PENYELESAIAN KONFLIK BAGI NEGARA BEKAS YUGOSLAVIA SOEHARTO USULKAN KONFEDERASI

PENYELESAIAN KONFLIK BAGI NEGARA BEKAS YUGOSLAVIA SOEHARTO USULKAN KONFEDERASI[1]

 

Jakarta, Merdeka

Presiden Soeharto menegaskan bahwa Indonesia tidak ingin menjadi penengah (mediator) dalam penyelesaian konflik di bekas negara Yugoslavia karena konflik di kawasan Balkan hanya dapat diselesaikan oleh para pemimpin di negara tersebut. “Namun, Indonesia menawarkan diri menjadi fasilitator untuk memungkinkan mereka menyelesaikan sendiri masalahnya,” kata Kepala Negara kepada wartawan di pesawat DC-10 Gamda Indonesia dalam perjalanan pulang dari Kroasia menuju Jakarta, Rabu (15/3).

Presiden juga mengusulkan pembentukan konferedasi bagi negara-negara bekas Yugoslavia, guna menyelesaikan konflik di antara mereka. “Usul tersebut telah disetujui Kroasia dan Bosnia-Herzegovina,” kata Kepala Negara didampingi Menlu Ali Alatas, Mensesneg Moerdiono dan Pangab Jenderal Feisal Tanjung. Dikatakan, Indonesia segera mengirimkan utusan ke negara-negara bekas pecahan Yugoslavia seperti Serbia, Slovenia, Macedonia, Montenegro untuk memberikan penjelasan mengenai gagasan itu sehingga tidak timbul kecurigaan. Menurut Soeharto, penyelesaian di bekas negara Yugoslavia sampai sekarang masih bersifat terpisah-pisah antara yang diupayakan PBB dan Kelompok Kontak yang terdiri atas Perancis, Inggris, Jerman, Rusia dan Amerika Serikat (AS).

Karena upaya perdamaian masih parsial maka diperlukan langkah pendekatan secara menyeluruh sehingga diusulkan pembentukan konfederasi. “Setelah Presiden Tito meninggal, Yugoslavia menjadi pecah. Kemudian, Bosnia, Kroasia, Slovenia dan Macedonia telah menjadi negara-negara independen dan diakui PBB. Sedangkan Serbia dan Montenegro yang mengklaim sebagai pewaris Yugo, belum diterima menjadi anggota PBB,”kata, Presiden. Disebutkan, pembentukan konfederasi itu harus didasarkan pada prinsip untuk mengakui integritas semua negara, perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas serta kesediaan bekerja sama atas dasar prinsip saling menguntungkan. Jika prinsip-prinsip itu diterima, bisa dilakukan sebuah konperensi internasional dan Indonesia siap menjadi fasilitator.

“Kita tidakmau menjadi mediator karena bebannya terlalu berat,”kata Soeharto seraya menunjuk pengalaman Indonesia menjadi fasilitator dalam penyelesaian konflik Kamboja yang akhimya sukses.

Dikatakan, apabila pertemuan intemasional itu berlangsung, semua pihak yang selama ini ikut menyelesaikan konflik juga harus dilibatkan.

Berperan Aktif

Mengenai kunjungannya ke Bosnia, Kepala Negara menjelaskan lawatan singkat itu sebagai jawaban atas permintaan Presiden Bosnia Alija Izetbegovic agar Indonesia lebih berperan aktif dalam menyelesaikan konflik di kawasan Balkan.

“Sebagai sahabat, kita merasa terpanggil untuk memenuhi permintaan itu. Saya dan rombongan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berterima masih kepada pasukan perdamaian PBB (Unprofor) yang telah memberikan jaminan perlindungan keamanan,” katanya.

Dikatakan, keputusannya mengunjungi Sarajevo telah mantap walaupun pada tanggal 12 Maret, pesawat yang ditumpangi Utusan Sekjen PBB Yasushi Akashi ditembak “sniper” gelap saat mendarat di bandar udara Sarajevo. Dalam kunjungannya ke Bosnia, Soeharto menggunakan pesawat YK 40 milik PBB dengan didampingi Alatas, Moerdiono, Feisal Tanjung dan anggota rombongan lainnya sebanyak 21 orang.

Kepala Negara juga menjelaskan kesediaan Presiden Kroasia, Franjo Tudjman untuk melanjutkan kehadiran Unprofor di negaranya. Sebelumnya dia mengancam tidak akan memperpanjang kehadiran Unprofor di Kroasia hingga batas waktu terakhir 31 Maret.

Kemiskinan

Mengenai kunjungannya ke Kopenhagen, Denmark, menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial, 11-12 Maret lalu, Presiden menyatakan kegembiraannya karena tema-tema pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang dibicarakan peserta telah lama dilaksanakan di Tanah Air. Dia menunjuk atas upaya-upaya konkret untuk mengatasi kemiskinan yang dilancarkan sejak Pelita I dan kemudian berlanjut hingga sekarang seperti penyediaan dana Rp 20juta bagi setiap desa yang tergolong miskin. “Kita tidak tertinggal,” kata Presiden ketika menceritakan pembahasan para wakil sekitar 124 negara pada KTT dua hari itu.

“Sekalipun jumlah orang miskin sudah berkurang, kita masih harus mempercepat pembangunan guna menghapuskan kemiskinan,” kata Soeharto yang tampak tetap segar meski telah menempuh perjalanan 15 jam dari Zagreb.

Tentang pertemuan informal sembilan negara yang paling banyak penduduknya untuk membahas masalah Pendidikan Untuk Semua (EFA), Kepala Negara mengatakan,jumlah orang yang buta huruf terus berkurang. Pemerintah menargetkan pada tahun 2000, sudah tidak ada lagi orang yang buta huruf di Indonesia. (HAR)

Sumber: MERDEKA (16/03/ 1995)

____________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 176-178.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.