PENGAWASAN OLEH MASYARAKAT “TANPA TINDAK LANJUT, PENGAWASAN TIDAK ADA GUNANYA” PRESIDEN SOEHARTO

PENGAWASAN OLEH MASYARAKAT “TANPA TINDAK LANJUT, PENGAWASAN TIDAK ADA GUNANYA” PRESIDEN SOEHARTO [1]

 

Oleh: Kamal Hamzah

 

Jakarta, Merdeka

Sejak manusia mengenal peradaban hidup dalam kelompok2, maka unsur pengawasan sudah mengambil fungsinya. Dalam setiap kegiatan, apakah itu ruang lingkup kecil sampai kepada yang paling besar, fungsi pengawasan harns berjalan sempurna jika kegiatan itu ingin mencapai hal-hal yang menjadi keinginannya.

Begitu pula dalam urusan rumah tangga negara kita ini. Setiap tahun ada anggaran belanja yang harus dikeluarkan, juga ada penerimaan negara seperti pajak2 umpamanya yang merupakan kekuasaan pemerintah untuk meminta uang dari anggota2 masyarakatnya dengan kekuatan Undang2, meskipun tanpa ada jasa2 baliknya (contraprestatie) dari pemerintah.

Jika dirasa perlu, pemerintah dapat pula mengadakan (geldachepping geldcreatie) yaitu mencetak uang. Semua kegiatan besar2an yang menyangkut serba anggaran itu, sudah barang tentu memperlukan pengawasan agar berjalan dengan se-baik2nya sesuai tujuan. Lebih lagi karena serba anggaran tersebut setiap tahun semakin melipat jumlahnya. Maka pengawasan itu penting, sangat vital, jika dalam kerja membangun negara ini kita ingin mencapai apa yang kita cita2kan bersama seperti masyarakat yang adil dan makmur.

Karena itu bukan hanya cita2 pemerintah, tapi merupakan cita2 dan harapan seluruh masyarakat, adalah logis sekali jika anggota2 masyarakat juga ikut serta melakukan pengawasan ini sebagaimana juga dianjurkan Presiden Soeharto. Persoalannya adalah, bagaimanakah fungsi pengawasan itu oleh masyarakat itu bisa beIjalan dengan baik, wajar dari bisa dipertanggungjawabkan sehingga kemudian juga bisa mendapat respon dari pemerintah.

Kalau semuanya ini tercakup, pastilah akan lebih positif segi yang menyangkut pertisipasi masyarakat dalam pembangunan ini. Dus, bukan hanya sekedar ocehan2 saja. Tapi, bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam pembangunan ini. Dus, bukan hanya sekedar ocehan2 saja. Tapi, bagaimanakah bentuk pengawasan itu harus terjadi? Apakah setiap anggota masyarakat harus bertindak seperti Rooger Moore dalam serial TV “The Saint”?

Inilah yang sejak dulu menjadi persoalan. Banyak anjuran2 agar masyarakat ikut dalam pengawasan,’tapi bagaimana salurannya sama sekali masih kabur, lebih2 lagi karena komunikasi antara yang diatas dari yang dibawah masih sedang diraba2 bentuk dan caranya.

Lembaga2 pengawas keuangan negara yang resmi cukup banyak jumlahnya dinegara kita ini. Paling tinggi adalah Badan Pengawas Keuangan (BPK) yang fungsinya dinyatakan dalam pasal 23 UUD 45 ayat 5, kemudian ada lagi yang bernama DitJen Pengawasan Keuangan Negara, Inspektur2 Jenderal Departemen, Aparat Pengawasan Pemerintah Daerah, Pekuneg, dari bahkan ini dilengkapi lagi oleh apa yang diistilahkan sebagai “mata dan telinga Presiden” yakni Inspektur2 Jenderal Pembangunan yang belum beberapa lama ini dilantik.

