PRESIDEN: IMPOR MOBIL PERLU DIKENDALIKAN[1]
Jakarta, Antara
Presiden Soeharto mengatakan pemerintah memang membuka peluang impor mobil, namun diharapkan pembelian mobil jadi itu dilakukan secara terbatas terutama untuk menghindari kecemburuan sosial.
Seusai menemui Kepala Negara di Bina Graha, Rabu , Ketua Umum GINSI Amiruddin Saud mengatakan kepada pers, pihaknya akan segera meminta seluruh anggota untuk melaksanakan imbauan Kepala Negara itu.
Menurut Presiden, sekalipun impor mobil diizinkan pemerintah, namun pada dasarnya akan menghabiskan devisa yang tidak sedikit karena harganya yang mahal.
Berdasarkan paket Deregulasi Juni tahun 1993, impor mobil diizinkan dengan pengenaan bea masuk 200 persen bagi tipe yang sudah diproduksi di dalam negeri. Sedangkan untuk tipe yang belum dihasilkan industri nasional selain terkena bea masuk 200 persen juga dikenai bea masuk tambahan 100 persen.
Amiruddin mengemukakan, sebenarnya impor mobil bisa ditekan semaksimal mungkin apabila para konsumen lebih mengutamakan jenis yang sudah diproduksi di dalam negeri.
“Impor mobil sebaiknya tidak dilakukan semaunya untuk menghindari gejolak sosial dan penghamburan devisa,” kata Amiruddin mengutip ucapan Presiden. Pemerintah mengizinkan lagi impor mobil jadi (completely built up/ CBU) dalam rangka melaksanakan ketentuan GATT bahwa sebuah negara harus mela ukan pembatasan impor dengan menerapkan hambatan tarif dan bukannya nontarif seperti pemberlakuan kuota atau pelarangan total.
Ekspor Fiktif
Ketua Umum GINSI kepada Presiden juga melaporkan kasus ekspor udang dan hasillaut secara fiktif yang dilakukan sebuah perusahaan. Akibat kasus ini, BRI cabang Veteran Jakarta Pusat dirugikan Rp 28 miliar. Ia mengatakan, kasus ekspor ini terjadi tahun 1991 dan 1992. Perusahaan itu mengaku telah mendatangkan kapal bernama Alligator namun ternyata kapal itu tidak pernah merapat di Indonesia.
Setelah mendengar laporan itu, Presiden minta GINSI untuk melaporkan kasus kasus lain langsung kepada Kepala Negara agar bisa segera ditangani.
Pada kesempatan itu, Presiden dan pengurus GINSI membahas impor sampah yang mencapai 400 peti kemas yang bila dimusnahkan akan menghabiskan dana Rp 4 miliar.
Presiden, kata Amirudin, mengatakan karena biaya pemusnahan itu amat besar maka bisa saja sampah impor itu diberikan kepada para pemulung yang kemudian memanfaatkannya, misalnya dengan menjualnya ke pabrik.
Menurut Kepala Negara, penyerahan sampah ini kepada pemulung-pemulung selain menghemat biaya juga dapat mengurangi pencemaran udara dibandingkan jika sampah itu harus dibakar.
Ketika menyinggung perkembangan impor yang 75 persen di antaranya berupa bahan baku dan barang modal serta bahan penolong, Kepala Negara mengemukakan jika barang-barang itu sebenarnya sudah bisa diproduksi di dalam negeri maka sebaiknya impor secara bertahap dikurangi. (T/ Eu02/LN09/23/06/9314:49/RE3)
Sumber: ANTARA(23/06/1993)
___________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 473-474.