PEMBANGUNAN (Bagian III) (dikutip dari buku “Pak Harto, Pandangan dan Harapannya”)
Jakarta, Pelita
Dalam bulan Juni 1987 saya bertemu dengan Prof. Widjojo Nitisastro di BAPPENAS dan saya bertanya banyak hal di sekitar ketidak berhasilan Pembangunan Nasional Semesta Berencana dan keberhasilan Pembangunan Nasional di masa Orde Baru. Menurut Widjojo, konsep Pembangunan Nasional di masa lalu terlalu menceng ke politik, mengandung daftar keinginan yang panjang dan tidak realistis.
Sementara dalam pelaksanaannya satu syarat terpenting yang perlu diciptakan tidak kunjung muncul yaitu stabilitas. Syarat lain adalah partisipasi rakyat dalam pembangunan. Di masa lalu rakyat telah terkotak-kotak dalam Nasakom, maka tenaga rakyat yang begitu potensial untuk melancarkan pembangunan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Faktor pembiayaan pembangunan yang sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan pembangunan tidak diatur dalam satu disiplin anggaran. Saya tanyakan pada Prof. Widjojo siapa yang menyusun anggaran, dijawabnya Departemen Keuangan saja sehingga dalam banyak hal tidak cocok dengan kebutuhan bagi pelaksanaan pembangunan.
Dalam zaman Orde Lama dan dua Garis Besar Haluan Negara. GBHN yang pertama adalah untuk politik. Isinya adalah manifesto politik yakni pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan kembali Revolusi Kita.” Sedangkan pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1960 yang beijudul “Jalannya Revolusi Kita” dan pidatonya pada Sidang Umum PBB September tahun itu juga bertopik “To Build the World a New” dijadikan ketetapan oleh MPRS sebagai pedoman pelaksanaan GBHN yang satu ini. GBHN di bidang pembangunan sebagai satu Ketetapan ditetapkan oleh lembaga tertinggi negara yang diketuai oleh Menteri Chairul Saleh itu disebut sebagai Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, yang rancangannya disusun oleh Depemas.
Pola-pola proyeknya disusun dalam berjilid-jilid buku (17 jilid ) yang kalau dilihat isinya sama sekali mengambang, lebih banyak merupakan keinginan dan selera yang tidak: mengindahkan kenyataan dan realita yang ada. Itulah sebabnya pelaksanaan pembangunan semesta itu tidak efisien dan efektif dan pada gilirannya mendatangkan kemerosotan ekonomi yang hebat.
Dalam tahun 1966 di Aula Universitas Indonesia Jakarta, dua kali berturut-turut diadakan seminar dan simposium masing-masing Seminar Ekonomi Keuangan dan Moneter, diselenggarakan oleh KAMI Fakultas Ekonomi UI pada tanggal 10 Januari dan Simposium Kebangkitan Semangat 66 Menjelajah Tracee Baru dilaksanakan oleh Universitas Indonesia pada tanggal 6 Mei hasil Kerjasama KAMI dan KASI di bawah satu panitia yang diketuai oleh Dr. Ali Wardhana.
Prof. Widjojo Nitisastro yang menjadi Dekan FEUI di saat gelombang semangat baru mulai menggulung dalam suasana Orde Baru yang bertekad mengakhiri penyelewengan dan kemerosotan, tampil dalam dua forum yang merupakan forum kebebasan mimbar pertama di awal Orde Baru-setelah bertahun-tahun dilarang oleh Orde Lama.
Dalam simposium yang bersejarah ini Prof. Widjojo bertindak sebagai moderator pada bidang ekonomi yang membahas pokok pikiran “Menyusun Kembali Sendi-sendi Ekonomi dengan Prinsip-prinsip Ekonorni”.
Dekan Fakultas Ekonomi yang kemudian memimpin satu tim ekonomi yang menyusun konsep pembangunan ekonomi Orde Baru itu, dalam simposium ini tegas menyatakan bahwa kemerosotan ekonomi akibat gagalnya pembangunan berencana bersumber pada dua hal.
Pertama, bahwa selama bertahun-tahun ekonorni terbengkalai tidak memperoleh cukup perbatian, senantiasa dikalahkan oleb bal-ballain (politik) kadang-kadang dianggap soal kecil atau bukan soal. Kedua, dalam mengbadapi soal-soal ekonomi seringkali, babkan biasany a prinsip-prinsip ekonomi dikesampingkan begitu saja.
