PERS BUKAN SEKEDAR CERMIN PASIF KEADAAN MASYARAKAT

PERS BUKAN SEKEDAR CERMIN PASIF KEADAAN MASYARAKAT

PRESIDEN PADA HARI PERS NASIONAL :

 

Presiden Soeharto pada peringatan Hari Pers Nasional I Sabtu kemarin di Jakarta menegaskan, pers nasional dalam zaman pembangunan ini tidak saja merupakan cermin pasif dari keadaan masyarakat Indonesia, tidak cukup hanya memberikan informasi melalui berita-berita yang obyektif. Tetapi sebagai kekuatan perjuangan bangsa, harus dapat menjadikan dirinya sebagai kekuatan pembaharuan.

Salah satu tugas pers, kata Kepala Negara, adalah mengungkapkan kebenaran. Di mana kebenaran menjadi redup, di situlah pers harus muncul sebagai obor penerangan.

“Pertumbuhan dan peningkatan pers nasional yang demikian akan ikut memberi arah dan sifat yang positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan bangsa Indonesia secara keseluruhan,” kata Presiden.

Kepala Negara mengingatkan lagi petunjuk GBHN 83 bahwa kita akan berusaha terus mengembangkan pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab.

Pers yang demikian itu, kata Presiden, adalah pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyalur informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.

Peringatan Hari Pers Nasional ini adalah untuk yang pertama kalinya, sekaligus dikaitkan dengan HUT PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) ke-39.

Penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985.

Upacara yang dibuka dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh korps musik kepresidenan, berlangsung cukup meriah dan khidmat di gedung utama Pekan Raya Jakarta.

Acara ini dihadiri pula Wakil Presiden dan Nyonya Karlinah Umar Wirahadikusumah, para pejabat tertinggi/tinggi negara serta para menteri dan duta besar negara sahabat.

Di antara orang-orang pers yang hadir, tampak beberapa tokoh tua pers Indonesia, di antaranya ada yang bahkan masih aktif dalam dunia kewartawanan.

Nyonya Tien Soeharto selesai upacara peringatan, menggunting untaian bunga melati sebagai tanda peresmian Pameran Sejarah dan Hari Depan Pers Nasional.

Pameran ini menurut Ketua Umum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Zulharmans, diharapkan dapat menunjukkan “benang emas” perjalanan sejarah peranan pers nasional sebagai komponen aktif perjuangan kemerdekaan dan komponen aktif perjuangan pembangunan.

Pengabdian Profesi

Departemen Penerangan atas nama pemerintah dalam rangka peringatan ini, memberikan penghargaan piagam “pengabdian profesi” untuk tahap pertama kepada sepuluh wartawan Indonesia yang telah aktif sebagai wartawan sampai 70 tahun. Menpen Harmoko di hadapan Presiden Soeharto mengumumkan nama ke-sepuluh wartawan itu.

Mereka adalah M. Ali, lahir tahun 1907 dari harian Penyebar Semangat, Surabaya, Soerono Wirihardjono, 1910, harian Adil, Solo, Soegeng, 1904, KNI, Semarang, F. Manuhutu, 1902, Nasional, Ambon, M. Said, 1907, dari harian Waspada, Medan, Kasoema, 1912, dari harian Haluan, Padang, Husein Sutan M. Noor, 1910, dari Bulletin Ekonomi & Keuangan, Jakarta, M. Basri, 1910, dari The Jakarta Post, Jakarta, Hasbullah Pannduri alias Matu Mona, 1910, dari majalah Selecta, Jakarta, dan Ramelan, 1911, dari Berita Buana Jakarta.

Penghargaan diserahkan Menpen Harmoko dalam resepsi Malam Integrasi Keluarga Pers Nasional I dan Peringatan Ulang Tahun PWI ke-39 yang berlangsung di gedung Manggala Wana Bhakti, Senayan Sabtu malam.

