NUSA DUA YANG SPEKTAKULER/ LAPORAN ACO MANAFE

Dan Catatan Tercecer Atas Kunjungan Pak Harto :

NUSA DUA YANG SPEKTAKULER/ LAPORAN ACO MANAFE [1]

 

Jakarta, Sinar Harapan

KUNJUNGAN Presiden baru2 ini adalah yang ketiga, temanya: “pariwisata”, karena meninjau sarana2 dan obyek2 kepariwisataan sebagai “leading sector” pembangunan di Bali.

Kunjungan I tahun 1968 untuk membuka Interport Ngurah Rai, pertanda Bali terbuka 24 jam untuk dunia internasional. Kunjungan kedua sesudahnya secara incognition ketika mengadakan tour mengecek pelaksanaan Pelita I ke pelosok Jawa.

Menteri Emil menjelaskan kepada Pak Harto peta rencana proyek Nusa Dua salah satu “tourism resort” terbesar setelah Kuta dan Sanur. Dilanjutkan dengan laporan pula proyek Samsudin SH, yang disusun Team Science UNDP disusul “design student” oleh Pacific Consultan Jepang nampaknya mengafilisasi Nusa Dua untuk membentengi Bali dari pengaruh asing wisatawan yang dalam tahun2 mendatang berubah antara 18-20%.

Angka wisatawan asing tahun ini 84.000. Nusa Dua memang proyek yang spektakuler. Ketika Frans Seda masih Menhub, ia mengatakan bahwa Nusa Dua hanya akan digarap modal asing saja, tapi kali ini Menteri Emil Salim mengatakan bahwa modal2 pribumi atau swasta nasionalpun akan diberikan kesempatan yang sama.

Dulu berita dari Hongkong maupun Australia yang dikutip “SH” katakan, bahwa Nusa Dua akan merupakan pulau casino terbesar di Asteng, bahkan saingan utama dari Monaco. Kemudian reaksi dari berbagai pihak termasuk Gubernur dan Mendagri bahwa di Bali tak akan ada casino. Sebesar pariwisata di Bali tahun lalupun timbul pendapat yang pro dan kontra terhadap adanya nightclub dan casino.

Tahun 1980 akan berdiri di Bali hotel2 besar sebanyak hampir 7.000 kamar. Seperti Sanur dan Kuta, Nusa Dua akan merupakan kota satelit, jadi melihat “master plan” dua terbesar dan bahkan merupakan daerah elite yang terbagus dan termahal di Asia. Melihat peta dan tata kota Nusa Dua memberi kota, karena dengan kunjungan Presiden tsb. nampaknya membangun Nusa Dua bukan mimpi lagi. Persiapan2 sudah matang untuk membangun infrastruktur, membebaskan tanah2 rakyat, apalagi Pak Harto mengatakan modal2 asing sudah rebutan melamar, meskipun tender baru mulai bulan depan hingga Maret 1974 sebelum Pelita II mulai, 6950 kamar (terdiri dari 12 kompleks hotel) tahun 1978,3 kali lebih banyak dari yang ada (2250) di Denpasar, Sanur dan Kuta.

Saat itu juga Bali sudah menyerap kl. 242.000 wisatawan (30% dari jumlah seluruh Indonesia) dengan “night stay” 5 hari kira2 1 juta orang. Jumlah “expenditures” wisatawan kira2 185,2 juta US dollar, atau 60 juta US dollar untuk Bali = kl 3 milyar rupiah, jika di kurs sekarang.

Pendapatan dari sumber2 konvensionel dihitung dari pendapatan Propinsi dan Kabupaten sekarang kira2 setahun hanya Rp. 0,8 milyar saja. Pajak pusat tahun yl Rp. 560 juta targetnya. Berarti pendapatan tourisme hampir 4 kali lebih besar, belum termasuk PB I yang ditarik oleh kabupaten Badung. Sekarang PB I kira2 300 juta dengan jumlah kamar kl 1.000, kalau tahun 1978 10.000 kamar berarti PB I kl3 milyar.

Nusa Dua sebagai “centres of accomodation” terbesar di lengkapi dengan berbagai fasilitas istimewa dan bertaraf internasional seperti golf, dan tennis court, restoran2, “fishing and jetty boat”, “islet park”, “terminal”, “community areas” dsb.

Penduduk Bualu dan Nusa Dua dulu (hingga kinipun masih 22 orang dengan 47,5 ha yang belum menyerahkan tanahnya) agak keberatan menyerahkan tanahnya, karena dianggap tawaran terlalu murah.

Dari jumlah 420 ha kira2 dikeluarkan uang hampir Rp 1/2 milyar saja, sedangkan investment utk membangun Nusa Dua yang spektakuler ini hampir Rp. 60 milyar. Bagaimanapun rakyat telah berusaha, mendeposit uang dari ganti rugi, sebagian dibelikan tanah pertanian baru seperti pengakuannya pada Pak Harto, ada juga yang membeli barang2 prestise (Honda, mobil dll) disamping memperbaiki tempat tinggalnya. Pola penggunaan uang masih konsumtif.

