PESTA PERKAWINAN SOEHARTO TAK SEMPAT DIABADIKAN DALAM GAMBAR

PESTA PERKAWINAN SOEHARTO TAK SEMPAT DIABADIKAN DALAM GAMBAR

 

 

Jakarta, Pelita

MULANYA, ia ragu apakah sang wanita yang dijodohkan padanya itu benar-benar akan suka pada dirinya. la memang pernah kenai wanita itu. Tapi, sudah lama sekali persisnya ketika mereka masih sama-sama belajar di satu sekolah.

Hari itu tentulah berbeda. Sekolah rendah tempat mereka dulu sama­sama belajar sudah lama ia tinggalkan. Ia kini berusia 26 tahun dan jadi komandan resimen dengan pangkat letnan kolonel. Wanita itu sekarang bagaimana? Apa kerjanya selepas sekolah rendah?

Tapi, akhirnya, meski ia sempat diliputi rasa ragu, wanita itu jadi istrinya. Lelaki itu kini menjadi Presiden RI dan wanita itu jadi lbu Negara Rl. Dan pasangan itu, Soeharto dan Siti Hartinah, kini dikaruniai enam anak tiga putra dan tiga putri, dan sejumlah cucu.

Dalam otobiografnya (“Soeharto-Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”, 1988). Presiden Soeharto dengan polos dan jujur memaparkan proses perjodohan dan perkawinannya dengan Ibu Tien Soeharto. Tapi, dari buku O.G. Roeder (“Soeharto, Dari Prajurit Sampai Presiden”, 1969) kisah ini bisa juga kita tengok dari sisi Ibu Tien.

Perjodohan dan perkawinan itu, bagi Soeharto tampaknya sebuah takdir yang memang diyakininya senantiasa melingkupi diri manusia. Waktu itu ia tengah libur ke rumah orangtua angkatnya di Wuryantoro, Solo. Tapi, tatkala asyik bercerita tentang suasana tanah air dan kejadian di luar negeri, sontak Ibu Prawirowihardjo, ibu angkatnya, menyinggung soal pernikahan.

Soeharto, mulanya, agak terkejut juga. Selama ini tak sempat memikirkan itu karena sibuk terjun ke kancah perang untuk mengamankan republik dari ancaman musuh.

“Sebaiknya ditunda dulu Bu, soalnya keadaan sekarang belum begitu aman dan saya harus bekerja lebih keras,” begitu antara lain tutur Soeharto.

“Berjuang ya berjuang, tapi perkawinan tak perlu terhalang karena itu. Sebaiknya engkau mengambil keputusan sekarang juga,” kata Bu Prawiro.

Akhimya, Soeharto memang tak sanggup menolak anjuran ibu angkat yang ia sayangi itu. Maka, mulailah Bu Prawiro berusaha kontak dengan pihak keluarga Siti Hartinah. Tanpa lewat proses yang terlalu panjang karena Bu Prawiro tahu adat menghadapi orang ningrat Ibu Prawiro dan Soeharto diterima kedatangannya oleh Pak Soemoharyomo dan Ibu Hatmanti, orangtua Siti Hartinah.

Dalam pertemuan itu segera ditetapkan hari pemikahan, yakni 26 Desember 1947. Tempatnya, ya, di Wuryantoro, Solo. Di hari pemikahan itu, Soeharto datang dari tempat dinasnya, Yogyakarta, mengendarai mobil tua. Dari Yogya ia sudah berpakaian pengantin dengan keris terselip di punggung.

Perkawinan itu memang terbilang sederhana. Dari pihak pengantin laki-laki hadir saudara angkat Soeharto yakni Sulardi dan kakaknya. Dari pihak pengantin wanita cukup banyak juga. Sebab keluarga Pak Soemoharyomo memang terbilang terpandang di kota itu.

Setelah acara pernikahan yang berlangsung sore hari, malamnya diadakan semacam pesta. Tapi, acara penuh makna buat suami-istri itu terpaksa hanya diterangi lilin. Solo di waktu malam, ketika itu, tak boleh berpenerangan listrik. Ancaman dari Belanda masih terasa.

“…. kejadian yang bagi saya amat penting ini, sayang, tak ada yang mengabadikannya dengan potret. Maklumlah, keadaan serba darurat,”kenang Soeharto.

Memang sebagai komandan resimen, waktu itu Soeharto bertugas mengamankan Yogyakarta. Di kota inilah kaum republik berkumpul. Karena itu pula, ia tak bisa lama-lama di Solo. Tiga hari setelah upacara perkawinan itu, ia memboyong istrinya ke tempat tugas di Yogyakarta

Sebagai prajurit, Soeharto acap harus meninggalkan keluarganya. Konsekuensinya, ia sering tidak sempat mendampingi Ibu Tien ketika melahirkan anaknya. Malah anak sulungnya Siti Hardiyanti Hastuti yang kini lebih dikenal dengan sapaan Mbak Tutut, tak sempat dilihatnya selama tiga bulan pertama sejak dilahirkan.

Sementara anak kedua, Sigit Harjoyudanto, lahir ketika Pak Harto bertugas di Sulawesi Selatan untuk menumpas pemberontakan Andi Azis. Anak nomor tiga, Bambang Trihatmojo, lahir tatkala Pak Harto bertugas di Makasar sebagai Panglima Mandala untuk membebaskan Irian Barat.

Pak Harto dan Ibu Tien kini telah dikaruniai enam orang putra-putri dan sejumlah cucu. Selain Mbak Tutut, Sigit, dan Bambang, Ibu Tien juga melahirkan Siti Hediyati, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami.

 

 

Sumber : PELITA (08/06/1990)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 464-467.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.