PRESIDEN SOEHARTO BERUSAHA MEMAHAMI LATAR BELAKANG, PRIBADI DAN ASPIRASINYA [1]
Jakarta, Kompas
“DEMIALLAH, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik2nya dan seadil2nya, memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus2nya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Dengan mengucapkan sumpah jabatan itu, Jendral Soeharto, 52 th, utk kedua kalinya mulai memangku jabatan Presiden Republik Indonesia.
Anak seorang petani ulu2 (pembagi air) dari desa “klutuk” Kemusu, Godean, 10 km sebelah barat Yogya, yang masa kecilnya menjadi penggembala kambing dan kerbau, terpilih untuk kedua kalinya menduduki jabatan tertinggi negerinya membapaki rakyat sebesar 119 juta.
Sebagai mandataris MPR, Presiden RI adalah orang paling berkuasa dinegerinya. Kekuasaan Presiden Soeharto ditambah lagi dengan kewenangan luar biasa, yang diberikan MPR sebagai kelanjutan Tap MPRS No IX.
Salah satu pertanyaan yang mendesak ialah bagaimana si Jendral Soeharto mengemban kekuasaan begitu besar yang dilimpahkan kepadanya. Barangkali filsafatnya tentang kekuasaan bisa ditarik ungkapan2 Jawa yang ia gunakan seperti “Ojo dumeh”, “Ojo kagetan”. Artinya jangan mentang2, jangan terkejut”. Ungkapan itu dihubungkan dengan kekuasaan, memberi arti luas lagi dalam, yang didalamnya petunjuk dan sikap, mentang2 memegang kekuasaan, lantas mempergunakannya.
Dihadapkan pada kekuasaan begitu besar, jangan lantas terkejut kehilangan pegangan dan proporsi. Sebaliknya, tetap serba bertanggungjawab, menurut takarannya (samurwat). Apakah bisa disimpulkan sikap dan konsepsinya tentang kekuasaan adalah kekuasaan yang bertanggungjawab?
DITRAPKAN dengan bahasa konstitusioil, bisa dikatakan, faham kekuasaannya bukanlah subyektif, melainkan obyektif. lni kita simpulkan dari penegasannya berulangkali didepan lembaga2 perwakilan termasuk lembaga pemegang Kedaulatan Rakyat yaitu sidang umum MPR, bahwa kekuasaan itu harus dikontrol dan bahwa ia berterimakasih kepada kritik.
Kekuasaan yang membukakan diri untuk kontrol dan kritik adalah kekuasaan yang terbagi. Konsepsi kekuasaan demokratis seperti misalnya dalam perangkat Konstitusi ’45 adalah kekuasaan yang terbagi. Terbagi antara eksekutif, legislatif, judikatif. Terbagi antara yang melaksanakan kekuasaan dan lembaga2 yang mengawasinya. Kekuasaan dalam konsepsi kebudayaan Jawa feodal adalah kekuasaan tunggal, tidak terbagi karena itu tidak bertenggangrasa terhadap kritik. Sebab menurut konsepsi itu, kritik adalah usaha membagi kekuasaan dan dengan itu mengurangi kekuasaan.
Menurut konsepsi kekuasaan feodal, ukuran baik buruknya kekuasaan adalah kemauan baik, subyektivisme. Sedangkan dalam konsepsi kekuasaan demokratis, disamping kemauan baik yang bersifat subyektif, penilaian juga dilakukan oleh orang lain, oleh masyarakat.
Dalam lembaga masyarakat desa, menurut tokoh2 demokrat seperti Dr. Mohamad Hatta, demokrasi hidup. Sampai berusia 19 tahun, Soeharto hidup didesa. Bergantian antara desa Kemusu, daerah Yogya dan Wuryantoro, daerah Solo.
Apakah secara sadar, perikehidupan desa dibidang tata kekuasaan ini juga mempengaruhi sikap dasar Soeharto? lni bukan konstatasi positif, baru sekedar pertanyaan !
