Detik-detik di Sekitar Berhentinya Pak Harto
PAK HARTO BUKAN SOSOK AMBISIUS
(BJ Habibie Orang Terakhir yang Menemui Pak Harto Sebelum Mengambil Keputusan Mengundurkan Diri dengan Membawa Copy Surat Pengunduran diri 14 Menteri)
PADA Kamis, 21 Mei 1998, pukul 09.05 WIB, di Istana Merdeka, H Muhammad Soeharto menyatakan “berhenti” sebagai Presiden RI yang kedua, setelah selama 32 tahun memegang tampuk kepemimpinan bangsa dan Negara. Berhenti atas keputusannya sendiri, dengan merujuk Pasal 8 UUD 1945, yang berbunyi: “Jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai habis batas waktunya.”
“Sejak beberapa waktu terakhir saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional demi terpeliharanya kesatuan dan persatuan bangsa, serta kelangsungan pembangunan nasional saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.
Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi saya menilai, bahwa dengan tidak dapat diwujudkan Komite Reformasi, perubahan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas Pemerintahan Negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan DPR dan Pimpinan fraksi-fraksi, saya menyatakan “berhenti” dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, hari Kamis 21 Mei 1998. Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan Saudara-saudara pimpinan DPR-RI yang juga adalah Pimpinan MPR pagi ini pada kesempatan silaturahmi.
Sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof Dr BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003.
Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin Negara dan bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya, semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945-nya. Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII “demisioner” dan pada pada menteri saya ucapkan terima kasih.
Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan Pengucapan Sumpah di hadapan MPR, maka untuk menghindari “kekosongan” pimpinan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara, kiranya saudara Wakil Presiden sekarang juga akan melaksanakan Pengucapan Sumpah Jabatan Presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia.”
Beberapa detik setelah itu, Wakil Presiden Dr BJ Habibie dilantik sebagai Presiden RI ketiga. Dan usai pelantikan, Jenderal Wiranto, selaku Panglima ABRI memberi keterangan singkat bahwa sesuai dengan warisan budaya bangsa, maka ABRI akan memberi jaminan keamanan bagi HM Soeharto dan keluarganya, sebagaimana juga dilakukan kepada keluarga mantan presiden lain.
Usai pelantikan Pak Habibie, Pak Harto menuju ke ruang Jepara, dimana pimpinan DPR menunggu. Disinilah, beberapa menit sebelum Pak Harto menyatakan berhenti, Pimpinan DPR/MPR diterima Pak Harto, masih sebagai Presiden. Pada pertemuan ini, Pak Harto menyampaikan niat pengunduran dirinya. Sekarang, dengan sikap “ngapu rancang” (Jawa), tangan bersilang di depan, di bawah perut, yang menunjukkan sikap hormat seseorang kepada orang yang dihadapinya, sebagaimana sikap seseorang yang menghadapi atasan, atau “kawula” terhadap “raja,” Pak Harto mengatakan:
“Saudara-saudara sejak sekarang saya tidak menjadi Presiden lagi. Saudara-saudara selaku pimpinan DPR/MPR semoga ikut menjaga bangsa dan Negara ini. Terima kasih.”
Setelah itu, diikuti oleh Mensesneg Saadillah Mursjid dan Mbak Tutut, HM Soeharto meninggalkan Istana Merdeka, tidak menengok ke kanan dan ke kiri, menuju mobil yang telah tersedia. Tiba di Cendana 10, di kediaman HM Soeharto pribadi, di ruang keluarga, sebelum duduk di kursi, HM Soeharto menengadahkan tangannya ke atas, mengucapkan Allahu Akbar beberapa kali. Usai sudah beban di pundak ini, begitu Pak Harto berucap pelan. HM Soeharto bersyukur bahwa selama itu, ia telah berusaha untuk dapat mengabdikan dirinya bagi bangsa dan negaranya. HM Soeharto memastikan niatnya untuk “Madeg Pandito.”
Gambaran seperti itu mungkin jauh dari perkiraan kebanyakan orang. Akan tetapi, itulah yang terjadi. Apabila kemudian Pak Harto dihujat tanpa henti, berhadapan dengan pengadilan, semua itu pasti di luar perhitungannya.
Barangkali, tidak ada di antara kita yang percaya, ketika pada 20 Mei 1998 malam, sekitar pukul 22.00 WIB, HM Soeharto, Presiden RI yang kedua, mengambil keputusan untuk berhenti. Orang terakhir yang menemui Pak Harto malam itu adalah BJ Habibie. Wakil Presiden RI itu bertemu dengan Pak Harto, setelah H Sudharmono, mantan Wakil Presiden RI. Ketika HM Soeharto menerima H Sudharmono, yang berlangsung sekitar pukul 19.30 sampai 20.30 WIB, tidak ada tanda-tanda Pak Harto akan mengambil keputusan untuk berhenti. Bahkan, Pak Harto masih menyatakan besok paginya akan mengumumkan Kabinet Baru, yang rencananya diberi nama Kabinet Reformasi. Selain BJ Habibie juga membawa fotokopi 14 menteri yang menyatakan tidak bersedia untuk duduk dalam Kabinet (Reformasi) yang akan dibentuk Pak Harto, surat asli 14 menteri itu ternyata sampai saat itu belum sampai ke tangan Pak Harto. Masih di tumpukan surat di meja ajudan Presiden.
Ketika sedang menerima Pak Habibie, Pak Harto memanggil Saadillah Mursjid untuk mempersiapkan pelantikan Kabinet Reformasi dan Komite Reformasi. Petunjuk itu diberikan di hadapan Habibie. Setelah Habibie pulang, Saadillah Mursjid langsung melaporkan bahwa beberapa anggota Komite Reformasi yang direncanakan tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi. Pada saat itu, Saadillah Mursjid juga menyampaikan informasi yang diperolehnya dari Yusril Ihza Mahendra, tentang adanya surat 14 menteri. Kalau acara pelantikan itu tetap diselenggarakan, hampir bisa dipastikan akan gagal.
Kembali ke ruangannya, ketika sedang memikirkan alternatif yang perlu dirumuskan, tanpa diduga, Pak Harto memanggil kembali Saadillah Mursjid. Pak Harto memberitahu, bahwa dia telah mengambil keputusan untuk berhenti. Setelah itu, Pak Harto memanggil putra-putrinya. Pak Harto memberi tahu keputusannya untuk berhenti dari jabatan presiden kepada putra-putrinya.(Tim Pelita)
Sumber: Jejak Langkah/Harian Pelita 11 Januari 2013