PANCASILA MENAUNGI BANGSA INDONESIA TANPA KECUALI

PANCASILA MENAUNGI BANGSA INDONESIA TANPA KECUALI

Presiden Soeharto

Pancasila sebagai dasar negara memberi naungan kepada bangsa Indonesia tanpa kecuali. Semua lapisan dan golongan mendapat naungan yang sejuk di bawah payung Pancasila yang mengayomi bumi nusantara.

Dalam pidatonya pada pengambilan sumpah/janji anggota DPR dan MPR di gedung lembaga perwakilan rakyat tsb di Senayan, Jumat, Presiden Soeharto lebih lanjut mengatakan, Pancasila tidak bertentangan dan tidak mungkin bertentangan dengan agama.

Sebaliknya, dalam alam Pancasila, agama dapat hidup subur dan kesuburan kehidupan keagamaan akan memperkuat Pancasila.

Dikatakan, wadah negara Pancasila tidak hanya memberi kebebasan beragama, melainkan juga mengembangkan kehidupan beragama yang sehat dan semarak.

Presiden Soeharto, menyatakan, dalam pemantapan integrasi nasional guna menyongsong tugas-tugas besar pembangunan bangsa di masa depan perlu penegasan bahwa semua kekuatan sosial politik menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas Politik.

Jika politik kita artikan sebagai kegiatan yang memberi arah dan pengaruh kepada kehidupan kenegaraan, maka sudah seharusnya semua kegiatan politik di negara Pancasila ini bertujuan untuk melaksanakan, memperkuat dan mengamalkan Pancasila.

"Malahan pembangunan pun kita lihat sebagai pengamalan Pancasila," kata Presiden.

Dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas politik, tidak berarti demokrasi menjadi layu, juga tidak berarti perbedaan pendapat harus mati. Dalam alam demokrasi Pancasila, sebaliknya, semua kekuatan sosial politik mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk menawarkan program yang terbaik bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat guna melaksanakan pembangunan masyarakat Pancasila.

"Dengan demikian kehidupan politik dan pengabdian kekuatan-kekuatan social politik akan erat menunjang pembangunan nasional dalam arti yang seluas-luasnya dan senyata-nyatanya," kata Presiden.

Terhormat

Secara khusus Presiden menjelaskan, dengan asas politik Pancasila bagi kekuatan-kekuatan sosial politik, organisasi keagamaan tetap mempunyai hak dan tempat terhormat untuk terus hidup subur di bumi Pancasila.

"Pancasila bukan agama. Pancasila tidak dapat menggantikan agama. Pancasila adalah dasar negara yang memberi naungan kepada kita semua dalam alam kemerdekaan ini", ujar Presiden.

Menyinggung hari pengambilan sumpah atau janji DPR/MPR pada Hari Kesaktian Pancasila, tanggal 1 Oktober, menurut Presiden pada awal pidatonya, bukan kebetulan dan bukan pula tanpa tujuan.

‘"Kita memilih hari ini sebagai hari terbentuknya Dewan dan Majelis untuk memperoleh suasana batin yang sedalam-dalamnya dan untuk mempertegas tekad kita semua, bahwa di pundak kita terpikul amanat besar dan luhur yaitu mengujudkan cita­cita nasional membangun masyarakat Pancasila secara sungguh, konsisten dan konsekuen", kata Presiden.

Dikatakan, bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah soal hidup dan mati. Sebab, Pancasila adalah dasar negara dan ideologi nasional yang diangkat dari kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila adalah kesadaran dan cita-cita moral yang berurat berakar di dalam kebudayaan Indonesia.

Karena itu yang paling penting, lanjut Presiden, adalah pengamalan Pancasila, dan kita semua merasa bersyukur karena telah memiliki P4.

Referendum

Kepala Negara menyatakan, untuk makin menumbuhkan kehidupan demokrasi dan berhubung adanya keinginan meniadakan ketentuan pengangkatan 1/3 jumlah anggota MPR, maka perlu ditemukan jalan konstitusional yang lain agar pasal 37 UUD 1945 tidak mudah digunakan untuk mengubah UUD itu.

Peniadaan 1/3 jumlah anggota MPR yang diangkat itu dapat dilakukan, apabila MPR sebagai lembaga tertinggi di negara ini menetapkan adanya referendum untuk meminta pendapat rakyat, apakah rakyat setuju atau tidak, apabila MPR berkehendak untuk mengubah UUD dengan pasal 37.

Dengan demikian maka keputusan MPR itu hanya dapat dilaksanakan apabila rakyat melalui referendum menyetujui atau membenarkannya.

Kepala Negara mengemukakan, pengangkatan 1/3 anggota MPR dari ABR sesuai organisasi dengan Undang-undang yang masih berlaku dan didasarkan atas konsensus nasional dalam rangka pengamanan secara konstitusional Pancasila dan UUD 1945.

