PINJAMAN CGI, ANTARA KEPERCAYAAN DAN TANTANGAN [1]
Oleh Askan Krisna
Jakarta, Antara
Negara-negara donor yang bergabung dalam Kelompok Konsultasi untuk Indonesia (CGI) akhirnya memutuskan untuk memberikan bantuan pinjaman senilai 5.110,6 juta dolar AS pada tahun anggaran 1993/94 atau lebih dari Rp 10,2 triliun, yang berarti naik 3,2 persen dibanding bantuan tahun lalu 4,9 miliar dolar AS.
Banyak pihak, termasuk Presiden Soeharto, para pengamat ekonomi dan kalangan DPR menilai pinjaman yang diberikan CGI itu mencerminkan kepercayaan negara-negara donor kepada Indonesia.
CGI yang dibentuk 1992 sebagai pengganti IGGI terdiri atas 18 negara dan lembaga keuangan internasional tetap merasa perlu untuk meningkatkan bantuannya demi kesinambungan pembangunan yang dilaksanakan Indonesia.
Anggota Komisi APBN DPR, H. Hamzah Haz berpendapat, memang tidak ada alasan bagi CGI untuk mengurangi bantuannya kepada Indonesia mengingat pembayaran utang RI tidak pernah macet dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan sasaran pembangunan.
Menko Eku/Wasbang Dr. Saleh Affif mengatakan, kunci keberhasilan pembangunan Indonesia terletak: pada kemampuan untuk meningkatkan produktivitas pekerja, modal dan perusahaan disamping meningkatkan daya-saing di pasar internasional.
Strategi untuk mencapai sasaran itu mencakup empat unsur, terus memberikan prioritas tinggi kepada usaha mempertahankan stabilitas makro-ekonomi melalui manajemen fiskal dan moneter, melanjutkan proses deregulasi perdagangan dan investasi serta mendukung perubahan-perubahan dengan peraturan dan hukum yang disempurnakan.
Indonesia juga berupaya lebih keras mengelola sumber daya alam dan mencegah degredasi lingkungan hidup, selain melanjutkan investasi besar-besaran bagi pengembangan sumberdaya manusia dan prasarana fisik. Kebutuhan sangat fundamental adalah meningkatkan kualitas angkatan ketja agar mampu beroperasi efektif di berbagai jenis industri.
Perubahan Struktural
Hal ini sejalan dengan harapan Bank Dunia, agar Indonesia melanjutkan dan meningkatkan perubahan-perubahan strukturalnya untuk mampu menjawab tantangan pembangunan di masa mendatang.
Jika Indonesia mampu meningkatkan taraf kesejahteraan dengan tingkat pendapatan per kapita 650 dolar AS sekarang, Bank Dunia memperkirakan RI akan mencapai status negara berpenghasilan menengah pada akhir dasawarsa ini.
Pelaksanaan manajemen makro-ekonomi dan penganekaragaman ekonomi yang baik akan menambah keyakinan harapan-harapan itu menjadi kenyataan. Karena itu Jepang, pemberi pinjaman terbesar, 1,44 miliar dolar AS atau naik 120 juta dolar AS ketirnbang bantuan yang diberikan pada tahun anggaran 1992 yakni 1,32 miliar dolar AS, tak segan-segan untuk memenuhi permintaan yang diajukan Indonesia.
Permintaan dana yang meningkat dibanding tahun lalu bukan saja disebabkan situasi dalam negeri, tapi juga pengaruh perubahan situasi politik dan ekonomi internasional yang terns berkembang.
Sementara ekonomi Indonesia dinilai mengalami peningkatan pesat, defisit neraca betjalan mulai berkurang dan permintaan pemerintah RI untuk pinjaman per sektor juga menurun.
Dalam kaitan ini, Wakil Presiden Bank Dunia Gau tam S.Kaji ketika mengumumkan hasil sidang CGI di Paris memuji kemajuan ekonomi Indonesia dengan mengatakan ‘belum ada negara manapun yang bisa menandingi prestasi ekonomi Indonesia.’
Jangan Jadi Bumerang
Meskipun demikian, Hamzah Haz yang juga Ketua F-PP DPR mengingatkan, pinjaman yang diterima dari CGI hendaknya dikelola dengan baik sehingga tidak justru menjadi bumerang.
Dana pinjaman itu hendaknya digunakan untuk memacu peningkatan ekspor guna memantapkan neraca pembayaran, sebab kalau tidak digunakan secara efektif dan efesien, justru akan mempersulit keadaan ekonomi nasional.
“Harap diingat, makin besar jumlah pinjaman yang diterima berarti bertambah besar pula cicilan utang yang harus dibayar,” Hamzah.
Wakil Ketua Komisi APBN Aberson Marle Sihaloho, Wakil Ketua Komisi VI DPR Budi Hardjono, anggota Komisi VII Dr. A.A. Baramuli juga berpendapat, bantuan CGI itu hendaknya benar-benar digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kualitas sumberdaya manusia.
“Dana pinjaman dari CGI itu hendaknya dikelola dengan baik, secara berhati-hati, dan besar manfaatnya bagi masyarakat dan negara agar Indonesia tidak jatuh sebagai debitur kredit macet pula,” katanya.
Hal ini mengingatkan, pinjaman yang diperoleh dari CGI bersifat lebih komersial ketimbang dari IGGI yang bersifat lebih luwes. Dengan tambahan dana itu menurutnya Indonesia sebenarnya masih menyangga ketidakimbangan antara pengeluaran yang lebih besar ketimbang pinjaman yang didapat. Saat ini pengeluaran anggaran masih Rp 16,7triliun.
“Karena itu, pinjaman yang didapat harus digunakan secara konservatif, berhati hati sekali dan mengacu pada peningkatan ekspor,” kata Hamzah.
Dia juga mengingatkan, neraca pembayaran belum mengalami perubahan struktural dengan adanya pinjaman tersebut, sebab ketergarttungan kepada luar negeri masih cukup besar.
“lni yang harus kita sadari, kita masih selalu mengalarni defisit transaksi berjalan,
sebab surplus neraca pembayaran yang terjadi selama ini bukan disebabkan ekspor makin kuat atau karena mengalirnya investasi langsung, melainkan ditopang oleh utang luar negeri,” ujarnya. Oleh sebab itu, volume pinjaman Indonesia pada Pelita VI diharapkan makin mengecil agar terwujud cita-cita kemandirian seperti yang diarnanatkan GBHN 1993.
Dengan denikian, jumlah bantuan pinjaman yang diberikan CGI bukan hanya merupakan kepercayaan tetapi juga tantangan yang menuntut tanggungjawab besar dalam pemanfaatannya.
Dalam hal ini Presiden Soeharto ketika menerima Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad mengakui, bantuan CGI selain mencerminkan kepercayaan juga menuntut tanggungjawab lebih besar dalam pengelolaannya. (U.jkt-001/14:30/SpOl/ 2/07/9314:47)
Sumber: ANTARA (02/07/1993)
_______________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 529-532.