PRESIDEN SOEHARTO : BILA PERLU, MPR DAPAT BERHENTIKAN PRESIDEN

PRESIDEN SOEHARTO :

BILA PERLU, MPR DAPAT BERHENTIKAN PRESIDEN[1]

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto mengingatkan kembali, dalam sistem pemerintahan negara Republik Indonesia, apabila seorang Presiden sungguh-sungguh melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara, majelis tersebut dapat mengadakan sidang istimewa dan meminta pertanggungjawabannya.

“Bila perlu, Majelis tersebut bahkan dapat memberhentikan Presiden.” Seruan Kepala Negara ini disampaikan dalam pidato pembukaan lokakarya PBB II tentang Hak-hak Asasi Manusia untuk Wilayah Asia­Pasifik di Istana Negara, hari Selasa kemarin (26/1). Acara ini antara lain dihadiri oleh Wakil Sekretaris Jenderal PBB Antoine Blanca.

Berbicara mengenai masalah hak asasi manusia yang sering dikaitkan dengan bantuan ekonomi, Kepala Negara antara lain mengemukakan sikap Gerakan Non Blok dan sistem pemerintahan di Indonesia.

Menurut Presiden, pemerintah suatu negara merupakan pemegang amanah yang sah dari rakyat yang telah memilihnya, dan yang harus bertanggungjawab kepada rakyat itu mengenai apa yang telah dilakukan atau tidak dilakukannya.

“Jika kita memahami hak asasi manusia itu sebagai hak yang melekat dengan kemanusiaan kita, maka keharusan menjamin hak asasi manusia itu sudah melekat dalam mandat yang diberikan rakyat kepada pemerintah yang dipilihnya dalam suatu pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia, tutur Presiden.

Setelah menjelaskan sistem pemerintahan negara RI, Kepala Negara menegaskan sikap Gerakan Non Blok. Karena itu, kata Presiden, seluruh negara anggota Gerakan ini menganggap berkelebihan dan tidak perlu terjadi bagi negara-negara lain yang memberikan bantuan ekonomi yang memang diperlukan oleh negara-negara yang sedang membangun ini untuk melakukan tekanan-tekanan ekonomi terhadap negara­negara itu.

Tekanan-tekanan demikian, kata Presiden, akan terasa ironis, jika diingat bahwa di dalam negeri-negeri maju itu sendiri juga masih bisa disaksikan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia itu. Tekanan-tekanan demikian akan terasa lebih ironis lagi, jika dilakukan oleh bekas negara-negara penjajah terhadap negara-negara yang sedang membangun yang sedang beljuang keras memulihkan diri dari akibat-akibat kolonialisme masa lampau.

Karena itu, jelas Kepala Negara, yang lebih baik adalah menggalang kerja sama yang erat untuk mempercepat terwujudnya suatu masyarakat kemanusiaan yang lebih adil, lebih damai, lebih makmur dan lebih sejahtera.

“Masing-masing bangsa di bawah pemerintahan nasionalnya sendiri dan atas prakarsanya sendiri, serta sesuai dengan tata nilai dan sistem kelembagaannya sendiri,mengambil langkah-langkah terencana untuk meningkatkan martabat warga negaranya serta seluruh penduduk yang berdiam di wilayah itu.”

Perbedaan

Menurut Presiden, seluruh bangsa dan negara di dunia sekarang ini menjunjung tinggi cita-cita luhur tentang hak-hak asasi manusia. Namun, tuturnya lanjut, jelas akan terdapat perbedaan regional dan nasional dalam pemahaman , pelembagaan dan pelaksanaan hak-hak itu.

“Hal ini adalah wajar, karena itu tidak perlu dihindari,” tekan Presiden.

Itulah sebabnya, lanjut Kepala Negara, mengapa berdampingan dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang diumumkan Desember 1948, semua pihak menyambut baik adanya berbagai deklarasiregional dan nasional yang menampilkan wawasan khasnya sendiri.

“Deklarasi regional dan nasional memberikan akar sosial yang kukuh terhadap asas-asas yang bersifat universal itu,” kata Presiden.

“Namun izinkanlah saya meminta perhatian kita sekalian,bahwa dalam suatu kawasan yang sama juga terdapat perbedaan antara negara yang satu dengan negara yang lain,” tuturnya lanjut.

Ditekankan pula, negara-negara di dunia saat ini memang tidak hanya berbeda dalam latar belakang sejarah dan kebudayaannya, tapi juga dalam taraf kemajuan yang telah dicapai. Perbedaan taraf kemajuan ini mempunyai pengaruh besar terhadap kebijaksanaan yang akan diambil mengenai hak asasi manusia ini.

