Pesan Saya: Harus Selalu Eling

Pesan Saya: Harus Selalu Eling [1]

Bersamaan dengan Air Show itu saya menulis catatan pribadi berkenaan dengan ulang tahun Dr. B.J. Habibie yang kelima puluh dan kemudian dimuatkan dalam bukunya. Dengan ini pun, saya tidak mengistimewakan dia. Saya memberikan kesempatan yang sama kepada semuanya. Tetapi nyatanya, Habibie yang bisa menangani.

Di tengah suasana ini, nampak-nampaknya memang seperti ada yang curiga terhadapnya, semata karena ia didikan Jerman. Orang lain seperti berpikir bahwa Habibie itu “akan mempengaruhi Pak Harto”, karena ia pandai. Orang itu tidak tahu bahwa Habibie selalu meminta nasihat saya. Habibie tidak menempatkan diri sebagai orang yang paling tahu. Setiap memberikan laporan, sampai berjam-jam lamanya: ia bersama saya karena ia ingin menangkap apa pendapat saya, apa filsafat saya. Dan setelah ia menangkap pendirian saya, filsafat saya, ia mengembangkannya sesuai dengan keahliannya sebagai insinyur.

Saya patut mengingatkan kembali bagaimana saya bertemu dengan dia waktu ia masih kecil untuk pertama kali di Makassar dulu  itu, seperti sudah saya ceritakan di muka. Bagaimana saya bertemu kembali dengan dia dua kali di Jerman waktu ia masih sekolah dan sesudah ia bekerja.

Dedikasi B.J. Habibie pada negara dan bangsa sungguh besar. Ia berani mengorbankan kepentingannya sendiri. Pada waktu saya memanggilnya, dan pada mulanya ia ditampung di Pertamina, saya tanyakan lagi, apakah benar ia masih bersedia untuk memberikan pengabdiannya kepada Indonesia? Dia ternyata tetap pada pendiriannya, bersedia. Padahal waktu itu di Jerman dia sudah digaji 10.000 dollar tiap bulan (berarti 10 juta rupiah waktu itu), sedangkan di sini dia hanya mendapat 250.000 rupiah. Jumlah itu untuk seorang menteri kita waktu itu sudah banyak.

Memang waktu itu saya sudah punya rencana, dan rencana itu bukan karena kedatangan Habibie. Saya sudah menggariskannya sejak bicara di Klewer. Waktu itu saya menentukan strategi pembangunan nasional, strategi pembangunan jangka panjang dan jangka pendek. Maka saya mengetahui, kapan saya membutuhkan orang-orang yang bisa turut menangani pembangunan, sesuai  dengan tingkatan­tingkatannya. Fase industri pertanian, industri yang mendukung pertanian, industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku, industri bahan baku menjadi bahan jadi.

Bisa jadi pihak yang belum mengenal Habibie meragu-ragukan dedikasinya sebagai seorang cendekiawan. Dia memang mendapat didikan Barat dan telah berhasil. Saya dengar ada orang yang bertanya, “Siapa yang menyodorkannya kepada Pak Harto?” Diperkirakannya orang Barat, intelijen, dan sebagainya. Padahal saya sendiri yang mula­mula mengenalnya, lalu menanyainya dan keinudian mengajaknya.

Waktu itu saya katakan kepada Habibie, “Boleh jadi nanti banyak orang yang iri kepadamu karena kamu memikul tugas yang penting. Hendaknya kamu sudah siap mental dari sekarang.” Dia jawab  waktu itu, “Sanggup? Pak.”

Saya kemukakan kepadanya, “Di Indonesia ini kamu akan menghadapi tantangan. Dan kamu tidak akan dipercaya begitu saja oleh orang yang tidak mengerti. Apa kamu sanggup?”. “Sanggup Pak,” jawabnya.

Jiwa ketimuran Habibie masih ada. Ia selah! meminta nasihat saya mengenai pegangan hidup. Juga ia meminta foto saya dan saya memberikan foto yang ia pilih sendiri, foto saya waktu mengenakan pakaian Jawa.

Saya berikan dengan wejangan dalam bahasa Jawa

“Wong sing tansah eling, percaya mituhu marang kang murbeng dumadi, iku dadi oboring urip kang becik, sajatining becik”. (Jadi, kita selalu harus eling, takwa kepada Tuhan, beriman. Jangan sampai berilmu, tetapi meninggalkan iman).

Ia pasang potret itu di kamar kerjanya. Lalu ia buat juga  copynya dan kemudian dicetak di dalam bukunya.

Dia itu menganggap saya sebagai orang tuanya sendiri. Kelihatan sekali ia tidak mau berbuat salah. Ia selalu meminta petunjuk saya. Filsafat yang saya berikan dicatatnya. Saya mengerti, filsafat perjuangan itu akan merupakan bekal yang tidak kecil baginya selama ia bekerja dan di masa pensiunnya nanti.

Sementara itu saya berusaha untuk berlaku adil. Artinya, semua pembantu saya memang harus saya beri kesempatan yang sama. Juga harus saya perlakukan sama.

Saya berusaha untuk tidak menonjolkan seseorang, untuk tidak menunjukkan si A sebagai anak emas, atau si B sebagai anak jauh. Tidak! Tetapi bagaimanapun juga, orang yang diberi kesempatan untuk berprestasi dan nyatanya ia bisa berprestasi, memang itu harus diakui juga. Seperti Sudharmono, Moerdiono, Ginanjar, diketahui orang bahwa mereka diberi kesempatan untuk berprestasi.

***

 

[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 455-457.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.