Prinsip-prinsip ekonomi yang bersumber pada pikiran rasional dianggap tidak perlu. Penyampingan prinsip-prinsip ekonomi dilakukan dengan dalil-dalil yang kedengarannya revolusioner, hebat dan serem, tapi pada hakekatnya cara macam itulah yang menjerumuskan kehidupan ekonomi kita.
Selanjutnya secara gamblang ia menjelaskan suasana pengurusan pembangunan di masa lalu di saat politik dinyatakan sebagai Panglima, babwa terlalu banyak didasarkan pada semboyan dan slogan. Lebih sering dipentingkan kulit dari pada isinya. Cara-cara yang tidak rasional di tambah dengan ketiadaan kontrol atau pengawasan yang wajar. Akibat lebih jauh adalah tidak adanya lagi ukuran-ukuran obyektif dalam menilai hasil sesuatu usaha atau hasil seseorang.
Sehingga terjadilah kekaburan dalam ukuran dan batas-bata s mana yang benar, mana yang salah. Sering terjadi apa yang semula benar disalahkan dan apa yang salah dibenarkan.
Dua puluh satu tahun kemudian di ruang kantornya yang sederhana dan tanpa kedudukan formal dalam arti kata tidak lagi sebagai Ketua BAPPENAS, Prof. Widjojo menjelaskan pada saya tentang kegagalan pemban gunan di masa lalu, dalam kalimat-kalimat lain namun isinya sama seperti Simposium Tracee Baru.
Prof. Widjojo Nitisastro dilahirkan di Malang, Jawa Timur tanggal 23 September 1927. Datang dari keluarga pensiunan pemilik Sekolah Dasar. Masa kecil Widjojo tidak banyak terungkap. Ayahnya aktivis Partai Indonesia Raya yang menggerakkan rukun tani, Pecah Revolusi Kemerdekaan di Surabaya ia baru kelas I SMT setingkat SMA sekarang. Ia bergabung dengan Tentara Pelajar Republik Indonesia. Banyak kawan-kawannya bercerita tentang keberaniannya. Saking beraninya ia nyaris gugur di daerah Ngaglik dan di Gunung Sari, Surabaya.
Usai perang, Widjojo sempat mengajar di SMP selama tiga tahun. Kemudian kuliah dan mengkhususkan diri pada bidang demografi. Ia lulus dari Universitas Indonesia dengan cumlaude. Tatkala mengambil gelar dokter ekonomi di Universitas Berkeley, California Amerika Serikat tahun 1961, Widjojo, muncul sebagai sarjana paling menenjol. Kariemya cepat menanjak, berbagai jabatan di Universitas Indonesia dipegangnya, antara lain menjadi Dekan FBUI sejak tahun 1961 sampai dengan 1968.
Dalam usia yang masih muda di awal Orde Baru ia menjadi Ketua Tim Penasehat Ekonomi Pak Harto dan dalam tahun 1967 diangkat sebagai Ketua BAPPENAS, kemudian Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Sejak tahun 1973 ia diangkat oleb Pak Harto sebagai Menko Ekuin merangkap Kerja BAPPENAS dan sejak tahun 1983 ia menjadi Penasebat BAPPENAS. Dengan status Penasehat inilah dan tetap berkantor di tempat yang sama saya bertemu dengannya untuk minta penjelasan.
Dalam usia yang kian lanjut, rambut memutih sudah, kesederhanaannya tetap menonjol. Setiap penjelasannya diiringi gelak tawanya yang memecah kesunyian. Di sela-sela tawa yang berderai Prof. Widjojo memadati jawabannya atas pertanyaan saya mengenai rahasia keberhasilan Pembangunan Nasional di bawah kepemimpinan Pak Harto.
Menurut Widjojo, keberhasilan Pembangunan berdasarkan beberapa faktor. Faktor yang amat penting adalah komitmen Pak Harto sebagai pemimpin pembangunan nasional terhadap pelaksanaan pembangunan disertai konsistensi yang tidak tergoyahkan. Faktor berikutnya adalah mekanisme Kepemimpinan Nasional lima tahunan yang tercipta sejak Pemilu 1971.
