PRESIDEN MINTA DEPNAKER PECAHKAN MASALAH TENAGA KERJA INFORMAL

PRESIDEN MINTA DEPNAKER PECAHKAN MASALAH TENAGA KERJA INFORMAL[1]

 

Jakarta, Suara Karya

Presiden Soeharto minta Departemen Tenaga Kerja agar memecahkan masalah tenaga kerja informal seperti pemulung, kaki lima dan penjaja di jalanan. Mereka perlu diorganisir secara baik sehingga pendapatan rakyat kecil ini meningkat.

Masalah yang tampaknya kecil tapi cukup menarik ini, kata Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief seusai diterima Kepala Negara di kediaman Jalan Cendana, Jakarta, Kamis, begitu mendapat perhatian dari Presiden. Bahkan Presiden berpesan, seminggu sekali hasil kerajinan mereka perlu di tampung di suatu lokasi yang strategis. Dengan cara ini diharapkan akan memancing daya tarik tersendiri sehingga baik turis maupun masyarakat berniat membelinya.

Mengenai upaya untuk mengentaskan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, Latief mengatakan, Depnaker tengah menyusun gerakan-gerakan yang bersifat cepat, ekonomis dan memberikan keuntungan yang besar. Misalnya, dengan melibatkan dunia swasta dalam menggarap kekayaan laut. Nelayan perlu diajari bagaimana teknik dan prosesing ikan hasil tangkapan, bukan seperti sekarang nelayan tinggal menangkap ikan saja.

Untuk mempelajari masukan lebih lanjut, dalam kesempatan menghadiri Konferensi XIII Menaker Asia Pasifik di Jepang, Latief akan bertukar pikiran dengan Menaker Jepang mengenai sistem ketenagakerjaan di Jepang. Ia ingin melihat bagaimana menggerakkan hubungan antara nelayan dengan pemasaran dan pemrosesan.

TKI

Mengenai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Presiden meningkatkan agar mutunya makin ditingkatkan sehingga mereka yang dikirim ke luar negeri benar-benar merupakan tenaga berkualitas. Dengan demikian martabat bangsa te aga, di samping kita dapat berkonsentrasi pada keahlian yang kita miliki. Upaya peningkatan mutu TKI ini perlu dilakukan terutarna dengan makin melonjaknya jumlah TKI Hingga Pelita V, telah dikirim sekitar 480.000 TKI.

Untuk mengantisipasi hal itu, Depnaker akan segera melakukan kegiatan yang mendorong tumbuhnya usaha baru yang disebutkan sebagai “Jasa usaha tenaga kerja di Indonesia”. Selain itu pihaknya kini sedang menyusun program yang akan menjadikan TKI sebagai sumber devisa.

Latief mengatakan, masalah ketenagakerjaan, baik yang menyangkut rekrutrnen, pelatihan dan penempatan tenaga kerja belum digarap secara baik. Karena itulah ia akan mencari masukan dengan mengumpulkan organisasi-organisasi tenaga kerja misalnya MSA dan PPTKL

Mengundang Dubes

Latief mengatakan, Depnaker akan menyusun organisasi pengusahaan bersama di negara-negara pemakai tenaga kerja. Organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan TKI ini nanti antara lain akan mengurusi masalah administrasi TKI termasuk data, kapan mulai dan habis masa kerja mereka. Selain itu organisasi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan kesulitan yang dihadapi TKI termasuk penahanan paspor TKI. Dengan demikian diharapkan akan mewujudkan TKI yang bermutu sehingga posisi tawar menawar TKI kuat.

Sebagai langkah pertama, 7 Mei 1993 mendatang pihaknya akan melakukan market study dengan mengundang para Dubes RI di negara-negara yang ban yak terdapat TKI yaitu Arab, Singapura, Emirat Arab, Malaysia. Dari data para Dubes itu akan terlihat apa yang mereka butuhkan. Setelah itu akan dianalisa apa trendnya, apakah mereka membutuhkan tenaga perawat, teknik, koki, penjaga anak. Semua ini perlu pendidikan dan latihan sesuai dengan profesinya melalui manpower planning.

Menurut Latief, dewasa ini Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengirimkan tenaga keijanya ke luar negeri. Negara-negara seperti Filipina, Thailand dan RRC, India, Srilangka juga mengumumkan tenaga kerja.

Mengenai mutu TKI dibandingkan dengan tenaga kerja negara lain, pemerintah akan mendorong agar penghasilan TKI meningkat menjadi 500-700 dolar AS. Sekarang antara 120-200 dolar AS per bulan. Sedangkan untuk TKW, secara bertahap akan dikurangi dengan mengalihkan pada penambahan tenaga-tenaga formal setelah disepakati adanya kriteria yang jelas mengenai tenaga kerja informal dan formal.

Dalam kesempatan itu, juga dilaporkan bahwa terjadinya unjuk rasa dewasa ini di perusahaan-perusahaan  dikarenakan 80% pengusaha di Indonesia tidak melaksanakan hal-hal yang bersifat normatif. Untuk itu, pemerintah mangimbau agar para pengusaha memperlakukan buruh bukan sebagai beban melainkan sebagai aset. Sebagai aset perusahaan, kata Latief, mereka hendaknya diurus dan ditingkatkan produktivit asnya. (N-1)

Sumber: SUARAKARYA(l3/04/1993)

____________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 863-865.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.