Nelangsa

Jakarta, 9 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak H. M. Soeharto

di tempat

 

NELANGSA [1]

 

Assalamu’ alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bapak Soeharto yang saya hormati,

Semenjak kami kecil hingga dewasa, orangtua kami selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk selalu bertakwa kepada Allah swt, berbakti kepada orangtua dan menghormati pahlawan bangsa, pemimpin bangsa, walaupun sudah tidak lagi memimpin bangsa.

Masih segar di dalam ingatan saya bagaimana kedua orangtua kami merasa sangat prihatin, nelangsa, miris dan merasa tertusuk melihat, membaca, dan mendengar kata-kata dalam berbagai pernyataan lisan maupun tertulis yang bernada menghujat dan mencemooh Bapak Soekarno, Proklamator dan Presiden Republik Indonesia Pertama, pada saat Bapak Seokarno sudah tidak lagi menjadi presiden RI dan pemimpin bangsa Indonesia.

Sebagai generasi penerus, saya pun merasakan hal yang sama, seperti yang dirasakan kedua orang tua kami pada saat itu. Terus terang, pada saat ini saya juga sangat prihatin, nelangsa, miris, dan merasa tertusuk, melihat, membaca, dan mendengar kata-kata dalam berbagai pernyataan lisan maupun tulisan, yang bernada menghujat dan mencemooh terhadap Bapak Soeharto, presiden Republik Indonesia yang kedua, pada saat Bapak Soeharto sudah tidak lagi menjadi presiden dan memimpin bangsa Indonesia.

Saya hanyalah seorang rakyat kecil, di antara 202 juta rakyat Indonesia lainnya, yang tidak berdaya berbuat apa-apa, selain berdoa dan memohon ke hadirat Allah swt, agar Bapak Soeharto dapat menghadapi cobaan Allah swt dengan tabah dan tawakal. Saya percaya, Allah swt tidak akan mencoba umatnya diluar batas kemampuan.

Sebagai warga negara Republik Indonesia, saya pun mendukung reformasi. Tapi reformasi dalam arti yang sebenarnya, yaitu reformasi yang positif, atau reformasi untuk memperoleh segala sesuatunya menjadi lebih baik lagi.

Masa kini harus lebih baik dari masa silam, dan masa depan harus lebih baik dari masa kini, dan seterusnya. Tetapi apa yang terjadi saat ini. Sungguh memprihatinkan. Reformasi tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan dan bayangkan. Yang berkembang belakangan ini justru sebaliknya.

Banyak bermunculan pahlawan kesiangan, dan petualang atau badut politik yang dengan kedok atau tameng reformasi berupaya dengan segala cara ingin mencapai tujuannya untuk kepentingan kelompok atau pribadinya.

Semuanya itu justru mengakibatkan merusak segala sesuatu yang sudah didapat dan dinikmati oleh seluruh bangsa dan rakyat Indonesia. Lebih memprihatinkan lagi, pada saat Bapak Soeharto sudah tidak lagi menjadi presiden RI dan memimpin bangsa Indonesia, para menteri dan pejabat negara yang dulu loyal terhadap Bapak berubah dan berbalik 180 drajad.

Benar kata pepatah bahwa sahabat sejati adalah sahabat di kala kita sedang mendapatkan kesusahan dan penderitaan.

Bapak Soeharto yang saya hormati, Sekali lagi saya hanya dapat berdoa dan memohon ke hadirat Allah swt, kiranya Bapak dapat memahami cobaan Allah swt ini dengan tabah dan tawakal.

Amin … Amin … Amin. (DTS)

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Hormat saya,

Widyo Satmoko

Cinere

[1]     Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 835-836. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.