“Persoalan mendasar yang kita hadapi bukanlah sekadar memberikan jaminan mengenai hak-hak asasi manusia itu melainkan secara aktif menciptakan kondisi yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembangnya kemanusiaan itu sendiri,” kata Presiden .

Presiden mengatakan, pada negara-negara yang sudah maju yang masyarakatnya bukan saja telah mencapai tingkat pendidikan dan pelatihan yang tinggi, tapi juga telah tumbuh dan berkembang kreativitas dan prakarsanya sekadar jaminan terhadap hak­hak asasi manusia sudahlah cukup.

Namun, kata Presiden, sebagian besar lapisan masyarakat negara-negara sedang membangun, masih rendah tingkat pendidikan dan pelatihannya. Juga masih belum terbiasa secara rasional untuk merancang, mengorganisasi dan mengendalikan sendiri usaha-usaha ekonomi.

“Dalam banyak hal mereka masih bekerja dalam hubungan kelompok tradisional,” katanya.

“Karena itu, masalah utama yang dihadapi Negara-negara yang sedang membangun bukan sekadar masalah jaminan terhadap hak-hak asasi manusia itu, sekadar memberikan jaminan itu saja tidaklah sulit,” lanjut Presiden.

Dikatakan, dalam konstitusi maupun dalam demikian banyak perundang­undangan nasional, telah dicantumkan amat banyak jaminan tersebut berbagai peradilan, sipil maupun militer serta peradilan tata usaha negara, telah bekerja keras untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang pemah terjadi.

“Banyak kemajuan telah didapat dalam hal ini,” kata Presiden.

Komplek

Kepala Negara menunjukkan, masalah yang sama pentingnya adalah mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur, bukan saja untuk orang seseorang, tapi untuk seluruh masyarakat. Tidak jarang, masalah-masalah ini malahan dirasakan lebih besar, lebih penting dan lebih mendesak.

Dikatakan, masalah yang dihadapi pemerintah negara-negara yang sedang membangun untuk mewujudkan masyarakat adil makmur ini bukan main kompleksnya. Bukan saja harus memerangi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang merupakan warisan kolonialisme masa lampau, tapi juga memantapkan proses integrasi nasional dari masyarakat yang amat majemuk, serta menghadapi demikian banyak tantangan dan peluang yang terbuka dalam dinamika dunia.

Pada bagian lain Presiden menjelaskan dasar-dasar pandangan bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia secara utuh yang terdapat dalam Pembukaan Undang­ Undang Dasar 1945 yang dijabarkan dalam pasal-pasalnya yang amat singkat. Diuraikan pula tentang peljuangan kemerdekaan selama penjajahan 350 tahun yang dikaitkan dengan hak asasi manusia.

Pada bagian ini Presiden mengatakan,

“Pemerintah negara kami memang bukan dirancang sekadar sebagai penjaga malam atau sekadar polisi lalu lintas.” Pemerintah Indonesia, kata Kepala Negara, dirancang sebagai pelindung, pendorong kemajuan, kesejahteraan dan kecerdasan masyarakatnya. “Dengan demikian, kami memahami hak asasi manusia secara lebih luas dan lebih konstruktif, sebagai amanah, tekad dan peluang untuk memajukan kemanusiaan itu sendiri, bukan sekadar hak yang harus dijamin ,” ujar Presiden.

Implementasi Nasional

Sementara itu, dalam lokakarya hari pertama, yang diadakan di Hotel Hilton, tampil tiga pembicara utama yaitu Wakil Ketua Komisi HAM PBB Prof Fausto Pocar, bekas Ketua Komisi Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB Agha Shahi dan Minister Counsellor Perwakilan Tetap RI di Geneva Dr. Hassan Wirajuda.

Karena jumlah pesertanya cukup banyak, mewakili 31 negara ditambah partisipan dari pengamat, lokakarya ini memang terasa kurang intensif mengingat keterbatasan waktu setiap sesi sampai Selasa sore, hanya beberapa negara yang aktif memanfaatkan diskusi dengan melontarkan pendapat atau pertanyaan seperti delegasi India, Jepang, Malaysia, Singapura, Cina dan Iran serta tuan rumah Indonesia.

“Barangkali karena forumnya terlalu besar, diskusi menjadi kurang intensif Sulit untuk membuat lokakarya ini menjadi optimal,” ujar Prof Sa ipto Rahardjo SH dan Dr. T Mulya Lubis SH, LLM, mengomentari jalannya lokakarya

Dengan tema khusus tentang implementasi nasional dari standar Internasional HAM, Pocar merinci makna prinsip-prinsip HAM yang dianggapnya telah bersifat universal. Dalam implikasinya, memang perumusan HAM di setiap negara seringkali mengundang kontroversi, terutama dalam mencari keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme.

