PAK HARTO: “NEKAT, TAPI PENUH PERHITUNGAN …”
[1]
Jakarta, Kompas
Apa sebenarnya yang melintas di benak Pak Harto ketika selama tiga jam ia berada di Sarajevo pada tanggal 13 Maret 1995? Ternyata Pak Harto mengaku tiba-tiba terkenang Serangan Umum 1 Maret 1949, ketika bersama pasukan gerilyanya selama enam jam berada menguasai Yogyakarta. Itu peristiwa 46 tahun lalu saat Wehrkreise (Daerah Perlawanan) III Yogyakarta yang dipimpin Pak Harto dengan gemilang memberikan “kejutan politis” terhadap dunia.
“Nah, secara kebetulan lho kok bulannya sama (Maret). Kemarin, sewaktu saya ada di Sarajevo, saya ingat tanggal 1 Maret 1949 saya enamjam di Yogya. Sedangkan pada tanggal 13 Maret 1995, saya tigajam Sarajevo,” tutur Pak Harto sambil tersenyum pada peringatan Serangan Umum 1 Maret 1946 di halaman Museum Puma Bhakti Pertiwi, Jakarta, Sabtu ( 18/3) malam.
Selain para eks anggota Wehrkreise dan Resimen 22 acara “kangen-kangenan” itu juga dihadiri Ny. Tien Soeharto, Wapres dan Ny. Try Sutrisno serta undangan lainnya. Acara yang diselenggarakan Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta itu juga sekaligus untuk menyambut peringatan HUT ke-50 Kemerdekaan RI dan halal bihalal. Usai sambutan Pak Harto selaku sesepuh paguyuban itu, acara dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng yang diserahkan kepada Ketua Umum Paguyuban Wehrkreise Soesilo Sudarman, Prof Dr Ir Haryo Sudirdjo, GBPH Sardjono dan Mayjen TNI (Pum) Hadisuryo.
Acara itu diakhiri dengan pagelaran wayang kulit dengan lakon “Semar mBabar Wahyu Jadi Diri” yang dibawakan dalang Ki Timbul Hadiprayitno. Sebelum pagelaran dimulai, Presiden menyerahkan wayang Semar kepada Ki Timbul.
Nekat
Peristiwa 1 Maret dan 13 Maret yang berselang 46 tahun itu, kata Pak Harto, memiliki bobot politis yang sama, baik ke dalam maupun ke luar. Demikianlah arti perjuangan kita. Dijelaskan, Serangan Umum 1 Maret dimaksudkan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa rakyat dan TNI masih memiliki kekuatan untuk melawan Belanda. Pada tanggal 13 Maret, bangsa Indonesia menunjukkan kepada dunia bahwa kita turut mengambil bagian dalam masalah-masalah dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 45. Yaitu, ikut serta Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
“Orang pikir-pikir, kok itu bisa terjadi. Pada 1 Maret, perjuangan bersenjata kita itu sangat berat , tapi terjadi. Belanda senditi mengatakan, TNI itu segala sesuatunya bisa diperkirakan. Kekuatan senjatanya bisa dihitung. Kemudian kekuatan perlengkapannya bisa dihitung.” ·
“Tapi satu yang tidak bisa dihitung nekatnya. Nekatnya itu nggak bisa dihitung Belanda sehingga serangan 1 Maret, yang menurut logika tidak mungkin terjadi, toh terjadi,” tutur Pak Harto. Begitu pula halnya yang terjadi di Sarajevo, kawasan perang paling dahsyat yang teljadi saat dunia akan memasuki milenium kedua. Menurut perkiraan orang, kata Pak Harto, kunjungannya ke kawasan perang itu tidak mungkin terjadi .Tapi temyata terjadi. “Tapi semua itu bukan karena nekat tanpa perhitungan. Nekat dengan segala perhitungan, seperti serangan 1 Maret, itu juga dengan perhitungan yang matang,”katanya.
Tidak Ambisi
Karena itulah, Pak Harto mengajak semuanya bersyukur kepada Tuhan YME karena semuanya telah terjadi dengan baik. “Kita menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia bisa turut serta mengambil bagian dalarn upaya perdamaian dunia, tuturnya.”
“Mudah-mudahan pikiran yang kita sampaikan kepada mereka (pimpinan pemerintahan Bosnia dan Kroasia) dalam menyelesaikan masalah bekas wilayah pemerintah Republik Federasi SosialisYugoslavia itu betul-betul bisa diterima,”kata Pak Harto.
“Saya katakan… yang bisa menyelesaikan masalah itu bukan orang luar, tapi mereka sendiri . Karena itu, kita menawarkan agar mereka bisa bertemu dan memecahkan masalah,”papar Pak Harto. Apa yang terjadi, nanti kita akan saksikan. Kita tidak perlu khawatir apakah usulan itu akan berhasil atau tidak. Sebab, pemerintah Indonesia memang sudah menegaskan tidak memiliki ambisi menjadi penengah atau ambisi menyelesaikan masalah. “Yang saya katakan, yang bisa menyelesaikan masalah di eks wilayah Yugoslavia hanya tuan-tuan sendiri, kepala negara enam bekas negara bagian Yugoslavia,” kata Presiden.
Pengendalian Diri
Mengawali sambutannya, Presiden Soeharto pertama-tama menjelaskan hubungan eks Resimen 22 dan Wehrkreise III. Dijelaskan, semua warga kesatuan resimen 22 pasti menjadi anggota Wehrkreis III. Tapi anggota Wehrkreise III- karena disusun dari seluruh kekuatan yang ada di seluruh Yogyakarta- tidak semuanya anggota Resimen 22. Kepada eks Resimen 22 yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Eks Resimen 22 dan anggota Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta yang masih diberi kesempatan untuk menyaksikan usaha bangsa dalam mengisi kemerdekaan dengan pembangunan ini, Pak Harto tetap berharap agar mereka terus memberikan sumbangsih sesuai dengan kemampuan. Kita juga bersyukur, tutur Presiden,karena dalam upaya mengamankan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan pandangan hidup serta UUD 45 sebagai landasan konstitusi dalam berbangsa, bemegara dan bermasyarakat, ada upaya-upaya yang dilaksanakan berbagai kalangan, seperti para dalang. Para dalang, kata Kepala Negara akan menggambarkan cara mengamalkan Pancasila. Dan, sesuai amanat penataran P-4, kunci pokok pengamalan Pancasila terletak pada kemampuan mengendalikan diri.
“Jadi tidak terletak kepada keadaan setelah orang selesai mengikuti penataran. Bukan kita harus menghafal Pancasila. Karena setelah yakin akan kebenaran Pancasila, kita masih akan diuji dalam hal kemampuan pengendalian diri itu.”
Artinya, lanjut Presiden, orang harus mengetahui persis apa yang harus dikendalikan dan bagaimana cara mengendalikan diri itu dengan sebaik-baiknya. Maka, kata Kepala Negara, pagelaran wayang ini merupakan salah satu cara memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak dalam rangka mengendalikan diri. Namun menurut Presiden, “Ini percobaan (pagelaran) pertama. Nanti akan terus disempumakan.”(vik/osad)
Sumber:KOMPAS (19/03/1995)
_______________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 194-196.