LEBIH jelas lagi adalah sikapnya bahwa kekuasaan itu baginya terikat pada pembangunan. Komitmennya pada pembangunan sejak periode pertama dari kepresidenannya semakin mantab. Memang benar, ini bukan prestasinya sendiri. Ada koinsidensi yang menguntungkan.
Para pemikir dikalangan TNI menganalisa tragedi pemberontakan G 30 S/PKI tidak hanya secara militer, juga secara kemasyarakatan. Maka orang sampai pada kesimpulan, kecuali dengan tindakan fisik, bahaya komunis hanya bisa dijauhkan dengan kemakmuran yang terbagi adil.
Pembangunan adalah kunei kernakrnuran. Lagipula, soal kernakrnuran dan keadilan ini, dalam bayangan tragedi itu juga menjadi amat jelas, bahwa sesungguhnya itu tujuan kemerdekaan nasional. ltu terungkap dalam Pernbukaan UUD.
Koinsidensi lain ialah bahwa pada saat yang rnenentukan itu, terdapat pula sejumlah ahli ekonomi yang mempunyai pandangan serupa dan terbuka untuk menyediakan keahlian serta pengabdiannya.
Karena masalah kemakmuran dan keadilan menyentuh aspirasi paling peka dari orang banyak, serentak bangkit resonansi dari masyarakat. Bahkan lewat gerakan Tritura misalnya, suara itu lebih dulu lahir dari masyarakat sendiri.
Tentang kepemimpinan ada berbagai segi. Salah satu teori bilang, pemimpin itu tumbuh karena ia berhasil merumuskan apa yang dihayati oleh masyarakatnya pada suatu periode. la menangkap pertanda jaman.
Sekalipun komitmen Soeharto pada pembangunan diperkuat oleh koinsidensi dari faktor2 yang bersamaan dan menunjang, tak berlebihan jika dikatakan.
Kesimpulan kita tentang konsepsi Soeharto mengenai kekuasaan ialah bahwa konsepsinya adalah demokratis. Ada jarninan bahwa sikap itu akan dipertahankannya yaitu diikatkannya kekuasaan itu pada pembangunan masyarakat Pancasila dan sikap dasarnya yang membuka diri untuk kontrol dan kritik.
Tetapi, juga pemimpin tidak terlepas dari ikatan lingkungan dan pengaruhnya. Bung Karno memang lain: almarhum ekstrover, bergelora, tinggi daya khayalnya, menggemari serta gemerlapan.
Namun bahwa akhirnya almarhum lupa daratan, sehingga tumbuh kultus individu, sebagian adalah tanggungjawab kita. Tanggungjawab masyarakat politik yang menyubur iklim bagi tumbuhnya capai kekuasaan yang sangat subyektif.
Tanggungjawab lingkungan beserta pembantunya yang memberikan interpretasi tidak jujur bahwa kritik2 itu dibiarkan untuk mendiskreditkan kekuasaan dan kepemimpinannya.
Bangsa yang sedang membangun, bangsa yang masih dalam proses memantabkan figur bapak dalam konsepsi kekuasaan dan kehidupannya dalam masyarakat. Asalkan juga diterangkan dengan kekuasaan “tokoh bapak” itu terbentuk untuk masyarakat kita, tapi juga oleh unsur2 feodal.
Apabila kita meninjau kepresidennya yang ini kita ketahui bahwa itu untuk kontrol, kritik koreksi ada. Namun berkenaan dengan itu kita juga saksikan terjadi beberapa kali konflik, setidak2nya faham rnengenai pelaksana kontrol dan kritik.
Sebagai sebab bisa dikemukakan dalam persoalan ini, sementaranya kita kemukakan disini, yang terkena kritik dasarnya berkata : silahkan kritik tetapi caranya yg baik.