Meningkatkan Kemampuan

Sejarah perkembangan dan pertumbuhan bangsa, kata Presiden, mencatat pers nasional dan wartawan Indonesia sebagai kekuatan perjuangan. Sebagai bagian dari kekuatan bangsa, pers nasional pun timbul dan tenggelam bersama-sama perjalanan sejarah bangsanya.

Mulai dari zaman pergerakan kemerdekaan dahulu, dalam zaman perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan nasional, zaman pancaroba, zaman kebangkitan Orde Baru, pers nasional telah merupakan kekuatan perjuangan bangsa yang handal.

Karena itu dalam zaman pembangunan sekarang, pers nasional pun tetap diharapkan memiliki peranan yang besar dan positif.

Salah satu tugas pers nasional yang penting dewasa ini, ujar Kepala Negara, adalah terus menerus menanamkan penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam dirinya sendiri dan dalam masyarakat.

“Penghayatan dan pengamalan Pancasila itu merupakan syarat mutlak yang harus kita laksanakan dengan kesadaran yang sedalam-dalamnya dan rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya sebagai bagian yang sangat penting dalam mewujudkan kerangka landasan pembangunan sebagai persiapan menuju tahap tinggal landas dalarn Pelita VI nanti,” kata Presiden.

Tetapi supaya bisa melaksanakan tanggung jawabnya yang sebaik-baiknya sebagai kekuatan pembaharuan dan pengungkap kebenaran maka menurut Presiden Soeharto, pers nasional juga harus terus menerus meningkatkan kemampuan dan mutunya serta memperteguh tekadnya sebagai kekuatan pembangunan bangsa dan memiliki rasa tanggung jawab.

Tidak Secara Sempit

Dalam GBHN 1983, kata Kepala Negara, digariskan tentang perlu dikembangkannya interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat. Petunjuk GBHN ini menurut Presiden, tidak bisa ditafsirkan secara sempit seolah olah hanya merupakan sistem terpadu dalam melancarkan penerangan pembangunan.

Interaksi positif harus diberi arti sebagai terjalinnya suasana saling menunjang. Ini berarti membina iklim yang saling menyempurnakan, saling melengkapi, saling mendewasakan dan saling mengamankan.

Untuk keperluan inilah digalang komunikasi timbal balik yang seluas-luasnya, selancar-lancarnya dan sejujur-jujurnya.

Dengan komunikasi timbal balik yang demikian itu, partisipasi seluruh rakyat, yang dalam GBHN ditegaskan sebagai kunci bagi keberhasilan pembangunan dapat dibangkitkan.

Namun dalam menjalankan tugas-tugasnya tersebut, Presiden Soeharto juga mengingatkan, sebagaimana ketentuan-ketentuan perjuangan lainnya, pers Indonesia pun tidak akan sepi dari gangguan. Bila kurang waspada, pers dan media massa lainnya di negeri ini akan disusun oleh unsur-unsur tersebut.

Pers nasional harus memiliki daya tangkal yang kuat. Pers nasional harus berada di garis depan perjuangan untuk mencegah bahaya-bahaya ekstrem yang dapat menyesatkan atau bahkan merusak jalan pikiran bangsa ini.

Berbicara dengan nada penuh semangat, Menteri Penerangan Harmoko dalam kesempatan itu mengingatkan lagi pidato Presiden pada pembukaan Konferensi Menteri Negara-negara Non-blok di Jakarta Januari tahun lalu. Ada dua sumber yang dapat membuat terang segala sesuatu di bumi ini. Yang pertama, matahari dan kedua pers dan media massa.

Selain tepat, ujar Harmoko, ungkapan tersebut telah menempatkan dunia pers sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan, bahkan ungkapan tersebut sejalan dengan amanat GBHN bahwa pers dan media massa penting tugasnya dalam menerangi kalbu dan lubuk hari nurani bangsa Indonesia. (RA)

 

 

Jakarta, Kompas

Sumber : KOMPAS (10/02/1985)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 277-280.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.