PRESIDEN: RI BANTU PEMECAHAN MASALAH UTANG NEGARA MISKIN

PRESIDEN: RI BANTU PEMECAHAN MASALAH UTANG NEGARA MISKIN[1]

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto meminta beberapa ahli ekonomi terkemuka yang berpengalaman mengelola perekonomian nasional untuk membantu memecahkan masalah utang luar negeri berbagai negara berkembang.

“Namun Indonesia sama sekali tidak bermaksud minta menjadwalkan kembali pembayaran utang luar negerinya ,”kata Mensesneg Moerdiono kepada pers di Bina Graha Senin (6/9), setelah Presiden mengundang beberapa ekonom terkemuka.

Para ahli ekonomi yang bertemu dengan Presiden antara lain adalah Ali Wardhana, Suhadi Mangkusawondo, Widjojo Nitisastro, Rachmat Saleh, Sadli, serta Emil Salim. Acara ini dihadiri pula Menko Ekku Wasbang Saleh Afiff, Menkeu Mar’ie Muhammad, Menlu Ali Alatas, serta Moerdiono. Moerdiono mengatakan, para ahli ekonomi itu diundang karena mereka berhasil membantu Presiden Soeharto mengelola ekonomi nasional terutama pada awal Orde Baru.

”Tidak tertutup kemungkinan mereka mengunjungi negara-negara miskin itu,”kata Moerdiono. Ia mengatakan, sekarang terdapat 47 negara berkembang yang mengalami kesulitan membayar utangnya dan 18 di antaranya berada pada kondisi yang amat parah.

Langkah Presiden Soeharto selaku Ketua Gerakan Nonblok membantu negara berkembang memecahkan utang luar negerinya dilakukan karena terdapat kecenderungan negara maju acuh tak acuh terhadap masalah ini.

Presiden AS Bill Clinton ketika bertemu dengan Presiden Soeharto di Tokyo, baru-baru ini mengatakan pihaknya akan menghapuskan utang sejumlah negara sangat miskin antara lain di Afrika.

“Momentum seperti ini harus terus kita pelihara,” kata Moerdiono. Ia menyebutkan, dalam masalah utang luar negeri ini negara-negara berkembang dapat dibagi dalam tiga kelompok.

Kelompok pertama, negara berkembang yang mampu mengelola pinjamannya dengan baik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang mantap. Kelompok kedua, negara yang utangnya banyak, namun masih bisa berkembang walau lamban.

Sementara itu, kelompok ketiga menyangkut negara-negara yang praktis sama sekali tidak bisa membangun sehingga tak mungkin mengembalikan pinjamannya. Moerdiono mengatakan, untuk menyelesaikan masalah utang luar negari terutama negara yang sangat miskin, diperlukan suasana yang baik agar, mereka bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang maksimal.

Ketua Kadin

Presiden menegaskan, pemerintah tidak akan mencampuri Munas Kadin bulan Desember mendatang, terutama mengenai pemilihan ketua umumnya karena para anggota Kadin sudah dianggap dewasa.

“Presiden mengatakan pemerintah tidak akan turut campur dan semuanya terserah kepada peserta munas,”kata Ketua Dewan Pembina Kadin Sukamdani S. Gitasardjono kepada pers setelah menemui Kepala Negara di Bina Graha, Senin.

Dijelaskan, kepada Kepala Negara telah diserahkan beberapa nama yang pantas untuk memimpin organisasi yang mewakili unsur swasta, pemerintah dan koperasi, namun ia menolak menyebutkan nama-nama itu.

Ketika mengomentari nama-nama tersebut, kata Sukamdani, Kepala Negara hanya mengingatkan bahwa yang penting adalah mereka itu memenuhi kriteria sebagai pemimpin Kadin.

“Apakah Bapak bersedia dipilih ?” tanya wartawan kepada Sukamdani yang kemudian secara diplomatis menjawab, “Sebagai Ketua Dewan Pembina, saya kan sekarang lebih tinggi daripada Ketua Umum Kadin.” Setelah mendengar nama beberapa pengusaha terkenal yang disebutkan wartawan sebagai kandidat Ketua Umum Kadin, sambil tertawa Sukamdani berkata, “ltu kan versi saudara.”

Dikat akan pula, dalam pertemuan dengan Kepala Negara juga dibahas tertinggalnya koperasi sebagai salah satu soko guru ekonomi nasional dibanding usaha swasta dan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah (BUMN/ BUMD).

Menurut Kepala Negara, BUMN dan pengusaha swasta ikut bertanggungjawab terhadap upaya mengurangi kesenjangan atau ketimpangan antar mereka dengan koperasi

Jangan Paksakan Diri

Menteri Kehutanan Djamaloedin Soerjobadikoesoemo yang juga melapor kepada Presiden pada hari yang sama mengatakan, Kepala Negara minta para pengusaha tidak melaksanakan membangun pabrik pulp yang besar bila memang tidak mampu dan juga kalau kondisi hutannya tidak memungkinkan.

Menurut Menhut, ia melaporkan kepada Presiden tentang pabrik di Jambi dan Riau. Dikatakan, kedua perusahaan itu masing-masing membuat target menghasilkan satu juta ton pulp/tahun, padahal mereka baru menanam pada areal seluas 400 ha dan 5.580 ha.

Ia menyebutkan, sekalipun baru membuka areal yang kecil sekali, pemilik pabrik­ pabrik itu telah mendirikan pabrik. Ketika  ditanya wartawan apakah mungkin mereka membuat target yang tinggi agar diberi areal hutan yang besar, ia mengemukakan pembuatan target itu terjadi karena kesalahan membuat studi kelayakan.

Kondisi hutan di kedua propinsi itu tidak memungkinkan untuk mendirikan areal penanaman yang luas sekali, kata Menhut. Ia juga  melaporkan  kepada Kepala Negara tentang pembangunan kawasan hutan tanaman industri (HTI) pada Repelita V yang tidak akan mencapai target. Selama lima tahun ini, semula ditargetkan pembangunan areal 1,5 juta ha, namun sampai Repelita V diperkirakan realisasinya hanya akan mencapai 900.000 ha. Tapi karena target itu tidak akan tercapai maka pihaknya menyeleksi secara ketat perusahaan yang telah menyatakan minat membangun HTI. Pihaknya telah merierima permintaan dari 44 perusahaan. Namun hanya 13 perusahaan yang diperkirakan mampu membangun HTI dengan luas 2,6 juta ha. Kepada Kepala Negara juga dilaporkan pengumpulan Dana Reboisasi (DR) yang telah mencapai Rp 1,8 trilyun. Dana ini disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito serta giro. (*)                                            ·

Sumber: KOMPAS (07/9/1993)

___________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 587-590

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.