Ketetapan disini ternyata hanya menyangkut etika basa basi, melainkan Islam menyentuh masa latar belakang kebudayaan adakalanya latar belakang kebudayaan yang dikritik yang mengkritik bemarna Dr. De Volder, seorang ahli komunikasi pada Universitas leuven dalam buku sosiologinya tentang pers (sologle Der Zeitung) menyinggung juga masalah ini bicara tentang “genre” tentang gaya, bahasa dan eks yang berbeda2 pada suratkabar2 dari berbagai negara dan perbedaan itu ada pada refleksi pancawama latar belakang kebudayaan.
Kata terutama ungkapan, merniliki reputasi sosial dan kulturil. Kritik adalah salah satu bentuk komunikasi oleh Dr. Schramm misalnya dikatakan kemajuan pokok komunikasi telah menyarnpaikan pesan. Maka komunikasi itu baru dinilai ber-hasil apabila pesan yang disampaikannya diterima dengan jelas oleh sialamat.
Agar pesan lewat komunikasi itu sampai dengan jelas pada si alamat antara si penerima diperlukan adanya daerah pengalaman yang sama dengan kata sehari2 diperlukan bahwa yang sarna perlu memperhatikan latar belakang dan kerangka fikiran (frame of reference) sialamat.
Maka benar jika dalarn menyampaikan kritik dan koreksi2 unsur2 latar belakang kebudayaan dan kerangka fikiran dan emosi, perlu diperhatikan itu melekat pada sistim komunikasi yang hendak beketja efektif seperti misalnya ternyata dari teori Wilbur Schramm.
Komunikasi itu suatu dialoog. Proses yang terjadi adalah proses timbal balik. Terutama dalarn hubungan pimpinan dan masyarakat maka jelas bahwa pimpinan pun berkewajiban memperhatikan unsur2 kebudayaan dan kelompok masyarakat.
Lagipula konsepsi kita tentang kebudayaan bukanlah statis dan tradisionil semata2 justru dinamis, pemburuan. Dinamik dari unsur2 pembaruan kebudayaan ini nisaya tercermin juga dalarn pemyataan2 komunikasi. Apa yang dalam sistim nilai kebudayaan tradisionil, dinilai cocok dalam proses pembaruan kebudayaan itu, bisa dianggap usang dan jika generasi muda misalnya lebih cepat tanggapannya terhadap dinamik pembaruan kultur itu hal terpuji sekalipun ada risiko2nya yang inheren.
Ambillah misalnya pendekatan rasionil dan pragmatis dalam ekonomi. Niscaya pendekatan itu mempunyai pengaruh pada cara orang mengungkapkan fikirannya, merumuskan gagasannya pilihan kata2 pada gaya dan bahasa.
Jika dikatakan bentuk kontrol dan kritik sebaiknya memperhatikan latar belakang kebudayaan maka itu juga berarti dalam menanggapi kontrol dan kritik perlu juga disadari adanya kebudayaan kita tetjadi proses perobahan tata nilai yang terungkap dalam bentuk gaya, bahasa, pilihan kata2.
Sebab seperti dikatakan oleh filsuf pendidikan Deway: kebudayaan itu berkembangnya justru dalam proses komunikasi.
SALAH SATU ciri yang setiap kali berulang kembali dalam sejanih adalah faktor koinsidensi seperti kita sebutkan diatas. Bertemunya secara kebetulan berbagai faktor itu berulang kali menimbulkan peristiwa2 penting dalam sejarah. Orang beriman bisa juga menyebutnya “penyelewengan ilahi” Godsvoorzienigheid.
Soeharto lahir sebagai anak petani kecuali belajar sekolah Angka Lora yang disediakan untuk anak2 desa bukan orang berpangkat, sejak kecil ia menggembala kambing dan kerbau sampai berusia 19 tahun ia hidup didesa. Berpindah2 antara Kemusu dan Wuryantora.
Sampai usia 19 th itu pekerjaan yang pemah ia lakukan ialah membantu ayah dan kemudian pamanya. Pamannya seorang mantri tani Wuryantora membantu mengurus irigasi Kyai Daryatmo membagi kredit kepada petani sebagai pembantu bank desa.
