PRESIDEN REJIM PRETORIA TAK HIRAUKAN PBB
Presiden Soeharto mengemukakan, rejim Pretoria di Afrika Selatan sampai kini tidak menghiraukan seruan masyarakat Internasional agar menghapuskan sistem perbedaan warna kulit, malah justeru menentang keinginan masyarakat Internasional dan menolak prakarsa PBB.
Dalam sambutan memperingati hari internasional mengenai penghapusan diskriminasi rasial 21 Maret 1987, Presiden Soeharto Senin mengatakan, krisis gawat yang terjadi di Afrika Selatan tidak memberikan peluang bagi dilaksanakannya penerapan tindakan internasional.
Tindakan internasional perlu guna melemahkan ancaman yang sangat berbahaya terhadap keamanan dan perdamaian internasional, serta regional yang diakibatkan sikap menghasut Pretoria yang tidak mau mundur itu.
Indonesia, menurut Presiden Soeharto, sejak semula berkeyakinan bahwa tidak ada yang dapat dilakukan lagi selain sanksi menyeluruh dan wajib yang dapat memaksa Afrika Selatan bersikap lunak.
Menurut Presiden, hanya melalui tindakan-tindakan konkrit dan langkah-langkah terpadu yang diambil oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, dapat mengakhiri pertentangan di negara yang hancur karena perpecahan itu.
Pengucilan total terhadap politik pembedaan warna kulit di Afrika Selatan, katanya, harus tetap menjadi tujuan bangsa Indonesia.
Pemerintah dan rakyat Indonesia, kata Presiden, menggunakan kesempatan pada upacara hari peringatan penghapusan diskriminasi itu untuk menegaskan kembali dukungan tegas, dan mantap bagi perjuangan sah rakyat Afrika Selatan untuk menghapuskan secara menyeluruh politik apartheid dan untuk menegakkan keadilan, serta persamaan hak masyarakat yang non-rasial di dalam negara mereka.
Menurut Presiden, tanggal 21 Maret 1987, secara tradisional sudah diterapkan sebagai hari peringatan bagi negara-negara anggota PBB untuk mengenang kembali dan menyatakan penghargaan kepada syuhada-syuhada korban pembunuhan massal di Sharpen ville, Afrika Selatan dan memperbarui tekad perjuangan mereka yang mewakili perjuangan umat manusia bagi penghapusan politik pembedaan warna kulit (apartheid) secara menyeluruh.
Mengenang kembali peristiwa Sharpenville, menurut Presiden, menambah kepiluan, karena tindakan dan perlakuan menekan dan kejam yang telah menimbulkan protes-protes secara damai pada tahun 1960 yang kemudian dijawab dengan keji oleh rejim Pretoria itu kini semakin meluas dalam skala dan intensitasnya, hingga pada taraf yang tak tertahankan lagi.
“Kita telah menyaksikan lagi suatu tahun yang penuh dengan intimidasi dan kekerasan rasial di Afrika Selatan,” kata Presiden.
Oleh karena itu, tambahnya, kelompok mayoritas hitam yang tertindas menentang kezaliman pembedaan warna kulit dan jawaban kejam rejim rasial dengan cara penekanan-penekanan dan teror yang tidak memandang bulu tak dapat lagi menghindarkan polarisasi yang menjadi bertambah parah.
“Sesungguhnyalah, keadaan di negara itu dapat digambarkan dalam suasana berada di pinggir jurang perang saudara yang terbuka, sehingga tidak diragukan lagi tanggung jawab atas keadaan yang sarat dengan ledakan di Afrika Selatan terletak seluruhnya pada rejim rasial Pretoria,” kata Presiden Soeharto. (RA)
…
Jakarta, Antara
Sumber : ANTARA (23/03/1987)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 87-88.