PRESIDEN DIKRITIK PENYANDANG CACAT

PRESIDEN DIKRITIK PENYANDANG CACAT[1]

 

 

Jakarta, Suara Karya

Mungkin bam kali ini Presiden Soeharto secara langsung dikritik oleh seorang “esktrimis”, Ismail (28). Pemuda asal Aceh ini bahkan tanpa tedeng aling-aling menyatakan bahwa Pak Harto, termasuk salah satu pejabat Indonesia yang sangat dibencinya.

“Ya.. banyak orang yang mengritik dan yang sok ngritik. Yang dapat kritikan terlalu banyak itu saya,”jawab Presiden tertawa dalam dialognya dengan Ismail, penyandang cacat tubuh di serambi Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu.

Dalam dialognya yang penuh keterbukaan itu, disaksikan wartawan dan karyawan Sekneg, Presiden berbincang-bincang dengan Ismail berhadap-hadapan. Presiden duduk di kursi ukiran kuning, Ismail tengkurap diatas kendaraan roda tiba yang digunakannya untuk melanglang ke wilayah Indonesia sejak 27 Juli 1988 mulai dari Sabang. Kendaraan roda tiga hasil modivikasi sepeda ini dirancang dan dibuatnya sendiri. Kendaraan biru yang dikayuhnya dengan tangan ini dilengkapi dengan peralatan kendaraan, mesin ketik, buku, radio, karaoke dan handphone. Tubuh pemuda berambut ikal ini lumpuh mulai pinggang ke bawah karena jatuh ketika membangun masjid bantuan Presiden di Aceh 14 Mei 1985.

Ismail yang berkali-kali menyela pembicaraan Presiden itu tampak santai dan banyak tertawa. Bahkan tak segan-segan anak ketiga dari 9 bersaudara itu mengomentari ucapan dan buku Presiden tentang alon-alon asal kelakon. Ia tidak kelihatan takut dan ragu-ragu. Tampaknya ia terlatih bicara. Pak Harto menjelaskan bahwa alon-alon asal kelakon merupakan falsafah leadership dalam mengambil keputusan. Yang ditekankan bukan alonnya melainkan kelakonnya. Secara ilmiah sebetulnya sekarang ini kita dalam mengambil segala tindakan harus berdasarkan pemikiran analisa situasi dan kondisi, sehingga kita teliti, baik mengenai ekonomi, kebudayaan dan adat istiadat Itu semua, kata Presiden, barus dilakukan penuh ketelitian sehingga dapat dipilih salah satu cara bertindak yang terbaik.” Kelakonnya di situ. Jadi tidak sembarangan. Tidak ngawur, tidak sembrono karena sudah memakai analisa yang teliti,” kata Presiden.

Menurut Presiden yang dimaksud dengan alonalon yaitu ketelitian dan kesungguhan berusaha. Kebalikannya adalah kebat kliwat, Kebat (cepat) dan kliwat (melewati). “Berarti melewati sasaran, kesandung, kejungkel. Lha tidak ada hasilnya,”ujar Presiden menjelaskan.

Ismail mengatakan bahwa sebelum berkeliling ke Indonesia, ia sangat membenci pejabat-pejabat Indonesia, termasuk Pak Harto. Karena katanya sejak di bangku SLTA ia menjadi ekstrimis dan fanatis setelah mendapat masukan yang keliru tentang Pak Harto dan nasionalisme. “Setelah saya sadari, saya resapi dan saya kaji secara mendalam, saya mohon maaf sebesar-besarnya,” kata Ismail sambil menepuk-nepuk lutut Pak Harto.

Sambil tertawa Presiden menyela: “Karena alon-alon itu tadi. Nggak apa-apa. Sudah terus terang. Saya dibenci juga nggak apa-apa”. “Tapi sekarang lain. Sekarang tidak benci,” tanya Pak Harto tertawa.

Dengan tertawa pula, Ismail yang setiap hari membaca rata-rata dua koran dan setiap minggu membaca Tempo itu dengan cepat mengatakan bahwa sekarang lain ini karena juga dipengaruhi oleh unsur luar dan menjadi salah satu sebab ia fanatik. Pak Harto menjelaskan kembali bahwa fanatisme tidak akan memberikan keuntungan, karena itu harus dihilangkan. Pikiran itu harus rasional.

Kedatangannya ke lstana untuk bertemu dengan Pak Harto itu memang sudah direncanakan Ismail sejak 2 bulan lalu. Tanpa melalui jalur koneksi ia mengirim proposal ke Sekneg. Bersamaan itu ia mengantar langsung surat itu ke kediaman Presiden.

Sesudah kena musibah dan dinyatakan dokter bahwa ia tidak mungkin sembuh, Ismail bertekad akan “lahir” kembali ia akan membuktikan bahwa kelumpuhan bukan menjadi akhir dari kehidupannya. “Saya akan memberikan senyum selagi masih bisa tersenyum. ltulah harapan yang terus akan diwujudkan melalui perjalanannya mengelilingi Indonesia, termasuk bertemu dengan Pak Harto. Hasil perjalananya selama ini ia ketik sambil tengkurap (karena duduk ia merasa tidak betah dan tidak kuat) dan dikirim ke koran-koran dengan nama samaran.” Dalam pertemuannya dengan Pak Harto, ia menyampaikan tulisan mengenai kisah perjalanannya selama ini. Pemuda yang gemar mendengarkan Michael Jackson dan Ebiet G Ade itu juga menyerahkan plakat “Panca Lima Racun Negara”. Plakat berwarna biru dengan latar belakang peta Indonesia itu hasil karyanya sendiri, Panca Lima Racun Negara buah renungan dari perjalananya yaitu “orang beragama yang­ tidak beriman. Orang yang mendustai kebenarannya. Orang yang bersembunyi di balik tirai waktu. Orang yang tidak berkepentingan kebersamaan. Orang yang menyembunyikan nalarnya”. Ismail merencanakan tahun 1994 sudah tiba kembali ke Sabang. Rencananya sesudah itu, ia akan melawat ke negara ASEAN untuk studi perbandingan. Rata-rata per hari ia mengbabiskan dana sebesar Rp 20.000. Biayanya selama ini sekitar 50% diperoleh atas bantuan teman-temannya bermain golf dari Jepang sekitar Rp 25 juta. Sedangkan 10% lainnya bantuan Bank BNI 46. Pemuda tamatan SMA tahun 1978 ini sebelum lumpuh adalah pegolf handicap Sebelumnya ia seorang caddy.

Bantuan dari temannya di Jepang itu mulanya untuk mengobati kelumpuhannya. Karena ia tidak mungkin sembuh, Ismail memutuskan dana itu untuk membiayai petualangannya mengelilingi Indonesia untuk meningkatkan nasionalismenya. Akan kemauan keras Ismail, Pak Harto menyatakan kekagumannya. “Mudah­ mudahan bisa tercapai apa yang dicita-citakan. Alhamdullilah Anda menjadi contoh putra Indonesia yang benar-benar mencintai Tanah Air. Mudah-mudahan juga diikuti yang lain. Yang cacat saja ingin mewujudkan cintanya kepada tanah air, apalagi yang tidak cacat,”kata Presiden. Sebelum mengakhiri dialognya, Presiden menyatakan kesediaannya untuk membantu biaya perjalanannya. Ismail yang kalau buang air besar dan kecil tidak terasa itu dengan penuh senyum menjawab,”Ya nggak usah repot-repot, Pak”.(N-1).

Sumber: SUARAKARYA(28/6/1993)

________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 900-903.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.