PRESIDEN: DI LUAR POLITIK PRAKTIS TERBENTANG PENGABDIAN YANG LUAS

PRESIDEN: DI LUAR POLITIK PRAKTIS TERBENTANG PENGABDIAN YANG LUAS

 

 

Krapyak, Yogyakarta, Suara Pembaruan

Presiden Soeharto menilai sungguh tepat keputusan yang diambil Nahdlatul Ulama (NU) pada muktamarnya yang ke-27 di Situbondo untuk memantapkan dirinya sebagai jamiyah sosial keagamaan. Karena dengan demikian NU mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengetahkan dan mengarahkan segala kemampuannya meningkatkan perhatian, pemikiran dan pengabdian dalam mengembangkan kehidupan beragama di tanah air.

Kepala Negara mengatakan hal itu di depan peserta Muktamar NU ke-28, Kongres Muslimat NU ke-12 dan Kongres Fatayat NU ke-10 Sabtu pagi di Pondok Pesantren AI Munawir Krapyak, Yogyakarta. Presiden pun mengingatkan, sesungguhnyalah di luar kegiatan politik praktis terbentang pengabdian yang sangat luas untuk membangun masyarakat bangsa dan negara.

Pengembangan kehidupan beragama di tanah air memerlukan pemikiran, perhatian dan penanganan yang makin sungguh-sunguh, mengingat kemajemukan di negara kita, di mana hidup dan berkembang berbagai agama. Karena itu penanganannya memerlukan sikap yang arif bijaksana, kata Presiden.

Presiden menekankan kembali bahwa dengan Pancasila sebagai dasar negara, kita tidak menonjolkan salah satu agama sebagai agama negara. “Semua agama mempunyai kedudukan yang sama”. Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak mempedulikan kehidupan keagamaan, malahan sebaliknya. “Negara sangat berkepentingan dengan perkembangan kehidupan agama yang semarak, sehat dan dinamis”, katanya lagi.

 

Final

Sejarah menunjukkan bahwa para pendahulu kita yang merumuskan Pancasila ada yang berasal dari NU. Sejarah juga menunjukkan bahwa NU adalah pelopor dalam menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa keraguan dan mendahului organisasi keagamaan lainnya.

NU menurut Kepala Negara, juga telah menegaskan bahwa bagi umat Islam, Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 sebagai keberadaan yang sudah final, dan karena itu tidak perlu dipersoalkan dan dikutik-kutik lagi. “Semua itu merupakan sumbangan yang sangat besar dalam usaha kita memantapkan kesatuan dan persatuan dan keutuhan bangsa kita yang sangat majemuk ini”.

Sikap yang dilandasi keyakinan dan patokan-patokan agama itu, katanya, memberikan bobot tersendiri pada Pancasila sebagai ideologi nasional bangsa kita. Ditegaskan Kepala Negara, andai kata kita tidak memiliki Pancasila, tidak segera kita hayati dan amalkan, maka tidak mustahil kita juga akan mengalami pergolakan besar dan berkepanjangan seperti yang dihadapi negara merdeka lainnya.

Keterlibatan para pemuka agama dan para ulama menurut Kepala Negara sangat diharapkan untuk meningkatkan keterlibatan dan keikutsertaannya dalam pembangunan bangsa yang saat ini sudah berada dalam tahap, akhir pembangunan langka panjang yang pertama.

Di dalam kehidupan keagamaan ini kerukunan umat beragama akan mencapai yang lebih tinggi lagi yaitu tanggungjawab bersama semua golongan beragama dan berpercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk setara terus-menerus dan bersama-sama meletakan landasan moral etik dan spiritual bagi pembagunan sebagai pengamalan Pancasila.

Untuk melaksanakan tanggungjawab bersama itu, para pemikir dan pemuka dari semua golongan agama perlu mengembangkan pemikiran yang kreatif, baik sendiri maupun bersama dengan tetap setia kepada iman yang mereka yakini masing-masing.

 

Diimbangi

Presiden Soeharto juga mengingatkan bahwa penguasaan dan penerapan teknologi perlu dilandasi dan diimbangi dengan moral dan idealisme yang luhur seperti segi keagamaan dan kepercayaan, etik dan budaya, kemanusiaan, solidaritas sosial dan nasional, kerakyatan, keadilan sosial, kelestarian lingkungan hidup dan segi-segi kelestarian sumber daya alam.

Dengan memperhatikan semua segi tersebut, berkata Kepala Negara, maka kita bercita-cita membangun masyarakat yang maju, adil, makmur dan lestari berdasarkan Pancasila yang tidak mengulangi krisis-krisis dalam kehidupan masyarakat-masyarakat modern lainnya. Dalam kemajuan sekarang ini menurut Presiden pula, sering perubahan di sekitar kita terjadi lebih cepat dari apa yang kita bayangkan. Kalau para ulama dan pemuka agama kurang tanggap masyarakat kita akan berjalan tanpa arahan.

“Saya berharap kepekaan para pemuka agama dan para ulama, terhadap tantangan masyarakat dan zamannya. Marilah kita pusatkan pada pengembangan umat beragama agar mereka menjadi Umat yang teguh agamanya, luas wawasannya, tanggap terhadap tantangan zaman dan besar tanggung jawabnya terhadap kemaslahatan masyarakat dan bangsanya”.

Tugas para ulama sebagai pewaris dan penerus Nabi sungguh berat. Akan tetapi Tuhan telah berjanji akan menunjukkan jalanNya apabila kita sungguh-sungguh berusaha melaksanakan kehendakNya, demikian Presiden Soeharto.

 

Madu Asli

Presiden Soeharto tiba di Pondok pesantren itu disambut Menteri Agama dr. Munawir Syadzali, dan Drs. Attapik Ali putra tertua KH. Ali Ma’shum pemimpin pondok.

Presiden bersama Ibu Soeharto langsung menuju rumah Kyai Haji Ali Ma’shum yang berbaring di tempat tidur karena sakit. Dengan penuh keakraban, Presiden berjabatan tangan dengan Kyai Ali Ma’shum, sambil mengucapkan “Saya membawa oleh-oleh madu asli Indonesia, dan minyak kayu putih untuk kyai kalau sedang sakit”.

Pemberian Presiden tersebut diterima penuh kegembiraan oleh Kyai Ali Ma’shum, pemimpin pondok pesantren Krapyak, Al Munawir itu.

Menteri Agama Munawir Syadzali menyatakan, muktamar ke-28 ini tidak diselenggarakan di gedung mewah, atau di hotel berbintang, tapi di gedung yang sederhana di pondok pesantren yang berbintang sembilan, yaitu Pesantren Al Munawir.

Pembukaan muktamar diawali dengan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”diiringi oleh Korps music ABRI.

Suasana cerah, matahari bersinar terang dan jalan-jalan masuk ke pondok dipenuhi hiasan umbul-umbul, spanduk selamat datang kepada Presiden dan Ibu.

 

 

Sumber : SUARA PEMBAHARUAN (15/11/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 353-355.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.