PESAN PRESIDEN RI SOEHARTO DALAM NUZULUL QURAN
Jakarta, Antara
Presiden Soeharto berpendapat, adalah bertentangan dengan etika dan moral jika di tengah-tengah kesulitan yang dihadapi lapisan terbesar masyarakat ada di antara mereka yang berpunya justru hidup secara berlebihan.
“Allah SWT tidak menghendaki segala sesuatu yang berlebih-lebihan,” kata Kepala Negara dalam sambutannya pada peringatan Nuzulul Qur’an di masjid Istiqlal Jakarta, Kamis malam.
Ia mengingatkan, bangsa Indonesia sedang berada dalam tahun-tahun yang penuh ujian dan tantangan berat. ltu tidak boleh dilupakan, kata Presiden, karena sekejap saja lengah mungkin bangsa Indonesia akan terjerumus ke dalam kesulitan besar.
“Kita harus menutup segala celah-celah kebocoran dan keborosan, baik di sektor negara, swasta, kalangan masyarakat maupun perorangan,” demikian Presiden dalam peringatan mulai turunnya ayat-ayat suci Al Qur’an dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW 14 abad yang lalu.
Hadir pada peringatan di masjid negara itu Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah, sejumlah menteri kabinet yang beragama Islam, para Duta Besar dari negara-negara Islam, tokoh-tokoh Islam dan ribuan muslimin-muslimat Ibu kota.
Dr. H. Rahman Maas, dosen Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung, dalam peringatan tersebut menyampaikan uraian hikmah Nuzulul Qur’an dan Menteri Agama menyampaikan sambutannya.
Presiden mengajak umat Islam mengisi bulan Puasa ini dengan sikap menahan diri dalam arti seluas-luasnya, termasuk menahan diri dari sikap boros dan mewah.
“Hidup boros dan mewah mungkin bisa dipikul oleh beberapa orang yang berpunya atau segolongan masyarakat berada, tetapi pasti tidak bisa ditanggung oleh bangsa yang sedang membangun seperti bangsa kita,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan, Al Qur’an mengajarkan kepada kita agar mereka yang berpunya selalu memperhatikan dan membantu mereka yang tidak berpunya, dengan menetapkan kewajiban membayar zakat.
Makna yang dapat ditangkap dari kewajiban itu, menurut Kepala Negara, adalah tugas keagamaan kita untuk memerangi kemiskinan dan menggalang kesetiakawanan sosial. Sedang makna puasa adalah sikap kesahajaan dalam kehidupan sehari-hari.
Kesetiakawanan sosial dan kesahajaan, dinilai Presiden sebagai kekuatan bagi bangsa Indonesia untuk menanggulangi masa yang penuh ujian dan tantangan berat di bidang ekonomi dewasa ini.
“Marilah kita tempa terus-menerus dalam diri kita masing-masing rasa kesetiakawanan sosial dan kesahajaan itu, yang kali ini kita latih kembali dalam Puasa,” ajaknya.
“Sebagai penganut ajaran Al Qur’an, kita bertekad selalu mengadakan perubahan dalam kehidupan kita, untuk selalu memajukan dan memuliakan kehidupan kita. Inilah cita-cita pembangunan nasional bangsa kita,” demikian Presiden.
Menyinggung pelaksanaan Pemilihan Umum yang baru lalu, Presiden mengatakan bahwa “pesta demokrasi” tersebut membuktikan kehidupan politik bangsa Indonesia sudah semakin mantap.
Kemajuan besar yang dirasakan dalam Pernilu 1987 itu adalah dengan Pancasila sebagai satu-satunya azas maka bangsa Indonesia telah dapat menghindarkan diri dari kerawanan pertentangan ideologis antar kelompok dalam masyarakat.
Sumber: ANTARA (14/05/1987)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 644-645