Pasal 37 UUD 1945 menyatakan, perubahan UUD dapat dilakukan jika dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota Majelis dan disetujui oleh sekurang­kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Dengan pengangkatan anggota ABRI 1/3 jumlah Anggota Majelis, maka seandainya pada suatu saat Sidang Umum MPR berkehendak untuk mengadakan perubahan UUD berdasarkan pasal 37, maka anggota ABRI yang diangkat, akan dapat mencegah maksud SU MPR tersebut dengan cara tidak menghadiri sidang.

"Karena dengan tidak kehadiran 1/3 jumlah MPR yang diangkat, pasti Sidang MPR sulit mencapai quorum 2/3 anggota. Dengan demikian maka maksud MPR mengubah UUD tidak terlaksana," kata Kepala Negara.

GBHN

Presiden mengungkapkan bahwa sejauh sebelum MPR hasil Pemilu 1982 terbentuk, berbagai kalangan masyarakat telah mulai ikut memikirkan GBHN yang akan datang.

Kepala Negara menilai, hal ini merupakan perkembangan yang sangat positif bagi kehidupan demokrasi dan kehidupan kenegaraan.

Keterlibatan masyarakat dalam memikirkan haluan negara itu menunjukkan tebalnya rasa tanggung jawab nasional. Perkembangan ini menunjukkan kehidupan demokrasi makin meresap ke dalam jiwa bangsa, makin berkembang dewasa dan makin mencapai kedalaman, "Memang ini demokrasi yang terpenting adalah rasa tanggung jawab bersama itu, " tambah Presiden.

”’Didorong oleh rasa tanggung jawab atas tugas nasional yang teramat penting dalam menentukan GBHN itulah, maka selaku Presiden/Mandataris Majelis saya ingin untuk menyampaikan bahan pertimbangan mengenai GBHN yang akan datang dan beberapa hal penting lainnya yang perlu dipertimbangkan oleh Majelis," demikian Presiden.

Dengan menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kepada Majelis itu tidak ada niat sedikitpun untuk mengurangi wewenang konstitusional Majelis.

”Juga jauh dari niat saya untuk menggurui Majelis, yang terdiri dari para negarawan yang bijaksana yang mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat yang berdaulat untuk mewakili rakyat," kata Presiden.

Rancangan GBHN disusun berdasarkan bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Pertahanan Nasional, dari kalangan masyarakat luas, hampir semua universitas, kalangan cerdik pandai, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan sebagainya.

Dari bahan yang dikumpulkan oleh Sekjen Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, dilakukan penyiapan akhir oleh ‘Tim Sebelas" yang dibentuk Presiden dan diketuai oleh Menteri Sekretaris Negara.

"Tentu saja tidak semua pandangan, pikiran dan keinginan dapat begitu saja ditampung dalam rancangan GBHN, karena semuanya itu harus disaring dan diteliti agar searah dengan cita-cita pembangunan dan mungkin dilaksanakan dalam tahap pembangunan yang akan datang," tambah Kepala Negara.

Pokok Rancangan GBHN

Presiden lebih lanjut menyampaikan beberapa pedoman pokok isi rancangan GBHN.

Pertama, bangsa Indonesia memandang pembangunan bangsa dalam arti seluas­luasnya, sebagai langkah nyata untuk makin mendekati cita-cita kemerdekaan.

Ini berarti bangsa Indonesia memandang pembangunan itu sebagai pengamalan Pancasila baik di bidang politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.

Dengan sikap dasar inilah diletakkan pembangunan bangsa itu pada kerangka sejarah yang ada kesinambungannya dengan cita-cita kemerdekaan.

Kedua, rakyat Indonesia memandang tahap pembangunan lima tahun mendatang sebagai kesinambungan, peningkatan dan perluasan dari segala hasil positif yang dapat dicapai hingga sekarang, dengan sekaligus mengadakan koreksi dan penyempumaan yang diperlukan. Ini berarti yang baik dilanjutkan dan dimantapkan, sedang yang belum diperbaiki.

Koreksi-koreksi perlu dilakukan sebab setiap pembangunan yang manapun selalu membawa akibat samping yang sejak semula bukan menjadi tujuan pembangunan.

Di samping itu juga disadari bahwa dalam membangun bangsa yang demikian besar, dengan luas wilayah yang demikian luas dengan jangkauan pembangunan yang menyentuh semua segi kehidupan manusia, pasti tidak dapat terhindar dari kekeliruan yang sewaktu-waktu perlu dikoreksi kembali.

Ketiga, pembangunan dipandang sebagai perjuangan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan, yang dijalankan secara sistematis dan berencana, secara realistis dan benar-benar didukung oleh kekuatan nyata dari bangsa Indonesia. Ini berarti dalam menyusun GBHN yang akan datang perlu memperhatikan hasil-hasil yang dicapai dan menggali semua potensi yang dapat dikembangkan.

