PRESIDEN SOEHARTO: APRESIASI YEN TERHADAP DOLAR, PEMBAYARAN HUTANG MENINGKAT

PRESIDEN SOEHARTO: APRESIASI YEN TERHADAP DOLAR, PEMBAYARAN HUTANG MENINGKAT

 

 

Jakarta, Antara

Akibat apresiasi yen terhadap dolar AS maka kewajiban Indonesia membayar hutang luar negerinya dalam tahun 1989/90 meningkat dari 5,2 miliar dolar AS menjadi 7,1 miliar dolar, kata Presiden Soeharto.

Dalam penjelasan kepada wartawan di dalam pesawat DC-10 Garuda Minggu malam, dalam penerbangan pulang ke Jakarta dari Tokyo, Presiden menyebut perubahan nilai mata uang utama dunia merupakan salah satu hal yang tidak bisa diatasi oleh Indonesia sendiri.

Perubahan nilai itu mengakibatkan beban pembayaran hutang bagi Indonesia bertambah besar, tidak hanya satu tahun tapi juga berlaku selama lima tahun sampai pada Pelita V. Diperkirakan baru pada akhir Repelita VI perubahan-perubahan nilai itu akan menurun.

“Bila tidak ada kenaikan nilai beberapa mata uang asing terhadap dolar kewajiban kita membayar hutang untuk tahun 1989/90 hanya 5,2 miliar dolar AS, tapi dengan adanya apresiasi maka menjadi 7,1 miliar dolar,” demikian Presiden.

Jadi akibat apresiasi ada penambahan 1,9 miliar dolar AS yang kalau dihitung dengan kurs sekarang jumlahnya menjadi kurang lebih Rp3,3 triliun lebih. Artinya, pendapatan rupiah setelah diambil untuk biaya rutin, yang seharusnya merupakan Tabungan Pemerintah untuk membiayai pembangunan, terpaksa harus dipakai untuk menomboki akibat apresiasi tersebut. “Dengan sendirinya kita tidak mempunyai kemampuan menyediakan rupiah untuk melanjutkan pembangunan,” katanya.

Karena Indonesia bertekad tidak akan melakukan penjadwalan kembali hutang luar negerinya walaupun ada apresisasi, maka setiap tahun Indonesia akan tetap membayar cicilan hutangnya.

“Oleh karena itu hendaknya negara donor, termasuk Bank Dunia dan IMF hendaknya turut memikirkan,” ujar Kepala Negara.

Ia menjelaskan lebih jauh, kalau sampai tidak ada sumber untuk mengganti rupiah yang disedot untuk menomboki akibat apresiasi, maka bisa berarti juga Indonesia tidak bisa melanjutkan pembangunan.

“Kalau Indonesia tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk melanjutkan kewajibannya membayar pinjaman, jelas hal itu tidak hanya kesalahan Indonesia, tapi juga termasuk kesalahan negara-negara yang tidak mau mengerti,” demikian Presiden Soeharto. Namun Presiden menyatakan syukur karena secara spontan dan positif berbagai pihak telah bersedia membantu Indonesia, baik Bank Dunia, IMF, Jepang, Jerman dan Australia. “Mereka membenarkan langkah Indonesia,” ujarnya.

Menurut Presiden, kini kewajiban Bank Dunia dan IMF mendesak negara­negara IGGI untuk membantu Indonesia dengan pinjaman lunak yang waktunya 25-30 tahun dan bunganya rendah serta bisa dirupiahkan.

Masalah lain yang Presiden kemukakan adalah bantuan hutang dan bantuan proyek. Bantuan proyek itu 85 persen yang diperoleh dari negara donor, sedang 15 persen lagi harus disediakan sendiri dari dana rupiah. Dengan adanya penarikan rupiah untuk menutup akibat apresiasi dengan sendirinya Indonesia tidak mampu menyediakan yang 15 persen. Oleh karena itu setiap bantuan proyek harus dilengkapi sekaligus dana untuk yang 15 persen sehingga proyek bisa berjalan sebagai mana mestinya, demikian pendapat Presiden.

Negara Jepang sendiri sudah mengetahui dan akan memprogramkan bantuan baik dalam rangka IGGI maupun dalam rangka bilateral untuk memenuhi kebu tuhan Indonesia.

 

 

Sumber : ANTARA(27/02/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 390-392.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.