PRESIDEN JELASKAN SOAL BISNIS OM LIEM[1]
Jakarta, Republika
Peternakan “Tri S” Tapos telah dikenal sebagai tempat pejabat penting bagi Presiden Soeharto. Di tempat ini Presiden sering menjelaskan berbagai isu penting kepada tamu-tamunya termasuk Minggu kemarin, ketika Presiden menjelaskan berbagai isu penting di bidang perekonomian Indonesia. Di depan peserta Munas KUKMI (Kerukunan Usaha Kecil dan Menengah),
sejumlah bankir, pengurus Kadin, Presiden yang didampingi Menteri Koperasi/PPK Subiakto Tjakrawedaja, menjelaskan soal isu monopoli, pengusaha besar, kolusi, bahkan hubungan, pribadinya dengan taipan Liem Sioe Liong (Om Liem).
Seperti biasa, Presiden menjelaskan soal-soal itu dengan gaya khasnya santai, ramah, sambil berulang kali melepas tawa, di depan sekitar 150 pengusaha yang hadir sebagai tamunya. Mula-mula, Presiden menjelaskan soal tata niaga tepung terigu yang belakangan disebutkan. Menurut Presiden, perusahaan tepung terigu PT Bogasari tidak melakukan monopoli. “PT Bogasari itu hanya bertindak sebagai pengolah, bagaikan tukangjahit saja,” katanya. Sebagai pengolah, perusahaan ini hanya mendapat upah untuk memproses gandum menjadi tepung. Selebihnya, Bulog yang mengurusi, termasuk untuk urusan tata niaga, subsidi, dan sebagainya. Orang mengira tepung terigu itu monopoli dari Bogasari,” ujar Kepala Negara yang disambut tepuk tangan.
Presiden lalu menjelaskan panjang Iebar mengapa pengolahan tepung diberikan kepada Bogasari. PT Bogasari, menurut Presiden, dibangun tahun 1970-an.”Namanya Om Liem (Liem Sieo Liong – Red) itu kan pengusaha. Saya mengenal mulai di Semarang. Dia datang kepada saya. Dia ngomongnya kan cerat (cedal), tidak teteh (tidakjelas, Red),” kata Presiden. Kepala Negara lalu menirukan kata-kata Om Liem, “Pak,saya ini kan orang kerja. Mau kerja untuk rakyat. Apa yang harus saya lakukan?” Jadi, menurut Presiden, dia minta tugas. Dia mau kerja, tapi tidak tahu apa yang harus, dikerjakan. “Lantas. saya berikan petunjuk. Kamu jangan hanya dagang saja cari untung, tapi harus membangun Industri yang dibutuhkan rakyat. Apa misalnya? Pangan. Kita memang sudah memproduksi, tapi bahan pangan lainnya juga masih dibutuhkan. Kamu ada ternan lain untuk mendukung modal?” cerita Pak Harto. Lalu Oom Liem menjawab ada, “baik, kalau begitu kamu mendirikan tepung terigu. Karena pemerintah mempunyai terigu bantuan kredit dari AS untuk gandum. Tapi kamu hanya mengolah saja, yang mengendalikan tetap Bulog,”kata Pak Harto. Jadi, Ianjut Pak Harto, sejak dulu memang bukan Om Liem yang mendirikan. “Tapi dia sebagai tukang jahit saja,”kata Presiden, menegaskan. Menurut Presiden, Om Liem bisa membuktikan bahwa dia bisa menggunakan dukungan modal dari luar negeri untuk mendirikan industri pangan yang dibutuhkan rakyat. “Ini kan sudah mempakan salah satu keikutsertaan dia dalam pembangunan,”komentarnya. Presiden juga menerima kabar yang mempertanyakan, mengapa sekarang seolah olah kok hanya dia (Om Liem). saja yang diberi kesempatan. “Padahal, kepada yang lain pun juga diberi kesempatan untuk mendirikan hal yang sama,” ujar Presiden.
Soal Semen
Selain soal terigu, Presiden juga menjelaskan soal semen. Menurut Presiden, setelah industri pangan, maka yang perlu dibangun berikutnya adalah papan. ”Nah, untuk membangun papan ini penting dan diperlukan semen,”katanya. Dari sini, lalu Om Liem dan teman-temannya mendirikan pabrik semen. Secara kebetulan ,kata Presiden, waktu itu pemerintah sudah menerima investasi AS di Cibinong. Investor ini sanggup membangun pabrik semen dengan kapasitas duajuta ton per tahun.
Tapi pada permulaan, tambahnya, perusahaan ini sanggup membangun pabrik dengan kapasitas 500 ribu ton -dengan catatan kalau pabrik ini belum sampai 2 juta ton tidak boleh yang lain diizinkan membangun pabrik.
Presiden lalu memanggil grupnya Liem. “Kamu sanggup mendirikan pabrik semen?” tanya Pak Harto. “Sanggup,”jawab Om. Liem. Lalu pemerintah memberitahu investor AS agar segera melengkapi pabrik itu hingga dua juta ton semen. “Kalau tidak, lebih baik gagal saja. Lalu pabrik dari AS ini dijual kepada pengusaha nasional, dan mundur,” kata Presiden. “Inilah antara lain daripada proses yang sekarang banyak disoroti sebagai monopoli-monopoli,” tegas Pak Harto.
