POLITIK LUAR NEGERI KITA

HM Soeharto dalam berita

Tajuk Rencana

POLITIK LUAR NEGERI KITA [1]

 

Jakarta, Kompas

Kepada 6 dutabesar Republik Indonesia, yang dilantik pada hari Sabtu lalu, Presiden berpesan

“Tajamkanlah pandangan dan pendengaran, sehingga apa yang salah dikira oleh orang luar tentang Indonesia, segera dapat dijelaskan seperti keadaan sebenarnya disini”.

Disini Presiden menunjuk peranan memberikan informasi. Informasi diberikan setelah salah faham terjadi atau mendahuluinya? Yang ideal mendahului. Secara umum disebut, bukan reaktif dan defensif tapi aktif dan agresip.

Ada banyak perbedaan antara periode sesudah dan sebelum 1966. Juga dalam membawa politik luarnegeri. Persamaan ada. Yaitu, bahwa politik luarnegeri itu, selalu merupakan cermin dan kelanjutan dari politik dan struktur dalam negeri.

Karena politik dan struktur dalam negeri berobah pada tahun 1966, maka berobah pula politik luarnegeri. Kita tetap menyebutnya politik bebas-aktif. Namun pengetrapannya jelas mengalami perobahan-perobahan.

Salah satu perbedaan dalam membawakan politik luarnegeri ialah bahwa setelah 1966, postur kita sengaja rendah di luarnegeri. Tidak aktif dan agresif seperti tahun­tahun sebelumnya. Sebagian karena sejak tahun itu, kita lebih melihat kedalam, membenahi urusan-urusan pokok didalam. Sebagian juga, karena masih mencari orientasi baru. Bagaimana mengakomodasikan politik luarnegeri dengan interpretasi baru dari kepentingan nasional.

Lambat laun postur baru ditemukan. Bukan lagi sekedar mencari bantuan dan pinjaman. Bukan sekedar pasif dan berpostur rendah. Ditemukan pegangan baru. Relevansinya kuat, aktualitanya intensif, sehingga memang bisa dikembangkan menjadi orientasi yang mantap.

Ialah ikut berprakarsa aktif dan konstruktif dalam mencari keadilan didalam tertib ekonomi Internasional. Dalam periode Asia-Afrika dan gerakan nonblok tahun enam puluhan, kita berdiri didepan. Kita pencetus ide dan pelaksana.

Orientasi sosial ekonomi sekarang ini, lanjutan dari pemerintahan masa lalu. Statistik yang dianggap obyektif menuju dua pertiga umat manusia hidup dalam kelaparan dan keterbelakangan. Sepertiga dinegara-negara industri hidup berlebihan.

Kelak keseimbangan itu sebagian akibat lompatan-lompatan teknologi di negara­negara industri. Sebagian juga akibat posisi kuat mereka dari masa lampau yang kolonial. Unsur ketakadilan dan ketakwajaran itulah harus dirombak, inilah pegangan dan orientasi baru. Dan Indonesia bersama Aljazair dan lain-lain ternyata terpanggil untuk berperanan aktif.

Sekarang ruang gerak politik luarnegeri kita lebih leluasa, maka juga bisa lebih aktif dan memang harus lebih aktif.

Perbaikan Apa lagi harus terjadi?. Karena struktur kekuasaan dalam negeri berobah pada tahun 1966, maka berobah pula proses pembuatan politik luarnegeri. Yang berobah bukan substansi dan isinya, juga proses pembuatannya.

Dalam proses pembuatan politik luarnegeri ini, kita sering mendapat kesan, kurang ada koordinasi. Banyak tangan ikut menangani, Ini bisa saja terjadi. Namun yang penting, harus ada koordinasi, saling mengerti, saling percaya, dan jelas, siapa pengambil keputusan terakhir dan penanggungjawabnya.

Dalam proses pembuatan wajar jika banyak tangan ikut serta. Tetapi dalam mengambil keputusan dan menjamin pelaksanaannya, perlu jelas adanya kesatuan. Ini akan mencerminkan kewibawaan dan lebih menjamin efektivitasnya.

Sebab jika tidak bersatu keputusan dan penanggungjawabnya, langkah-langkah lanjut akan terkatung-katung ditengah jalan. Ada berbagai instansi. Lantas siapa mesti melaksanakan tindak lanjut itu.

Politik luarnegeri mengenal fase-fase. Fase perumusan dan fase pelaksanaan. Fase pemikiran dan analisa serta fase analisa serta Fase eksekutif menentukan apakah perumusan-perumusan yang hebat, bisa dilaksanakan.

Politik luarnegeri kembali mempunyai postur. Yang juga tak bisa diabadikan, instrumen efektif untuk menjabarkan dan mengusahakan tercapainya postur baru tersebut. (DTS)

Sumber:   KOMPAS (11/07/1976)

 

 

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 70-71.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.