Mestinya, lanjut Pocar, ada titik tertentu dimana keseimbangan minimal antara individu dengan kepentingan kolektif, yang berlaku secara universal. Pada keseimbangan itulah, standar Internasional HAM bisa diharapkan berlaku secara supra nasional.

Namun Pocar juga menghimbau agar tidak semua isu tentang HAM dinilai sebagai masalah politik.

“Ada banyak soal HAM yang tidak perlu dipolitisir penyelesaiannya, sehingga kita semua perlu melakukan depolitisasi sebagian prinsip HAM,” ujarnya.

Memang ada prinsip-prinsip yang hams tetap dihargai yaitu non-intervensi dan kedaulatan negara.

“Tapi tak ada lagi bangsa yang bisa menutup diri untuk membicarakan implikasi nasional dari standar Internasional HAM,” ujar guru besar Universitas Milan, ltalia itu.

Artinya, walaupun standar Internasional HAM sudah merupakan hal yang universal, tapi implikasi nasionalnya sangat bergantung pada jaminan dari negara­negara masing-masing, yang tidak bisa dicampuri negara lain.

“Apalagi, belum semua negara meratiftkasi konvensi dan instrwnen HAM dari PBB,” ujarnya.

Prinsip non-intervensi juga dilontarkan Mohammad Ali Mottaghi-Nejad, Deputi Direktur HAM dan Hubungan Internasional Iran, yang sekaligus mempersoalkan beberapa kasus dimana dalam praktek batasan antara implikasi HAM dengan hak­hak menentukan nasib sendiri, seringkali kabur.

Sedangkan delegasi Jepang lewat Direktur HAM dan Divisi Pengungsinya di PBB Utaka Yoshizawa, mempersoalkan berbagai konvensi dan instrumen PBB tentang HAM, yang materinya sering tumpang tindih.

“Dari 24 instrumen PBB tentang HAM, banyak yang materinya serupa, tapi ditangani oleh komisi berbeda. Ini bisa mengundang pertanyaan untuk apa pengulangan itu dilakukan,” ujar Yoshizawa.

Sementara Hadi Wayarabi dari delegasi Indonesia menegaskan perlunya implementasi nasional dari HAM dikaitkan dengan sifat-sifat partikularitas bangsa, baik latar belakang sejarah, orientasi kepentingan serta penentuan prioritas pembangunannya.

Di lain pihak Wayarabi juga menegaskan, Indonesia melihat HAM sebagai kesatuan yang tidak bisa dipilah-pilah. Hak-hak politik dengan hak-hak ekonominya, tidak bisa dipisah-pisahkan dan disoroti sepihak. Sebab semuanya saling berkaitan.

“HAM misalnya harus didukung jaminan sistem politik yang mantap, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan ketertiban umum serta keseimbangan dan saling bergantungnya individu dan masyarakatnya,” ujar Wayarabi, dikuatkan oleh Hassan Wirayuda, ahli politik yang tampil sebagai pembicara dari Indonesia.

Kerjasama Internasional

Menegaskan amanat Presiden Soeharto, Hassan Wirayuda menekankan perlunya masalah HAM dilihat dalam kerangka kerja sama Internasional.

“Artinya upaya penegakan dan penghargaan HAM hendaknya tidak diikuti dengan adanya sikap mengadili dari satu negara ke negara lain. Tetapi dilakukan dalam kerangka kerja sama disertai akal sehat dan saling menghormati,” ujar Hassan Wirayuda.

Memang mudah untuk menunjuk dan menuding adanya pelanggaran HAMdi suatu negara. Tetapi harus disadari juga bahwa proses penegakan HAM juga memerlukan kemampuan penegak hukum yang baik, hukum acara yang memadai atau kesadaran para yurisnya.

“Ini memerlukan proses pembangunan yang pada akhirnya menjamin penghargaan HAM”, katanya seraya menyebut hal itu sebagai hubungan positif antara promosi dan perlindungan HAM dengan kerja sama pembangunan antar bangsa.

Sementara pembicara lainnya Agha Shahi, bekas Ketua Komisi Penghapusan Diskriminasi Rasial menguraikan prinsip-prinsip yang mesti dijamin dalam menjaga keseimbangan  rasial di antara bangsa-bangsa.

Meski tidak menyanggah adanya kepentingan nasional dari negara-negara tertentu tapi Shahi menekankan perlunya pertimbangan yang didasarkan kondisi minoritas dihilangkan.

Sumber : KOMPAS (27/01/1993)

__________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 65-69.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.