PRESIDEN: HATI-HATI TERHADAP TAHTA, HARTA, DAN WANITA[1]
Jakarta, Republika
Para pejabat yang biasa “disuguhi ” wanita supaya tak lagi meneruskan kebiasaannya. Presiden Soeharto mengingatkan para pejabat untuk tidak menerima “suguhan wanita” yang mungkin diberikan oleh orang lain untuk tujuan-tujuan tertentu, karena pejabat harus mampu memberikan contoh yang baik kepada masyarakat.
Menurut Presiden Soeharto, aparat harus mampu menjaga tingkah laku di depan masyarakatnya dan harus berhati-hati terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, terutama terhadap masalah tahta, harta, dan wanita.
Khusus persoalan wanita, Pak Harto mengingatkan bahwa orang suka menjatuhkan seorang pejabat dengan cara menyuguhkan wanita. “Kasus ini merupakan penyebab yang paling tinggi yang mengakibatkan seorang pejabat jatuh dari kedudukannya. Dengan demikian tiga persoalan di atas harus benar-benar diwaspadai dan pejabat harus mampu menjaga diri agar tidak terjerumus kejalan yang tidak benar, “ujarnya.
Kepala Negara menyatakan itu ketika menerima Gubernur Irian Jaya, Yacob Patippi, di Bina Graha, Jakarta, Rabu (21/4). Patippi melaporkan tentang pelantikannya sebagai gubernur baru-baru ini untuk menggantikan Bernabas Suebu.
Peringatan Presiden ini disampaikan bertepatan dengan hari Kartini 21 April. Meski disampaikan kepadanya, Patippi mengatakan wejangan Pak Harto itu berlaku bagi semua aparatur.
“Bapak Presiden menjelaskan, seseorang yang ingin mencapai kedudukan tinggi janganlah melakukan cara-cara tidak baik. Untuk mencapai kedudukan itu harus berdasarkan prestasi dan harus bekerja keras, sehingga mendapatkan imbalan posisi yang tinggi, ” kata Patippi mengutip keterangan Presiden.
Kedua, yang harus diperhatikan, kata Presiden, persoalan harta. “Kita boleh saja kaya, tapi harus berdasarkan keringat dan jalan yang halal yang direstui oleh Tuhan Yang Maha Esa, gunakan kekayaan itu untuk membantu banyak orang yang masih hidup dalam keadaan susah. Janganlah harta kekayaan itu dipakai sendiri, apalagi secara berlebih-lebihan.”
Menurut Presiden, seorang gubernur di sisi lain bertugas sebagai aparat daerah, tapi ia juga aparat pemerintah pusat. Dengan demikian daerah adalah daerahnya pusat, dan pusat adalah pusatnya daerah.
“Karena itu keduanya jangan dipandang sebagai batas yang memisahkan keduanya, dan jangan dilihat dari kewenangan daerah, karena seorang gubernur adalah orangnya pusat manfaatkan kesempatan ini sehingga kesulitan daerah bisa diselesaikan ke pusat, “kata Presiden.
Menurut Gubernur Irian Jaya, Presiden juga berpesan, jika Gubernur Irja menemui kesulitan yang tidak bisa dipecahkan sendiri, maka jalan keluar yang pertama adalah menemui menteri dan dirjen yang membidangi permasalahan.
Menurut Presiden, daerah Irja merupakan propinsi terluas di Indonesia sedangkan jumlah penduduk paling sedikit, dengan demikian pejabat di Irja hendaknya terus berusaha mencari tenaga kerja, antara lain dengan meminta kepada Menteri Transmigrasi membantu dengan cara meningkatkan jumlah transmigran. (pur)
Sumber: REPUBLIKA (22/04/1993)
__________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 95-96.