Suasana hidupnya serba prihatin. Begitu lahir ayah ibunya cerai. Baru umur 9 tahun dititipkan pada bibi dan pamanya, semula di Solo tapi segera pindah ke Wuryantoro. Oleh paman dan bibinya dititipkan lagi mula2 pada mantri tani Prawirowiarjo, pada guru agama dan kebatinan Kyai Daryatmo yang juga seorang ahli irigasi. Masa keeilnya adalah kecil “ngenger” numpang pada orang.
Orang seringkali amat terkesan oleh priode2 tertentu dalam hidupnya. Masa kecil yang serba prihatin secara psikologis merupakan periode yang umumnya membekas secara dalam. Apalagi jika orang itu kelak menjadi orang maka lebih dalam lagi kesan gambaran nyata dati periode keperihatinannya.
Orang itu umumnya juga dibentuk pada periode tertentu dati petjalanan hidupnya. Setelah periode “vorming” itu ia tetap peka pada pengaruh2 namun tidak lagi sekuat pengaruh dari periode tertentu itu. Dapat dikatakan, sebagian sikap, minat dan kecenderungan utama Soeharto dibentuk dalam periode Wuryantoro itu? Setidak2nya bisa dikatakan, pengalaman dari masa itu pasti ikut menumbuhkan minatnya yang hampir2 emosionil pada tani dan pertanian.
Dan inilah yang kita maksudkan dengan faktor koinsidensi. Sebab kebetulan, tatkala pembangunan ekonomi menjelang 1969 ditangani seeara sungguh2, menurut para ahli ekonomi pertanian pula harus menjadi prioritas. Maka jadilah pertanian titik sentral dalam Pelita pertama.
Mengikuti usaha dan minatnya terhadap peningkatan produksi beras palawija dan pemasarannya, kita toh mendapat kesan: Presiden bekerjanya dengan fikiran dan dengan hatinya. Sejak berusia 19 tahun, hidup di lingkungan petani, hidup prihatin. Infrastruktur politik dan pimpinan nasional tidak menunjangnya. Sejauh dilaksanakan sistim itu tetjatuh kedalam “etatisme” yang mandul.
Sistim ekonomi kita melalui periode rehabilitasi memasuki ekonomi berencana. Tahapannya lima tahun. Dalam ekonomi berencana, ditentukan sasaran2 setiap tahap yang disamping menaikkan produksi sekaligus menanamkan dasar untuk tahap berikutnya.
Dalam sistim ekonomi berencana Pelita, Pemerintah memobilisir modal dan kemampuan swasta, disamping usaha pokok Pemerintah sendiri sesuai dengan amanat pasal 33 UUD ’45.
Bahkan karena modal dan kemampuan rill kita didalam negeri masih terbatas, kita buka pintu. Kita menangkap pertandajaman, yaitu semakin perlunya kerjasama ekonomi antar bangsa. Semakin mendesaknya negara2 yang sudah maju membantu negara2 yang sedang berkembang dan adil. Kesejahteraan yang meliputi sekujur manusia dan masyarakatnya.
Iklim subur sengaja diciptakan oleh Pemerintah untuk modal swasta. Orang bermodal bisa melompat lebih jauh dari sebagian besar kita yang tak mempunyai modal. Dibukanya usaha2 ekonorni baru juga menimbulkan daerah2 subur. Daerah2 subur ini diantaranya ikut membuat gemuk juga sementara mereka yang merniliki salahsatu bentuk wewenang.
Sementara itu, dibandingkan dengan kaum bermodal, hasil2 investasi langsung Pemerintah terutama di pedesaan berjalan lebih lambat. Sebab parsi Pemerintah umumnya juga lebih berjangka panjang, lebih serba nasional.
Disertai koinsidensi keturunan dan diparahkan oleh bentuk2 penyelewengan, timbullah persoalan sosial. Disana sini bahkan memberikan kesan dan membangkitkan kekhawatiran, benarkah arah ekonomi kita. Masihkah bisa dikendalikan menuju sasaran atau telah bangkit menjadi “monster” yang menelan kemauan subyektif kita sendiri?