Cukup banyak instansi atau lembaga2 pengawasan sudah barang tentu lebih baik, karena pengawasan akan menjadi lebih peka terhadap unsur2 penyelewengan. Tapi banyaknya lembaga ini juga bisa menimbulkan akibat yang sebaliknya, seperti Kesimpang siuran, kurang efektif, apabila kordinasi kerja kurang atau tidak ada sama sekali. Dari sudut lain, secara psikologis ini juga bisa menimbulkan rasa kurang enak kalau seorang pejabat umparnanya di “rong2” oleh pengawasan yang bertubi2 untuk suatu masalah yang itu-itu juga.

Masyarakat belum banyak mendapatkan penjelasan, sejauh manakah keefektifan ketja dari lembaga2 pengawasan yang banyak tapi sama langgamnya itu. Sejauh mana pula koordinasi ketja yang ada diantara mereka? Rasanya ini patut sekali dijelaskan oleh karena yang benama pengawas ini juga tentu diawasi oleh masyarakat, manusia2 yang menjadi petugas2nya juga ingin dinilai pengabdian dan kejujurannya. Masyarakat pasti ingin tahu kerja mereka. Juga ingin tahu atas hasil2 kerja, Jadi seyogyanya lembaga2 pengawasan ini tidak bekerja secara tertutup atau diam2 saja.

Ada contoh2 berupa keluhan2 yang dapat kita dengar merupakan pengalaman2 pahit dari petugas2 pengawasan ini. Misalnya didalarn melaksanakan tugasnya mereka lantas menemui adanya ketidakwajaran, bahkan adanya unsur2 tidak beres yang merupakan penyelewengan2. Tapi nyatanya, sekalipun hal ini dilaporkan kepihak atasan namun se-akan2 tidak digubris. Oknum pejabat yang diketemui kesalahan2nya itu tetap saja bercokol dikursinya. Hal ini tidak mustahil sering terjadi sebab oknum2 yang biasanya duduk dalam “kursi2 basah” adalah “verlengatuk” atau tangan2 dari pejabat atas yang memegang posisi sebagai pejabat kunci.

Dan akibatnya, kalau memang betul2 ada, tentu akan menimbulkan suatu suasana frustasi di lingkungan pengawas. Sebaliknya bisa juga mengundang petugas pengawas untuk lantas merasa lebih baik tetjun saja dalam “permainan”. Sama2 ikut basah.

Jika keadaan sudah bercampur baur, tindakan pengawasan menjadi lemah karena prinsip bagi-bagi rezeki yang dipraktekkan, apa yang akan terjadi adalah semakin jauhnya kita kepada cita2 keadilan dan kemakmuran yang hendak kita capai.

Apakah gambaran ini sedang tetjadi dalarn negara kita sekarang, kiranya sudah menjadi rahasia umum. Kalau dikatakan korupsi yang sudah membudaya dalam masyarakat kita, tentu hal itupun tidak terkecuali. Yang memegang tanggungjawab keuangan ada main, dan yang mengawasi kecipratan. Bagaimana lagi ?

Tinggal sekarang tentu pengawasan yang datang dari masyarakat, tapi sementara itu salurannya juga masih mengubur. Oleh sebab itu, jika sungguh2 masyarakat diajak serta untuk melakukan pengawasan ini, perlulah segera dibukakan salurannya yang tepat dan se-effisien mungkin, sehingga suatu laporan yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan akan sungguh2 mendapatkan response-nya. Bukan lantas terpendarn begitu saja.

Sementara itu patut pula dimaklumi bahwa sesuatu laporan yang datangnya dari masyarakat umumnya tidak akan bersifat konkrit, lengkap dengan data-data. Sebab masyarakat condong melihat pada gejala2. Kalau dari warga masyarakat diharapkan laporan2 yang lengkap dengan data2nya, adalah lebih baik hal ini tak usah dianjurkan, sebab itu sama sekali tidak mungkin.

Mungkin warga masyarakat, yang langsung melihat penyelewengan2 keuangan negara itu ada, misalnya mereka yang berprofesi sebagai pengusaha2 yang banyak berhubungan dengan proyek2 se-pemerintah. Tapi dilihat dari profesi itu, apakah dari mereka bisa diharapkan datangnya laporan2 semacam itu? Tidak jarang, si pengusaha juga ikut terlibat dalam permainan.