Menurut Kepala Negara ada tugas tertentu yang harus dilaksanakan oleh orang lain. “Ini bukan karena kolusi , sayadengan Liem. Tidak. Tapi untuk kepentingan negara dan bangsa. Dan saya harus menentukan kamu harus demikian,”kata Presiden, seraya tertawa Iebar. Om Liem mengatakan lagi, “Saya orang kerja. Mau kerja, apa yang hams saya lakukan .”Lalu saya beri petunjuk,” kata Pak Harto sambil tertawa lagi. Pada waktu itu tentunya juga menghadapi masalah. Setelah keadaan berkembang dengan baik, kebutuhan semen banyak, lalu muncul lagi kesulitan. “Karena kesulitan terjadi di bidang Industri strategis yang tidak kita miliki, ya harus kita amankan, “katanya. Waktu itu, meniru Presiden, untuk mengembalikan pinjaman investasi sebesar 350 juta dolar AS. Sebab, kalau tidak, industri semen itu akan hancur. Kalau ini terjadi, Indonesia akhirnya harus tergantung dari impor. “Semuanya menyalahkan seolah-olah ada kolusi. Padahal pertimbangannya industri dalam negeli harus mandiri,” kata Kepala Negara. “Sekarang nilai 350 juta dolar itu telah berkembang menjadi Rp 1,5 trilliun. Kalau kitajual ke bursa akan mudah, tapi buat apa,” tambah Kepala Negara seraya tertawa kembali. Pada kesempatan lain, Presiden juga mengatakan agar pabrik semen yang sudah ada tidak perlu terus memperluas sehingga akhirnya dicap monopoli. Presiden mencontohkan ada pengusaha yang mengajukan izin pembangunan pabrik semen yangjum lahnya mencapai 23 buah. Tetapi karena memang di luar kemampuannya, tak satu pun dilaksanakan. Sudah mereka memperoleh izin, lalu dibawa ke mana-mana mau dijual yang mau beli yang tidak mau, karena biayanya akan menjadi tinggi. Akibatnya masyarakat sudah butuh semen, pablik belum juga dibangun kebutuhannya sudah meningkat, produksinya masih tetap saja. Lalu klisis semen. Klisis semen itu karena kekurangan suplai, bukan karena monopoli, ujar Kepala Negara.
Setelah memberikan penjelasan panjang Iebar mengenai berbagai masalah ekonomi dan pembangunan Presiden mengajak para anggota KUKMI meninjau petemakan sapi potong, penggemukan sapi dan domba. Setelah peninjauan dilakukan tanya jawab. Seluruhan acara berlangsung selama tigajam mulal pukul 09.00 hingga 12.00.
Deklarasi Bali
Kemarin, Presiden juga menjelaskan soal Deklarasi Bali. Akhir Agustus lalu, setelah mengikuti penataran P4, sekitar 96 konglomerat Indonesia mempertegas komitmennya untuk membantu usaha menengah dan kecil. Komitmen inilah yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Bali. Menurut Kepala Negara, melalui deklarasi itu,para pengusaha besar itu terpanggil untuk mengatasi kemiskinan. “Saya sudah memelintahkan Meneg Kependudukan I Kepala BKKBN agar tawaran konglomerat ini dimanfaatkan,” kata Presiden. Deklarasi ini, ujar Presiden, agar diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan dari keluarga pra sejahtera menjadi sejahtera bagi rakyat di daerah non-IDT. Caranya, para pengusaha besar akan membantu untuk meminjamkan buku tabungannya sebagai agunan agar bank membelikan pinjaman kepada rakyat.
Yang penting sekarang ini, menurut Presiden, adalah bagaimana kemitrausahaan besar dengan usaha menengah dan kecil. “Sekarang kan selalu dihembus-hembuskan, yang diurus besar saja. Lha yang kecil itu kapan menjadi besar,” kata Presiden.
“Saya kira kalau pengusaha besar tabu, tidak akan demikian. Karena itu yang besar kita butuhkan dan menengah serta kecil juga dibutuhkan. Yang penting adalah meningkatkan kemitraan usaha dari yang besar, menengah dan kecil. Jangan lantas berhadap-hadapan atau konfrontasi. Maki-makian satu sama lain. Tapi timbulkan kemitraan,” imbau Kepala Negara yang disambut tepuk tangan meriah anggota KUKMI.
Menurut Kepala Negara, dalam sidang kabinet awal September lalu, telah dibahas tindak lanjut Deklarasi Bali. Diberikan araban, agar kemitraan bisa dilaksanakan untuk menghilangkan kekhawatiran bahwa yang besar akan besar terus. “Kasarnya, kok yang besar itu serakah. Cara ini supaya dihilangkan,”kata Kepala Negara. Sebenarnya masih ada usaha-usaha lain yang bisa dilakukan. Namun, masing masing hams mengetahui posisi dan kondisi masing-masing. “Jika ingin melaksanakan sesuatu di luar kemampuanya ya tidak bisa tercapai. Ukurlah kemampuan itu,” saran Pak Harto. Yang besar, lanjut Kepala Negara, harus memberikan kesempatan kepada yang menengah dan kecil.
Sumber: REPUBLIKA (25/09/1995)
_____________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 396-399.