Masalahnya dengan ekonomi seperti halnya juga dengan kekuasaan politik ialah bahwa kekuaatan2 itu dalam sejarah sering berkembang sendiri, terlepas dari karsa dan kemampuan subyektif para pemegangnya, menelan sendiri sasaran semula.
Kita dapat kesan, para perencana ekonomi kita dan rasanya juga Presiden, segera melihat pula gejala itu. Berbagai kebijaksanaan ekonomi ditambahkan, seperti misalnya menggerakkan lebih intensifkoperasi, mendirikan sistim kredit Askrindo, mencari jalan2 lain untuk melindungi golongan ekonomi lemah.
Menjadi ciri Soeharto dan pemerintahannya, jika reaksi kita ribut dan emosionil, ia tidak ikut2. Lantas memberikan kesan, sepertinya ia kurang memperdulikannya. Barangkali yang benar, ia juga mencari jalan mengatasinya. Sudah barang tentu mencari jalan yang secara efektif memecahkan masalah kompleks lebih lambat dari teriakan kita mengkonstatir timbulnya masalah.
Satu hal ingin kita kemukakan. Sistim ekonomi apapun dalam periode pembangunannya meminta karban. Karban bagi para pemilik modal berupa menanamkan uangnya secara produktif. Mereka dapat untung memang, tetapi mereka juga dengan itu membuka lapangan kerja. Dan tidak menggunakan uangnya secara konsumtif.
Bisa kita fahami, betapa kecewa hatinya, tatkala tahun lalu panen sebagian gagal, sasaran pembelian beras tidak terpenuhi, harga beras naik. Bahkan setidak2nya di depan umum tetap menahan diri dan langkah2nya diperhitungkan, mengungkapkan sifatnya yang lain. Dia sejak 19 tahun dibentuk dalam vorming militer.
Ada cita2 dasar yang selalu hadir dalam masyarakat kita sejak jaman penjajahan hingga kini. Cita2 dasar tentang kesejahteraan yang merupakan pemenuhan ekspresi dari koderat manusia Indonesia dalam memasyarakat ditanah airnya.
Agar cita2 itu tidak hanya ada dalam utopia, bagaimana melaksanakannya? Pemah dicoba dengan menempuh kebijaksanaan ekonomi liberal (sekedar untuk distinsi). Dalam periode2 tertentu menunjukkan hasil, tetapi setiap kali dirusak oleh infrastruktur politik yang amat labil.
Lantas dicoba dengan ekonomi terpimpin. Sayang ekonomi, bahkan karena modal dan kemampuan riil kita didalam negeri masih terbatas, kita buka pintu. Kita menangkap pertanda jaman, yaitu semakin perlunya kerjasama ekonomi antar bangsa. Semakin mendesaknya, negara2 yang sudah maju membantu negara2 yg sedang berkembang.
Tujuan sistim ekonomi berencana yang kita tempuh tetap tujuan yang terkandung dalam Pembukaan UUD’ 45. Kemakmuran yang terbagi. Karban dari masyarakat jelas. Keprihatinan itu sendiri, disamping menumbuhkan sikap menabung dll. Akibat2 sampingan dalam proses pembangunan ekonomi bisa dinetralisir, jika para pemegang wewenang tidak menyalahgunakan wewenangnya. Jika mereka tetap bersikap dan bercara hidup sesuai dengan penghasilan mereka.
Dibidang ini, Presiden diharapkan lebih mengefektifkan usahanya. Ethos pembangunan paling banter baru difahami, belum diterima dengan ikhlas. Seruanseruannya untuk hidup sederhana, tidak konsumtif, belum diterima baik oleh elite kekuasaan apalagi oleh elite masyarakat. Dan ini setiap kali setidak2nya bagi rakyat banyak mengaburkan sasaran dan usaha2 positip yang sedang dilaksanakan Pemerintah.