Setiap lima tahun diadakan pemilihan umum. Rakyat memilih wakil-wakil yang duduk dalam DPR dan MPR. Setiap lima tahun diadakan Sidang Umum MPR, kemudian dalam SU itu MPR menetapkan GBHN, memilih Presiden/Mandataris MPR dan Wakil Presiden. Presiden diberi tugas oleh MPR untuk melaksanakan GBHN.
Garis-garis Besar Haluan Negara kemudian dituangkan dalam program kerja lima tahunan sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun. Program Pembangunan setiap tahun ditunjang habis oleh satu disiplin anggaran (APBN) yang selalu disampaikan oleh Presiden pada minggu pertama Januari setiap tahun kepada DPR untuk dibahas dan disyahkan.
Dari cara dan gaya bicara di kata membuka rahasia keberhasilan pembangunan, saya dapat menangkap satu hal dari Prof. Widjojo yaitu kekagumannya pada Pak Harto. Ini dapat dimengerti, karena Widjojolah dengan kawan-kawannya (Ali Wardhana, Moh. Sadli, Emil Salim dan Subroto) sejak mereka duduk dalam tim penasehat Ekonomi Pak Harto telah mengikuti dari dekat pikiran dan pandangannya, komitmen dan konsistensinya serta tanggungjawab yang besar terhadap nasib pembangunan lebih-lebih nasib negara dan bangsa yang dinaungi oleh Orde Baru di bawah kepemimpinan Pak Harto.
Menurut Widjojo, unsur-unsur itulah yang bertumpu pada basic commitment Pak Harto dan menyebabkan pembangunan dapat berlangsung meskipun krisis silih berganti menghadang seperti krisis pangan, krisis Pertamina dan krisis energi. Hanya karena keterikatan dan konsisten itulah, maka Pak Harto dapat mengatasi itu semua.
Berbeda dengan penyusunan Rencana Pembangunan Semesta yang pada dasarnya bersandar pada Manifesto Politik dan Pidato Pembangunan Presiden Soekarno pada tanggal 28 Agustus 1959, maka konsep Pembangunan Nasional disusun dari berbagai sumber antara lain-seperti telah disinggung di muka dari hasil Seminar Ekonomi dan Moneter dan Simposium Menjelajah Tracee Baru di awal tahun 1966. Juga dari Seminar Angkatan Darat, banyak sekali masukan dan sumbangan pikiran yang diberikan.
Baik kesimpulan Seminar Ekonomi maupun Simposium Tracee Baru, dua-duanya menghendaki pembaharuan secara struktural dalam pembangunan (ekonomi) dengan pendekatan yang realistis dan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi. Kelebihan Simposium Tracee Baru dari Seminar Ekonomi Moneter adalah luasnya dan kedalaman pembahasan, tidak saja di bidang ekonomi tapi juga di bidang-bidang ideologi (Judul: kembali ke rel Pancasila sejati), Politik dan Sosial Budaya.
Pokok-pokok pikiran yang disumbangkan oleh kaum cerdik-pandai Indonesia Sipil atau ABRI di tahun-tahun itu menjadi sumber semangat pembaharuan yang kemudian disuluti oleh mereka yang berjiwa Orde Baru dalam Sidang Umum MPRS Tahun 1968. Kobaran semangat itu menyinari pertemuan wakil-wakil rakyat yang besar itu, sehingga meskipun mereka tidak berhasil menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara sesuai dengan tekad Orde Baru untuk melangsungkan pembangunan, di bawah naungan.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar namun berhasil melahirkan satu Ketetapan MPRS yang isi dan jiwanya mengandung esensi kebijaksanaan pembangunan, yang diberi tekanan pada pemban gunan ekonomi dan kebijaksanaan pembangunan serta peranan Pemerintah, Koperasi dan Swasta Nasional. Sesuai dengan situasi dan kondisi tahun 1988, maka MPRS memberikan prasyarat pelaksanaan pembangunan yang ditekankan pada penyempurnaan perangkat pemerintahan yang mampu merealisasikan program, pemerintah yang berwibawa dan memperoleh kepercayaan rakyat. Kemudian MPRS menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk melaksanakan Ketetapan ini.
Sumber : PELITA (03/04/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 105-109.