Apalagi kalau ia terdiri dari pengusaha2 non pribumi yang biasanya jumlahnya lebih banyak, mustahil sekali dari mereka kita harapkan datangnya laporan atau pengawasan sekalipun. Sebab pengusaha2 nonpribumi memang untuk sebagian besar dianggap paling “safe” untuk diajak kong-kalikong. Apakah karena kesadaran nasionalnya kurang, atau karena arnbisi2 materiilnya yang besar, bisa saja ini menjadi alasan. Dan itulah rupanya yang menjadi sebab pula kenapa dalam persaingan dengan pengusaha pribumi, pengusaha2 non pribumi, menang. Sebab dengan mereka permainan bisa berjalan empuk dan aman.

Kita juga perlu menelaah bahwa pengawasan yang dilakukan lembaga2 yang resmi umumnya bersasaran kepada pembukuan2, kas, dan hal2 lain yang menjadi pertanggunganjawab keuangan. Sedangkan penyelewengan tidak hanya terjadi di sektor ini. Bahkan yang terbanyak adalah disektor2 yang sukar dibuktikan dalam pembukuan, misalnya dalarn sistem tender, manipulasi barang2 dsb.nya.

Maka sektor2 yang diluar tehnis keuangan itulah yang pasti akan bisa menjadi obyek pengawasan masyarakat.

Akan lebih simpatik lagi jika sekiranya pemerintah bisa menerima dan mau menyelidiki laporan2 yang datang dari masyarakat berdasarkan gejala2. Misalnya laporan tentang kehidupan seorang pejabat keuangan yang ber-mewah2 seorang oknum petugas pajak yang sudah jadi ‘tuan tanah’, dsb. Padahal kalau ditinjau dari gajinya, semua itu tidak mungkin sarna sekali. Kalau laporan2 semacam itu mau ditanggapi, kemudian diselidiki dan dicari fakta2nya, tentu masyarakat akan lebih bergairah melakukan pengawasan. Berarti masyarakat juga akan lebih bergairah berpartisipasi dalam pembangunan.

Baiklah kita ulangi kembali bahwa dari Kepala Negara, Presiden Soeharto telah ada anjuran agar masyarakat ikut melakukan pengawasan dalam semua kegiatan pembangunan bangsa dan negara ini. Anjuran yang baik itu harus segera diberikan bentuk saluran2nya. Kemudian, sebagaimana ditegaskan pula oleh Presiden sendiri, agar pengawasan dan laporan itu segera ada tindak lanjutnya, apakah itu berupa tindak hukum atau administratif, tentu tergantung dari bentuk2 kesalahan yang kelak bisa dibuktikan. Terhadap yang terbukti tidak bersalah juga harus ada tindak lanjut, misalnya “clearance” atau dibersihkan nama baiknya. Kalau perlu diberikan promosi.

Kewajiban masyarakat sendiri agar mereka bisa berfikir lebih kritis, lebih rasionil dan objektif. Jangan mentang2 diminta pengawasan dari mereka, lantas hantam kromo lengkap dengan sentimen2 pribadi dsb.nya. Pemerintahpun seyogyanya sudah bisa memanfaatkan fungsi pengawasan masyarakat yang kini sudah berjalan, yakni lewat mass media seperti pemberitaan2, artikel2 atau juga surat2 pembaca.

Jika ini ditanggapi, diteliti dan diberikan tindak lanjut yang kesemuanya berlangsung secara terbuka, maka fungsi pengawasan masyarakat ini pasti akan lebih bergairah lagi. Bukankah masyarakat selalu merindukan dialog ingin diajak bicara dan ingin didengar pendapat2nya yang baik. Sebab pekerjaan pembangunan ini sungguh2 suatu kerja yang maha besar dan maha ruwel. Tidak mungkin dilakukan dari atas saja. (DTS)

Sumber: MERDEKA (26/04/1975)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 553-557.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.