Tarohlah periode 1966 – 1973 adalah periode rehabilitasi, transisi, permulaan masa pembangunan. Periode bebenah dan mendudukkan diri. Periode menempatkan lembaga2 secara formil, memperbarui lembaga2 secara formil.
Kita harapkan, periode yang kita masuki dengan masa kepresidenannya yang kedua ini menjadi periode mengisi bentuk2 perobahan formil itu. Diharapkan menjadi periode kepastian dibanyak bidang: kepastian hukum, kepastian usaha, kepastian tertib sosial.
Dalam wawancaranya dengan harian Suara Karya: Presiden mengungkapkan pertimbangan langkahnya “lambat asal selamat” yang sering dikecam masyarakat. Bahwa masalahnya jangan hanya dilihat dari lambatnya, tapi juga dari keberhasilannya, akan terlaksananya.
Barangkali bisa juga diterangkan secara lain. Kita pernah hidup dalam periode “verbokrasi”, dimana semboyan, ungkapan, yargon, retorika menjadi gaya pemerintahan dan kegiatan politik. Kata2 selalu lebih tepat dari realisasi dalam perbuatan efektif.
Sedangkan, kini ciri pemerintahan dan kepemimpinan adalah pada perbuatan efektif. Ada pertimbangan lain, Anak petani Kemusu ini mempunyai berbagai pegangan hidup. Diantaranya : mengalahkan lawan tanpa menyakitkan hatinya. Ditrapkan pada tindakan2 koreksi misalnya, pegangan hidup itu tak bisa lain kecuali lantas serta mempertimbangkan segala segi dan bersikap, lebih baik makan waktu tetapi serba tenang dari pada seketika, tetapi dengan gejolak2.
Ada segi lain yang bisa ikut menerangkan sikapnya. Ia amat menghargai jasa dari Muhammadiyah. Pengalaman hidup tetapi juga sistim pendidikan dalam TNI temyata cukup Komprehensif, sehingga postur dan kemampuan intelektuilnya sebagai Presiden, Kepala Pemerintahan, lebih dari memadai.
Setiap kali ini diperkuat oleh kesaksian orang asing, dari kalangan Korps Diplomatik di Jakarta maupun dari tetamu asing secara insidentil. Dengan bahasanya sendiri, ia bisa menjelaskan ataupun berdialoog mengenai masalah ekonomi, keuangan maupun persoalan2 intemasional secara jelas. Ini kesaksian beberapa diplomat profesionil.
Kekurangannya dalam pendidikan formal dan keahlian, mungkin dilengkapi juga dengan penghayatannya terhadap persoalan2 yang menjadi tanggungjawab. Anak Petani Kemusu itu, tidak canggung berdiplomasi dan bercengkrama di lstana Habsburg, maupun George Washington.
Jika Presiden mengemukakan angka2 produksi, apakah ada juga padanya gambaran lengkap dari konteks sosial angka2 itu? Pertanyaan ini pernah kita dengar. Sekali pun cara mengungkapannya sederhana, latar belakang hidupnya mestinya memberikan jaminan bahwa ia bukan saja mengetahui konteks sosialnya, tetapi menghayati keseluruhan permasalahannya.
Menurut Drs. Dwipayana, kecuali membaca koran, mendengarkan radio dan nonton televisi. Presiden mengikuti perkembangan keadaan dengan membaca Inti sari buku2 penting, yang disiapkan oleh stafnya.
MASA kanak2 Soeharto, masa kanak2 prihatin. Ia mengalami perceraian orangtuanya. Akibat pengalaman pahit dimasa kecil, hina dua macam. Ikut tidak karuan, dalam kehidupan berumahtangga atau justru sebagai semacam konpensasi amat penuh dedikasi dan ikatan emosionil kepada istri dan anak2nya.
