PDI TIDAK IKUT BAHAS RAPBN BILA PROGRAM DAN PROYEK TAK DIBICARAKAN[1]
Jakarta, Kompas
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI) mempertimbangkan untuk tidak mengikuti proses pembahasan RAPBN 1993/1994 apabila program dan proyek proyek pembangunan tidak menyatu dibicarakan dalam pembahasan tersebut. RAPBN yang hanya menyentuh sampai tingkat sektor dan subsektor semata-mata, menurut F-PDI, tidak sesuai dengan konstitusi yang menempatkan DPR dalam kedudukan lebih kuat dari pemerintah dalam penetapan anggaran.
“Ini sudah merupakan sikap fraksi. Tanpa membicarakan program dan proyek, kita hanya bersandiwara dan mengelabui rakyat dalam penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara.”
Wakil Ketua Komisi APBN dari F-PDI Drs. Aberson Marie Sihaloho menegaskan hal itu kepada Kompas di ruang kerjanya hari Selasa (5/1) sehubungan akan disampaikannya pidato pengantar RUU APBN 1993/1994 serta nota keuangan oleh Presiden hari Karnis besok (7/1).
Menurut Aberson, penjelasan ayat 1 pasal 23 UUD 1945 dengan tegas menyatakan, kedudukan DPR lebih kuat daripada kedudukan pemerintah dalam menetapkan pendapatan dan belanja negara.
Lebih lanjut ia mengatakan, dalam penjelasan itu selengkapnya disebutkan bahwa cara menetapkan anggaran pendapatan dan belanja adalah suatu ukuran bagi sifat pemerintahan negara. Dalam negara yang berdasarkan fasisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh pemerintah. Tetapi dalam negara demokrasi atau dalam negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik Indonesia anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan Undang-undang. Artinya dengan persetujuan DPR. Betapa cara rakyat, sebagai bangsa, akan hidup dan dari mana didapatnya belanja dari hidup harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri dengan perantaraan Dewan Perwakilannya.
Pelaksanaan Hak Budget
Aberson menilai apa yang dilakukan DPR selama ini dalam hak budgetnya tidak sesuai dengan bunyi pasal 23 beserta penjelasannya itu. Kedudukan DPR yang lebih kuat dibandingkan pemerintah dalam penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara tidak akan terlihat apabila program dan proyek tidak menjadi bagian yang menyatu dengan APBN. Sementara selama ini program dan proyek ditetapkan berdasarkan Keppres, bahkan dikatakan perubahan program dan proyek cukup dilakukan dengan persetujuan Presiden.
Sektor dan subsektor dalam APBN, kata Aberson, sekedar merupakan sistematika dalam penyajian anggaran. Sehingga tidak ada artinya DPR membahas masalah itu, tanpa menyangkut alokasi anggaran dalam program, proyek dan kegiatan pembangunan. APBN sebagai keputusan politik bukan terletak pada sektor dan subsektor, namun terletak pada penentuan besarnya penerimaan dan alokasinya dalam program, proyek, dan kegiatan pembangunan.
Janji Pemerintah
Lebih lanjut ia mengatakan, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi APBN beberapa waktu lalu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Ketua Bappenas menjanjikan akan menyampaikan program dan proyek-proyek pembangunan kepada DPR dua minggu sesudah Presiden berpidato di depan DPR. Aberson berpendapat, janji tersebut belum sesuai dengan tuntutan fraksinya karena F-PDI menghendaki agar program, proyek, dan kegiatan pembangunan dimasukkan sebagai bagian yang tidak terpisah dalam UU APBN.
“Tidak ada gunanya membahas program dan proyek apabila akhimya tidak dicantumkan dalam APBN karena berarti kesimpulan-kesimpulan dalam pembahasan tidak mengikat pemerintah, ” kata Aberson.
Apabila program dan proyek menjadi lampiran atau bagian yang tak terpisah dari APBN, maka pemerintah tidak bisa seenaknya sendiri mengganti program dan proyek yang telah ditetapkan. Hal itu disebabkan setiap perubahan dalam UU hanya bisa dilakukan apabila memperoleh persetujuan dari DPR. Selama ini, menurut Aberson, peranan DPR yang dalam penetapan APBN yang sudah terlihat adalah dalam penentuan penerimaan negara. Itupun masih harus ditingkatkan dalam penerimaan dari pinjaman luar negeri. Menurut pendapatnya, DPR harus mengetahui pula dari mana asal pinjaman tersebut, berapa tingkat bunganya ,dan akan dipergunakan untuk apa.
“PDI akan bersungguh-sungguh memperjuangkan agar program dan proyek masuk dalam APBN mendatang, ” tandas Aberson seraya menambahkan perjuangan itu telah dimulai sejak pembahasan RAPBN 1989-1990 lalu.
Kendala Dalam APBN
Sementara itu Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI Budi Hardjono SH secara terpisah mengatakan APBN 1993/1994 akan diwarnai dengan kendala-kendala yang cukup berat dalam pos penerimaan negara. Selama ini penerimaan negara mengandalkan pada sektor penerimaan migas, pajak. dan pinjaman luar negeri.
Penerimaan migas, menurut Budi Hardjono, tidak akan semantap tahun anggaran 1992/1993 yang tengah berjalan saat ini karena perubahan-perubahan dalam situasi pasar minyak dunia. Diperkirakan produksi minyak akan meningkat karena faktor Irak dan negara-negara Eropa Timur sehingga harga minyak akan mengalami kemerosotan.
Jepang dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,3 persen diduga akan mempengaruhi permintaan minyak dari Indonesia. Sementara itu Jepang merupakan negara donatur terbesar kepada Indonesia sehingga diperkirakan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pinjaman kepada Indonesia akan mengecil. Hal serupa akan dialami pula negara-negara Eropa Barat dan Amerika yang tergabung dalam CGI (Consultative Group on Indonesia).
Di pihak lain, kata Aberson, untuk meningkatkan APBN tahun anggaran mendatang diperlukan peningkatan penerimaan pajak sekitar 20 sampai 30 persen. Dalam kondisi perekonomian nasional yang lesu dan investasi yang mengalami kemerosotan selama tahun 1992 secara tidak langsung akan mengurangi potensi penerimaan pajak. (wis)
Sumber :KOMPAS (06/01/1993)
_______________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 15-17.