PENDORONG DEMOKRASI[1]
Jakarta, Media Indonesia
Komando Pasukan Khusus TNI-AD (Kopassus) yang dulu terkenal dengan nama RPKAD, kemarin merayakan ulang tahun ke-41 dalam suatu upacara yang meriah. Bahwa peringatan HUT tersebut menarik perhatian, sebenamya merupakan hal yang wajar. Soalnya, Kopassus yang dibentuk 41 tahun lalu atas inisiatif Brigjen (Purn) Selamet Riyadi, dalam karirnya sebagai pasukan elit, memang mampu menampilkan karya-karya besar yang dibebankan negara. Sehingga nama Kopassus dengan ciri khas baret merahnya begitu melekat di bibir dan di benak rakyat.
Namun dalam peringatan HUT kemarin ada suatu hal yang perlu dicatat secara khusus, yakni dibacakannya pernyataan Presiden Soeharto “ABRI sebagai kekuatan sosial politik harus menjadi pendorong bagi perkembangan kehidupan demokrasi.”
Presiden Soeharto memang selalu tidak absen memberikan sambutan dalam setiap peringatan HUT Kopassus, bahkan terkadang hadir langsung secara fisik. Tetapi pernyataan yang sangat bermakna strategis bagi upaya demokratisasi yang sedang berjalan di Tanah Air ini, rasanya baru kemarin disampaikan Presiden. Apalagi jika dikaitkan dengan SU MPR yang baru saja usai dan tersusunnya Kabinet Pembangunan VI.
Selama ini korelasi pengembangan demokrasi dengan ABRI, seperti yang sering kita baca dari pernyataan sekian banyak para pejabat tinggi negara maupun pemuka masyarakat selalu saja berbunyi: “ABRI berdiri di atas semua golongan. ABRI adalah stabilisator dan dinamisator bagi kepentingan masyarakat luas.”
Fungsi dan posisi “berdiri di atas semua golongan, stabilisator atau dinamisator” bagi rakyat sungguh merupakan “payung”di saat-saat suhu politik begitu “panas” mencekam negara atau menjadi heater di saat-saat bekunya sikap masyarakat dalam bentuk apatisme.
Jika kita mengkaji sedalam-dalamnya makna yang terkandung dari apa yang dikatakan Pak Harto “menjadi pendorong bagi perkembangan kehidupan demokrasi”, siapa pun tentunya bisa menarik kesan, bahwa Presiden menginginkan peranan ABRI dalam percaturan politik, sosial dan ekonomi, tidak lagi hanya berfungsi sebagai stabilisator atau dinamisator semata. Langkah berikutnya adalah pendorong bagi perkembangan demokrasi. Dengan penyataan Kepala Negara itu, tentunya tidak lantas berarti bahwa terjadi, pergeseran sikap politik ABRI yang selama ini sudah berjalan mantap. Catatan ini perlu dikemukakan karena memang ada sementara opini yang berkembang bahwa pernyataan Pak Harto itu terungkap setelah melihat adanya gejala tidak sehatnya pelaksanaan demokratisasi. Artinya terjadi yang “kuat” ingin menekan yang “lemah”atau karena merasa “besar” lantas memaksakan agar yang “kecil” ikut apa yang dikehendakinya.
Karena itu adalah wajar jika kita tidak perlu mencari-cari “kambing hitam” mengapa gejala-gejala tersebut sampai timbul ke permukaan. Konotasi “pendorong” bisa saja ditafsirkan macam-macam. Namun yang jelas, Presiden menghendaki, agar realpower yang dimiliki ABRI tidak hanya dipergunakan sebagai stabilisator dan dinamisator, karena hal demikian bisa mendudukkan ABRI hanya sebagai “wasit”politik. Sehingga segala keputusannya harus dibenarkan.
Karena itu kita yakin, makna kata “pendorong” yang disampaikan Pak Harto selain merupakan koreksi internal, juga agar ABRI menjadi teladan secara harfiah dengan berbagai komitmennya.
Sangat perlu dicatat mendorong perkembangan kehidupan demokrasi melalui keteladanan sikap sesungguhnya merupakan jiwa Demokrasi Pancasila yang selalu hidup sepanjang zaman.
Sumber: MEDIAINDONESIA(17 /04/93)
_______________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 628-629.