Ke empat, dengan pedoman-pedoman tersebut, tahap pembangunan yang akan datang memperhatikan aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat.

Dalam hal ini maka pengalaman kritik, keluhan dan harapan harapan selama ini mendapat perhatian dan disalurkan secara positif, kreatif, kritis dan realistis dalam penyusunan rancangan GBHN.

Resesi

Pada bagian lain sambutannya Presiden mengingatkan, meskipun sampai saat ini belum tanda-tanda resesi dunia akan mereda, tetapi tidak perlu panik.

Sebaliknya, harus membuat peluang yang ada untuk membuat pengaruh resesi itu sekecil mungkin terhadap pembangunan dan di lain pihak malahan harus menumbuhkan perekonomian nasional dan memacu pembangunan lebih cepat lagi.

Memang, demikian Kepala Negara, resesi yang berkepanjangan ini tentu tidak menguntungkan kelanjutan pembangunan.

Sebab secara realistis juga disadari, kelanjutan pembangunan akan berkembang ditengah situasi dunia yang mungkin masih akan memprihatinkan, baik suasana keamanan dan ketenteraman maupun perekonomian dunia.

Presiden menjelaskan tentang keberhasilan pelaksanaan pembangunan sejak REPELITA I sampai III. Momentum itu menurut Presiden perlu dimanfaatkan untuk mempercepat tercapainya sasaran pembangunan jangka panjang seperti yang tertuang dalam GBHN sekarang.

"Mari kita membulatkan tekad, dalam REPELITA IV berusaha menciptakan kerangka landasan bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang, kemudian pada tahap berikutnya kita mantapkan sehingga REPELITA VI sudah benar-benar dapat tinggal landas menuju masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila," ujar Kepala Negara yang kemudian secara terperinci dijelaskan isi REPELITA IV.

Disebutkan, percepatan pembangunan jelas memerlukan biaya yang besar. Tetapi sesuai dengan tekad untuk tumbuh dan berkembang dengan kekuatan sendiri maka biaya yang dikerahkan terutama bersumber dari dalam negeri, sedang sumber luar negeri hanyalah pelengkap.

Untuk itu perlu diambil langkah-langkah agar kemampuan negara dan masyarakat untuk membiayai pembangunan makin besar, pembagian beban antara golongan berpendapatan tinggi dengan yang rendah makin terasa adil, mendorong pemerataan pembangunan dan pola hidup sederhana yang sangat penting untuk memperkokoh solidaritas sosial.

Sementara itu pengerahan dana tabungan masyarakat melalui lembaga keuangan ditingkatkan. Demikian pula penanaman modal dalam negeri terus didorong dan ditingkatkan peranannya. Sedangkan penanaman modal asing tetap terbuka di sektor tertentu.

Menyinggung tentang gerak pembangunan dalam kaitannya dengan kedudukan dan peranan manusia, Kepala Negara menegaskan, pembangunan harus memanusiakan manusia. Karena itu untuk memanfaatkan jumlah penduduk akan ditingkatkan dan diperluas usaha pembinaan pengembangan dan pemanfaatan potensi sumber daya manusia itu dengan meningkatkan pembangunan yang dapat meningkatkan pengadaan pangan dan gizi.

Di samping itu juga memperluas fasilitas dan memperbaiki mutu pendidikan dan latihan kerja serta meningkatkan pelayanan kesehatan.

Dengan demikian diharapkan akan tumbuh manusia pembangunan yang kreatif, tangguh, cakap, terampil dan bersemangat membangun.

Dalam usaha memperluas kesempatan kerja dan pemecahan masalah kependudukan akan ditingkatkan cian dimantapkan langkah-langkah yang menyeluruh dan terpadu.

Untuk itu maka ditingkatkan pula pelaksanaan transmigrasi serta program Keluarga Berencana yang hingga sekarang hasilnya sangat membesarkan hati.

Tentang penyebarluasan pemerataan, Presiden Soeharto mengatakan, daerah minus dan daerah padat penduduk mendapat perhatian khusus. Perhatian yang besar juga perlu diberikan pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Antara lain disebutkan, nelayan, pengrajin, petani penggarap yang tidak memiliki tanah, buruh tani dan pengusaha kecil.

Di hadapan sekitar 1500 hadirin yang memadati ruang Graha Sabha Paripurna DPR-RI, Presiden Soeharto menyatakan akan terus memperkuat dan memperluas peranan koperasi dalam kehidupan ekonomi bangsa. Di antaranya melalui penyuluhan dan bantuan lainnya. (RA)

Jakarta, Suara Karya

Sumber : SUARA KARYA (02/10/1982)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 840-845.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.