Dengan kedatangan Pak Harto sambil berdialog langsung dengan rakyat setempat tentu pendapat mereka yang negatif dulu berubah menjadi netral kembali. Mereka bisa membayangkan bahwa Kepala Negara bukan hanya mencek proyek Nusa Dua, tapi ingin juga mendengarkan langsung pendapat dan mengetahui keadaan rakyat setempat, bila daerah mereka sudah dirubah akan menjadi begitu hebat nanti.

Orang2 Nusa Dua bila hotel2 besar berdiri akan bergeser ke barat (“community area” sudah disiapkan), tapi ke atas lagi sudah menemui bukit karang yang tandus yang masih minum air dari langit (hujan).

Nusa Dua dan Bualu satu2nya daerah termakmur di kaki pulau Bali. Sepuluh ribu penduduk atau sebagian saja yang akan ditransmigrasikan angka yang cukup besar. Bisakah mereka disiapkan untuk ikut terlibat tanpa digilas oleh mekanisme tourisme? Mereka bisa meniru cara2 orang Sanur sekarang yg tadi2nya menangkap ikan, jual rumput laut, bakar kapur dan kumpul karang dsb kini menyewakan perahu2, menari, jual patung, buka restoran, jadi guide atau karyawan, arus wisatawan tidak menghilangkan keaslian dan memerosotkan nilai budaya yang tinggi yang justru menjadi daya tarik utama para wisatawan.

Alat Pancingan

DUNIA modern menghendaki yg praktis dan cepat. Unsur ini terdapat juga dalam centrum2 (“art centres” dan “Bali Information Centres”) yang akan dibangun 7 buah di seluruh Bali. Ide membangun BIC sebagai tempat pertemuan kebudayaan asing dan Bali, dan konsentrasi kebudayaan yang sudah tersebar itu.

Art centre Abiankapas nyatanya mempermudah para turis melihat kumpulan lukisan2 terbaik dari berbagai aliran. (termasuk seni ukir/pahat, tenun dsb), sehingga wisatawan yang berkunjung sekali masuk sudah bisa melihat Bali didalamnya.

Meskipun pendapat lain lebih cocok, jika wisatawan langsung ke tempat seniman, melihat koleksi2 secara pribadi, tata hidup yang bergerak di balik lukisan mereka.

Tapi ini kadang2 juga sulit, karena tak semua pengunjung demikian. Route yang dicoba disusun oleh Sceto dari hotel2 ialah pertama-ke utara melalui : Mengwi, Bedugul, Mengwi Sangeh, Mengwi, Kediri, Tanah ke Tabanan. Kedua: Singapadu ke “tourist attraction” dan “centres”. Singapadu, Celuk, Mas, Peliatan, Ubud. Peliatas, Sarujuan Tiga, Pejeng, Tampaksiring, Singapadu, Celuik, Blabbatu, Gianjar, Bangli, Kehen, Pemelokan, Batm, Kiniamani dan Panulisan. Ketiga: Singapadu, Celuik, Gianyar, Klungkung, Randang, Besaskih, Klungkung, Goa Lawah, Padang Ba, Karangasem, Salak, Rendang, Besakih. Route ini menguntungkan pariwisata karena jika ditempuh seluruhnya memakan waktu tiga hari. Art centres seperti Abiankapas, BIC2 Samuan. Tiga: Mengwi, Sanggraha Kriya Asia akan merupakan alat pancingan sekaligus penterjemah, sumber informasi yang sudah tersusun dalam tiap2 lukisan, patung, miniatur2, museum, tempat “display”, sekaligus juga tempat menonton tarian dan tempat belanja para tourist.

Jika demikian usaha2 swasta harus benar bersaingan gesit dengan toko2 pemerintah, panggung2 atau “sekehe2 negara” yang sudah disiapkan.

Jalan lain ialah ‘joint venture”, karena centrum2 meskipun bukan monopoli, adalah alat2 yang lebih arnpuh. Ada pertanyaan yang diajukan pada Menteri Emil, apakah dengan centrum2 begini, tourist akan sulit masuk ke kampung? Jawabannya tentu tidak sarna sekali, tapi paling sedikit dengan “length of stay” yang terbatas (3-5 hari) sudah mempersulit seorang tamu melompat ke luar dari “route2 yang ditetapkan” tadi berhadapan langsung dengan masyarakat Bali asli masuk kampung, bandar dsb. Pilihan yang tidak bisa lain ialah memasuki bentuk2 yang sudah “artifisial” ini. (DTS)

Sumber: SINAR HARAPAN (08/12/1973)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 245-248.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.