PRESIDEN MINTA PARA PENGUMPUL BARANG BEKAS DIBERI KEMUDAHAN

PRESIDEN MINTA PARA PENGUMPUL BARANG BEKAS DIBERI KEMUDAHAN

 

 

Jakarta, Pelita

Presiden Soeharto, menyebut para pengumpul barang-barang bekas (pemulung) dari tumpukan sampah, sebagai laskar yang mandiri dan pantas mendapat penghargaan, karena perannya dalam perekonomian cukup besar.

Karena itu, kepada beberapa Menteri, Gubernur, dan para Walikota se Jakarta diinstruksikan untuk memberikan kemudahan-kemudahan, dan bimbingan yang baik, tidak sebaliknya menganggap mereka sebagai gelandangan.

Hal itu disampaikan Presiden kepada Menko Polkam, Soedomo, Menko Kesra, Soepardjo Rustam, Menteri/Ketua Bappenas, Saleh Afiff mewakili Menko Ekuin yang kebetulan berada di luar kota, Gubernur KDKI, Wijogo Atmodarminto, dan lima Walikota di DKI yang diminta datang ke Bina Graha hari Senin. Presiden dalam kesempatan, pertemuan itu didampingi oleh Mensesneg, Moerdiono dan Sasdalopbang, Solichin GP.

Mensesneg, Moerdiono yang memberi, keterangan pers mengenai berbagai petunjuk Presiden menyangkut para pemulung itu, menyebutkan, masalah yang dibicarakan sebagai soal penting, karena dikaitkan dengan segera dimasukinya Repelita V yang merupakan tahapan pembangunan lima tahun terakhir sebelum tinggal landas pembangunan.

 

Potensi Pemulung

Presiden Soeharto secara khusus mencatat berbagai data dalam beberapa lembar kertas yang ditulisnya sendiri, dan kemudian diberikan kepada Moerdiono sebagai bahan untuk keterangan pers. Menurut Moerdiono catatan yang ditulis tangan Presiden itu diambil dari hasil penelitian beberapa mahasiswa di salah satu perguruan tinggi dengan bimbingan seorang sosiolog.

Beberapa di antara mahasiswa itu, bahkan sudah berhasil menyelesaikan studi kerjasamanya dengan menggunakan hasil penelitian mengenai para pengumpul barang-barang bekas di Jakarta dan sekiranya.

Menurut Presiden, para pemulung itu tidak saja telah berhasil meningkatkan tarap hidup keluarganya, dan juga membantu soal kebersihan, tetapi juga telah memberi manfaat kepada pihak lain termasuk kepada perekonomian nasional.

Presiden mencatat dari hasil penelitian itu, bahwa di Jakarta tiap penduduk membuang sampah rata-rata satu kilogram setiap hari. Di tingkat nasional, angka ini adalah 0,6 kg per orang per hari.

Dengan demikian, di Jakarta yang berpenduduk sekitar 8 juta orang, terbuang sampah rata-rata 8.000 ton sehari. Di antara jumlah sampah itu, 25 persen atau 2.000 ton di antaranya merupakan sampah yang dapat didaur ulang. Dari sampah yang dapat didaurulang itu, 75 persen atau sekitar 1.500 ton memiliki nilai ekonomis.

Dalam satu tahun, sampah Jakarta yang memiliki nilai ekonomis jadinya 500.000 ton. Dengan nilai Rp 175 perkilogram, berarti limbah bernilai ekonomis itu berharga Rp 87,5 miliar setahun. Ditambah limbah pasar, perkantoran dan industri, maka yang bernilai ekonomis mencapai rata-rata Rp 100 miliar setahun.

Presiden memberi arti terhadap nilai yang Rp 100 miliar setahun itu, baik dari segi penyediaan bahan baku dengan turut membantu kelancaran industri maupun dari segi penghematan devisa, karena bahan baku itu sebagian tidak perlu diimpor.

Lebih dari itu, para pemulung berikut pihak-pihak yang berperan hingga limbah ekonomis itu sampai keperusahaan-perusahaan industri, dinilai sudah menciptakan lapangan kerja dengan prakarsa sendiri.

“Para pemulung itu telah memberi jawaban terhadap tantangan masa depan kita, yaitu upaya perluasan kesempatan kerja,” kata Presiden seperti dikutip Moerdiono.

Setiap hari, tiap pemulung di Jakarta yang jumlahnya sekitar 30.000 orang itu, rata-rata berpenghasilan 3.000-4.000 rupiah.

“Bila dihitung dalam satu bulan, penghasilan mereka bisa lebih tinggi dari rata-rata pegawai negeri,” kata Presiden lagi.

Hasil penelitian juga menyebutkan, para pemulung yang berasal dari luar Jakarta itu rata-rata mampu mengirimkan uang 35.000 rupiah sebulan kepada keluarganya di kampung. Jumlah ini cukup besar dan mampu menggiatkan ekonomi pedesaan, karena uang itu digunakan sebagai modal usaha.

Presiden yang setiap hari pulang pergi antara rumah kediaman di Jalan Cendana dan Istana atau Bina Graha, mengaku memperhatikan para pemulung yang selalu membawa keranjang itu serta yakin bahwa mereka mempunyai rasa percaya diri. “Kelihatannya, para pemulung itu kotor, tetapi kekuatan ekonomi yang diembannya cukup potensial,” kata Moerdiono.

Untuk itu, Presiden memberi petunjuk kepada Gubernur dan lima Walikota se Jakarta yang hadir, untuk menjadikan Jakarta sebagai pilot proyek pemberian kemudahan dan pembinaan para pemulung.

 

 

Sumber : PELITA(25/10/1988)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku X (1988), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 670-671.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.