sangat besar terutama dari Eropa dan Timur Tengah.
Tindakan-tindakan itu telah membantu membentuk citra baru Tunisia sebagai sebuah negeri yang berorientasikan pasar sekaligus merupakan surga bagi para penanam modal. Di kawasan itu, Tunisia tentu saja telah dikenal sebagai salah satu mitra ekonomi terpercaya bagi negara-negara tetangga. Baik secara ekonomis maupun historis Tunisia adalah mitra sekaligus gerbang menuju pasar Eropa. Dengan semakin meningkatnya peran sebagai pu sat ekspor, Tunisia layak dijuluki “Singapura” nya kawasan itu.
Dengan pendekatan yang lebih moderat, di bawah pemerintahan Ben Ali, Tunisia semakin kuat identitas keislamannya, ini mungkin serupa dengan pendekatan yang dilakukan Indonesia terhadap urusan-urusan agama.
Tunisia adalah sebuah negeri turisme yang setiap tahunnya dikunjungi sekitar 4 juta pelancong Eropa serta negara Maghribi yang berdekatan. Sektor ini bahkan telah memberikan pemasukan sekitar 1,3 milyar dolar AS (Rp. 2,6 trilyun pertahun).
Di lapangan kebijakan luar negeri sebuah diplomasi baru bercirikan transparansi serta dinamis telah dicanangkan oleh Presiden Ben Ali. Kebijakan ini memberikan tekanan pada lingkungan Tunisia serta kawasan Afrika utara. Lebih khusus lagi untuk Uni Arab Magribi yang membawahi Tunisia, Aljazair, Maroko, Libya dan Mauritania. Sejak Januari 1993, Tunisia mengetuai Dewan KePresidenan serikat negara itu untuk masa jabatan satu tahun.
Untuk menghadapi perubahan dunia yang demikian cepat ini, Tunisia dan baru telah memperluas hubungan dengan kelompok negara lain seperti Masyarakat Eropa dan ASEAN. Alasannya, Tunisia melihat adanya kerja sama potensial dengan ASEAN. Ini merupakan bukti penting bagi kerja sama saling menguntungkan untuk bertukar pengalaman serta pengetahuan. Ini sejalan dengan semangat Dialog SelatanSelatan.
Hubungan antara Tunisia dan Indonesia sangat baik. Para pejabat tinggi telah lama melihat bahwa kedua negeri punya persamaan pandangan terhadap berbagai risalah seperti Islam serta keluarga berencana. Tunisia juga banyak mendukung Indonesia dalam masalah peka-misalnya soal TimorTimur.
Dalam kerjasama ekonomi, kedua negara telah menjadi mitra yang baik sejak tahun tujuh puluhan ketika Indonesia masih membeli pupuk guna menghadapi permintaan beras yang sedang meningkat. Sebaliknya, Tunisia dalam hal ini, telah mengimpor kopi, tembakau serta karet.
Pada 1989, volume perdagangan kedua pihak telah mencapai puncaknya dengan nilai 60 juta dolarAS. Namun itu kemudian turun hingga sekitar 30 juta dolar AS. Untuk meningkatkan kembali volume perdagangan, sejumlah pejabat tinggi telah melakukan usaha intensif sejak sidang komisi ekonomi bersama, 1991.
Dengan adanya kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto ke Tunisia, kerja sama bilateral akan memperoleh dorongan besar. Ini merupakan lawatan pertama Presiden Indonesia ke Tunisia dalam lebih 28tahun terakhir. Peristiwa bersejarah ini diharapkan akan meningkatkan kerja sama lebih erat di bidang-bidang lain. (kos)
Sumber : REPUBLIKA (15/10/1993)
________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 236-238.