Pada kasus Soeharto, yang terjadi akibat berdua. Bagi masyarakat salahsatu petunjuk ialah tatkala Tutut dan Sigit menikah. Dari persiapannya sampai “tekaning gawe”, saatnya upacara dan resepsi, Presiden sendiri menanganinya. Seakan2, ia tanggalkan baju kepresidenan, ia kenakan semata2 baju kebapaannya.
Berbagai potret maupun ceritera orang2 yang dekat dengan kehidupannya sehari2 menjadi saksi dari keintiman hubungan ayah, ibu dan anak2. Andaikata Pak Harto agak memanjakan putera puterinya, kita takkan heran. Biasanya, orangtua yg kecilnya nelangsa, lantas punya kaul dalam hati “jangan sampai anak saya nanti berasaan, bahagia, di lain fihak kekhawatiran akan kehilangan kebahagiaan itu, maka berusaha mempertahankannya.”
Seperti umumnya anggota TNI yang berumahtangga di masa periode perang kemerdekaan itu, maka pengantin baru Soeharto – Siti Hartinah, mengalami romantik itu. Romantiknya pengantin baru, campur dengan romantiknya pejoang. Begitu menikah, lantas berpisah karena ditinggal bergerilya.
Baru2 ini ada sebuah foto yang bagus diberbagai surat kabar. Ibu Tien menggendong cucu. Dendy Nugroho, anak pertama Tutut dan Kowara. Perasaan apa timbul pada Ibu Tien, tatkala menunggui puterinya melahirkan maupun tatkala menjemput cucu dari rumahsakit Gatot Subroto ?
Tidak mengherankan, jika terkenang sewaktu Ibu Tien melahirkan Tutut, Alangkah bedanya. Kelahiran puteri pertama tgl. 23 Januari 1946 itu tidak ditunggui suami. Sebagai ayah baru 4 bulan kemudian Pak Harto melihat puterinya. Itupun sebentar saja, sembunyi2 didapur kraton Sultan Yogya. Keprihatinan dimasa lampau, pada keluarga Soeharto merupakan tali pengikat emosionil yang terasa amat kuat.
TATKALA Abraham Lincoln mengucapkan sumpah sebagai Presiden AS ke 16, rakyat Amerika bangga campur haru. Sebab Presiden yang berbudi luhur itu, berasal dari anak petani melarat dari sebuah desa Kentucky.
Jika hari ini, Jenderal Soeharto mengucapkan sumpah didepan sidang umum MPR, peranan serupa bangkit pada hari kita. Naluri manusia selalu tertarik pada kisah hukuman, anak orang kecil yang menjadi besar. Sebab yang berdiri di depan sidang Majelis untuk mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI itu, adalah Soeharto, anak petani Kemusu, yang sampai berusia 9 tahun, pekerjaannya menggembala kambing dan kerbau.
Kita yang menyetujui pengangkatannya untuk kedua kalinya, ikut mendoakan agar kisah hidupnya dari masa kecil menjadi kenyataan. Membangun kehidupan para petani lebih makmur dan adil. Dan dengan itu, juga membangun kehidupan orang2 kota lebih penuh kepastian.
Kekuasaan, terutama kekuasaan dengan latarbelakang kebudayaan kita, memiliki kelemahan inheren yang perlu kita sadari. Yaitu bahwa dalam lingkungan kekuasaan itu, mudah tumbuh dengan sengaja atau tidak dengan sengaja, suasana intrik dan klik.
Bahwa intrik mengeruhkan suasana dan mematikan kreativitas, mudah kita maklumi. Maka menjadi tanggungjawab kita, termasuk para pembantu Presiden, untuk menjauhkan intrik dari lingkungan2 kekuataan dinegeri ini.
Sebab yang kita harapkan dengan peri ode kedua masa kepresidenannya adalah kesegaran, yang membangkitkan kreativitas. Porsi pembangunan semakin luas dihadapan kita. Itu hanya bisa ditanggapi dengan kesegaran yang bersih. (DTS)
Sumber: KOMPAS (23/03/1973)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 308-317.