PRESIDEN PADA PERESMIAN PELABUHAN KRUENG RAYA [1]
Jakarta, Antara
Presiden Soeharto menilai peresmian Pelabuhan Krueng Raya di Banda Aceh mempunyai arti penting baik bagi daerah dan masyarakat Aceh maupun bagi seluruh bangsa Indonesia.
Ketika meresmikan pelabuhan tersebut Senin sore, Kepala Negara mengemukakan, bahwa dengan pelabuhan baru ini akan makin lancarlah hubungan daerah Aceh dengan daerah lainnya di Indonesia.
“Ini berarti makin besar pula kesempatan untuk lebih mengembangkan ekonomi daerah Aceh yang kaya raya serta pemanfaatannya bagi pembangunan ekonomi nasional.”
Presiden menegaskan, dari Daerah Istimewa Aceh, yang terletak di ujung barat daya wilayah Nusantara, pelabuhan baru Krueng Raya ini pasti mempunyai fungsi yang sangat penting.
“Saya mengharapkan agar pelabuhan ini dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi rakyat daerah ini dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat yang adil dan merata.”
Menurut Presiden, dengan adanya pelabuhan Krueng Raya ini berarti terbukanya kesempatan bagi daerah Aceh untuk maju lebih cepat lagi. Namun sebaliknya juga dituntut tanggungjawab untuk memeliharanya sebaik-baiknya.
Kepala Negara dalam kesempatan itu menamakan pelabuhan yang baru diresmikannya dengan nama Pelabuhan Malahayati, menghormati seorang pahlawan wanita yang sebagai laksamana laut. Malahayati telah gugur di medan laga dalam menentang kekuatan asing Portugis di abad ke-15.
Bagian Sangat Penting
“Sebagai negara kepulauan dan bangsa pelaut, pelabuhan sejak zaman dulu kala merupakan bagian yang sangat penting bagi kehidupan kita. Bukan saja menjadi pintu gerbang yang menampung arus lalulintas barang dan orang, akan tetapi juga menjadi tempat perantara untuk tumbuhnya perdagangan dan kebudayaan dalam daerah dan masyarakat yang bersangkutan”.
Presiden menegaskan, bahwa sarana perhubungan laut tetap memegang peranan penting dalam kehidupan bangsa2 dan ekonomi dunia, sekalipun dalam zaman modern sekarang ini teknologi telah menemukan cara pengangkutan baru yang lebih cepat, yaitu melalui udara.
Sebagai contoh ia mengemukakan betapa sibuknya pelabuhan2 di Indonesia menampung kapal2 yang berlabuh, membongkar dan memuat manusia dan barang. Bahkan di beberapa pelabuhan tidak jarang terjadi kemacetan akibat kepadatan lalulintas kapal yang tidak tertampung oleh fasilitas pelabuhan yang ada. Ini disebabkan karena pengangkutan laut tetap merupakan sarana angkutan yang relatif murah dan aman untuk mengangkut barang dan orang dalam jumlah yang besar.
Oleh karena itulah dalam Repelita pertama dan kedua, rehabilitasi dan pembangunan pelabuhan, dalam rangka pembangunan sektor perhubungan laut, mendapat prioritas yang tinggi. Selain perbaikan sarana2 dan fasilitas2 dari pelabuhan2 yang ada untuk memperluas kapasitas dan meningkatkan efisiensinya, juga telah dibuka banyak pelabuhan2 baru, terutama di daerah yang terpencil dan di daerah penghasil produksi kekayaan alam Indonesia.
“Hasilnya telah dapat kita rasakan bersama.-berupa kelancaran arus barang yang terus meningkat, sehingga persediaan dan stabilitas harga barang2 dapat dipelihara. Hasil yang tidak kalah pentingnya adalah telah terjadinya hubungan yang teratur dan lancar antara daerah2 yang terpencil dengan sistim pelayaran Perintis.”
Presiden mengatakan, dengan terjalinnya hubungan yang lancar antara satu daerah dengan daerah lainnya, tidak saja mendorong kelancaran roda perekonomian dan pembangunan, tetapi juga memajukan daerah2 yang terpencil agar mereka juga dapat turut menikmati hasil2 pembangunan.
“Kita menghendaki agar kegiatan pembangunan dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia, dan hasilnya juga dinikmati oleh seluruh rakyat secara adil dan merata. Lebih dari itu, terjalinnya hubungan yang lancar dari seluruh pelosok lanah air ini akan dapat memantapkan pembinaan Wawasan Nusantara, suatu kesatuan wilayah darat, laut dan udara sebagai kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan”, demikian Presiden. (DTS)
Sumber : ANTARA (04/04/1977)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 562-564.