Pak Harto: Harga Diri Bangsa di Bela Dengan Pertaruhan Nyawa

Pak Harto: Harga Diri Bangsa di Bela Dengan Pertaruhan Nyawa

 

Salah satu keunggulan karakter kepemimpinan Pak Harto adalah nasionalismenya yang sangat tinggi, berani mengambil risiko, memanggul beban tanggung jawab (tidak lari dari tanggung jawab), serta mau belajar kepada siapapun, termasuk masyarakat bawah. Hal itu dikemukakan Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam acara bedah buku “34 Mantan Wartawan Istana Bicara Pak Harto” yang diselenggarakan dalam rangkaian acara “Bandung Islamic Book Fair” tanggal 5 Mei 2013 di Hall Landmark  Bandung. Kisah Prof. Sri Edi terkait dengan sikap tegas Pak Harto terhadap IGGI, sebuah grup negara-negara donor yang pembentukannya juga atas Prakarsa Presiden Soeharto dalam rangka merehabilitasi kebangkrutan ekonomi pada masa Orde Lama.

Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam Bedah Buku "34 Mantan Wartawan Istana Bicara Pak Harto" di Bandung
Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam Bedah Buku “34 Mantan Wartawan Istana Bicara Pak Harto” di Bandung

Suatu ketika, JP. Pronk, Ketua IGGI yang asal Belanda itu  “slonong boy” pergi ke Timor-Timur dengan sikap merendahkan Pemerintah RI. Prof. Dr. Edi Swasono (yang kala itu Doktor) dipercaya Presiden Soeharto untuk pergi ke Belanda, memperingatkan sikap JP. Pronk, namun dengan berbagai alasan, JP. Pronk menolak bertemu. Setelah mengetahui harga diri bangsa dan negaranya direndahkan, Presiden Soeharto marah besar dan mengungkapkan kemarahan itu di depan Prof. Sri Edi Swasono dengan menggunakan bahasa Jawa. “Sedhumuk bathuk senyari bumi, pecahing dhadha wutahing ludiro, sun labuhi taker pati” (walaupun hanya segores corengan di wajah dan sejengkal tanah yang direnggut —maksudnya corengan harga diri bangsa dan sejengkal hak bangsa—, kalaupun harus dengan mempertaruhkan pecahnya dada dan kucuran darah, akan saya bela sampai mati). Dalam proses berikutnya, walaupun Indonesia sangat membutuhkan bantuan luar negeri, namun IGGI dibubarkan oleh Presiden Soeharto melalui Radius Prawiro.

Itulah cerminan nasionalisme Presiden Soeharto dalam menjalanakan amanat UUD 1945, “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Walaupun menjalin kerjasama dengan luar negeri, namun tidak mengorbankan, bahkan membela harkat, martabat, kedaulatan, dan harga diri bangsa.

Prof Edi juga menjelaskan keunggulan kepemimpinan Pak Harto yang tercermin dari kemampuannya membangun konsensus bagi bangsa multikultur, sehingga semua energi bangsa dapat dialokasikan sebesar-besarnya untuk pembangunan.

Sementara itu Prof. Achmad Mansyur Suryanegara, Sejawaran Universitas Padjajaran Bandung, mengatakan bahwa ada ketakutan bangsa-bangsa barat terhadap capaian prestasi pembangunan yang ditorehkan Pak Harto, sehingga banyak kalangan dari mereka berusaha menjatuhkan. Capaian pembangunan itu akan membawa Indonesia menjadi bangsa mandiri dan tidak lagi mudah dikendalikan oleh negara-negara barat. Sudah seharusnya bangsa ini harus belajar dari kepemimpinan Pak Harto.

***

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.