PRESIDEN: KEMELARATAN BELUM SELURUHNYA KITA PERANGI

PRESIDEN: KEMELARATAN BELUM SELURUHNYA KITA PERANGI[1]

Surabaya, Suara Pembaruan

Presiden Soeharto mengatakan, meskipun masalah kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan belum seluruhnya kita perangi, namun rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan sudah berkurang.

Ketika mulai membangun, tercatat 60 persen yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan berdasarkan sensus tahun 1990, menurun menjadi 15 persen dari total penduduk 183 juta orang. Dengan demikian, kini 27 juta jiwa rakyat berada di bawah garis kemiskinan itu. Kepala Negara mengemukakan hal itu dalam temu wicara dengan para ulama, anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), para tenaga kesehatan dan paramedis serta DHD 45 Jawa Timur, selesai meresmikan Rumah Sakit Haji Surabaya dan Gedung Joang 45 di Surabaya, hari Sabtu (17/4).

Hal tersebut, merupakan suatu tantangan. Sebab itu, pertumbuhan harus terus dilakukan agar pemerataan dapat terlaksana. Dan sejak semula, yang diusahakan adalah pemerataan, khususnya pemerataan pelayanan kesehatan. Mudah-mudahan selama Pelita VI, masalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sudah bisa kita atasi dan selesaikan, kata Presiden.

Melalui Proyek Inpres, di wujudkan pemerataan pembangunan desa, kabupaten dan provinsi. Khusus di bidang kesehatan mula-mula tidak dibangun rumah sakit yang besar-besar, namun Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat-Red). Sejak Pelita pertama sampai sekarang, di tiap kecamatan yang berjumlah 3.600 lebih, sudah terdapat Puskesmas.

Ternyata, kini Puskesmas yang dibangun sudah mencapai 6.000 lebih, belum termasuk puskesmas keliling. Dari segi pemerataan, pembangunan itu ditujukan untuk masyarakat desa sehingga pelayanan kesehatan rakyat kita di desa, berjalan baik dan sekarang hanya meningkatkannya. Di sisi lain, Puskesmas tidak ada artinya tanpa tenaga dokter dan paramedis. Sebab itu, lulusan fakultas kedokteran wajib bertugas di Puskesmas dulu selama 2-3 tahun.

Tenaga Bidan

Menurut Presiden, pada waktu mendatang di setiap desa yang sekarang berjumlah 63.721, akan ditempatkan seorang tenaga bidan. Kini harus dididik 50.000 bidan untuk mencapai sasaran tersebut. Keberadaan bidan bukan untuk mematikan dukun, tapi para ibu dukun nantinya akan membantu bidan.

“Masalah tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat kota namun amat dirasakan masyarakat desa, sebab mereka berhubungan langsung,” ujar Presiden.

Meningkatkan kesejahteraan rakyat yang diutamakan di daerah-daerah, tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan yang mengu tamakan stabilitas nasional, pertumbuhan dan pemerataan. Ketiganya tidak bisa dipisahkan. Tanpa stabilitas nasional, tidak mungkin membangun. Kalau tidak ada pembangunan, maka tak ada pertumbuhan.

Dari segi usaha pemerataan untuk mengangkat taraf hidup masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan melewati program transmigrasi, Kepala Negara melihat transrnigrasi tidak diikuti para ulama atau para da’i. Karena itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerja sama dengan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, serta Yayasan Darmais yang dipimpin Pak Harto, untuk mendidik seribu da’i. Para da’i tersebut harus masuk daerah transmigrasi sehingga para transmigran tidak dibiarkan begitu saja. Yayasan tersebut memberikan honorarium untuk para da’i sebagai dukungan untuk selama tiga tahun.

Lebih jauh Presiden mengemukakan, kalau kita ingin mencapai sesuatu, sebenarnya kita tidak perlu merengek-rengek, tapi harus percaya diri. Masyarakat yang sudah berada di atas garis kemiskinan, seharusnya dapat memberi sedikit. Sebab, untuk membangun bisa saja dilakukan dengan cara urunan, seperti di Tanah Minang.

Waktu itu, menurut Kepala Negara, ia bertemu dengan para ibu di Tanah Minang yang minta dibelikan traktor, sementara suaminya merantau semua. Untuk membeli traktor itu, Presiden minta kepada para perantau untuk urunan. Kemudian muncul istilah “Gebu Minang” (Gerakan Seribu Minang), di mana setiap perantau memberi iuran Rp 1.000 per bulan.

Bila jumlah yang merantau seribu orang maka terkumpul Rp 1 juta per bulan. Hasilnya tidak hanya membeli traktor, apalagi setelah bertahun-tahun gerakan itu berlangsung, tiap kecamatan bisa mendirikan BPR (Bank Perkreditan Rakyat).

Ia memberi contoh, dalam Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang dipimpinnya, Pak Harto mengajak para pegawai negeri yang beragama Islam, untuk menyisihkah sedekah dari gajinya setiap bulan. Untuk golongan satu Rp 50, goIongan II Rp 100, goIongan tiga Rp 500 dan golongan IV termasuk Pak Harto Rp 1.000. Dan iuran itu tidak perlu dinaikkan karena masih banyak kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh pegawai bersangkutan. Ternyata, kata Presiden, bisa terkumpul jutaan rupiah setiap bulan, kemudian dikembalikan lagi untuk membangun mesjid dan sekarang tersebar 600 mesjid baru di seluruh Indonesia. Khusus untuk pembangunan empat rumah sakit haji, masing-masing di Surabaya, Medan, Ujung pandang dan Jakarta, diambil dari dana tersebut sebesar Rp 2 miliar di mana setiap rumah sakit memperolah bantuan Rp 500 juta. (060T-3)

Sumber : SUARAPEMBARUAN  (18/04/93)

______________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 872-874.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.