PRESIDEN SOEHARTO BUKA MUSYAWARAH NASIONAL KE-I MAJELIS ULAMA SELURUH INDONESIA

PRESIDEN SOEHARTO BUKA MUSYAWARAH NASIONAL KE-I MAJELIS ULAMA SELURUH INDONESIA [1]

 

Jakarta, Antara

Presiden Soeharto menegaskan hari Senin, di Jakarta, Majelis Ulama tidak perlu bergerak di bidang politik, karena wadah untuk ini cukup tersedia dalam dua partai politik dan satu golongan karya.

Hal tersebut ditegaskan Kepala Negara ketika membuka Musyawarah Nasional ke I Majelis Ulama Seluruh Indonesia di Istana Negara dengan harapan agar alim ulama dapat dan perlu memainkan peranan yang besar dalam menggerakan masyarakat untuk pembangunan.

Presiden menyatakan, dia rasa cukup memenuhi kebutuhan apabila Majelis Ulama ini hanya mempunyai pengurus saja dan tidak perlu mempunyai anggota, sehingga dengan begitu tidak merupakan organisasi bam disamping organisasi2 Islam yang telah ada.

“Yang penting adalah bagaimana mempercepat dan memperlancar pembangunan masyarakat, bukan untuk mencari anggota.”

“Sebab itu,” kata Presiden, “Majelis Ulama tidak perlu mendirikan madrasah, mesjid2, rumah sakit sendiri dsb, karena hal itu semua sudah ditampung dan dikerjakan oleh organisasi Islam yang bergerak dalam bidang agama dan sosial.”

Dikemukakan, sebagai pencerminan kegotong-royongan dan persatuan, maka kepengurusan majelis Ulama sebaiknya menggambarkan diwakilinya unsur2 dari segenap golongan. Sedangkan pejabat2 pemerintah bertindak sebagai pelindung dan penasehat. “Dengan kepengurusan seperti itu, maka antara pemerintah dan ulama akan terdapat satu bahasa untuk menggerakan masyarakat dalam pembangunan”

Menteri Agama Mukti Ali dalam laporannya menyatakan, musyawarah tersebut dihadiri 150 peserta yang trediri dari utusan2 Majelis Ulama di daerah2 maupun pusat yang masing2 berjumlah 4 orang.

Disamping itu hadir pula panitia musyawarah dan para rektor dan wakil rektor IAIN seluruh Indonesia yang telah selesai mengadakan rapat kerjanya di Jakarta, yang kesemuanya berjumlah 200 orang.

Sidang dari Musyawarah di Convention Hall dan penutupan tanggal 27 Juli 1975 di Taman Mini Indonesia Indah.

Tema dati Musyawarah : “Dengan memperkokoh ketahanan nasional dan meningkatkan Kerukunan Hidup Bersama, Majelis Ulama mensukseskan pembangunan”.

Menteri Agama menyatakan, musyawarah ini dimaksudkan untuk mensukseskan pembangunan dengan memperkokoh ketahanan nasional dan meningkatkan kerukunan beragama, serta membentuk Majelis Ulama Pusat, sebagai tindak lanjut dari pembentukan Majelis Ulama di daerah.

Bukan Sekedar Semboyan

Presiden Soeharto menegaskan, semua umat beragama harus bekerjasama bahu membahu, gotong royong, saling menghormati dan menyayangi dalam usaha membangun masyarakat Indonesia, masyarakat sendiri.

“Pembangunan Indonesia jelas merupakan kepentingan bangsa Indonesia”.

Dikatakan, dalam tiap2 bangsa atau kelompok ummat manusia maka pembangunan itu memerlukan keikut sertaan dan tanggung jawab dari seluruh masyarakat dengan pelbagai macam agama yang mereka peluk.

Karenanya masyarakat beragama harus dapat keluar dari kesempitan2 paham mereka dan kelompok2 agama mereka yang sempit untuk dapat memahami dan memperoleh konsepsi dan pengalaman yang lebih luas, baik tingkat daerah maupun nasional.

“Dengan kata lain –lebih2 karena kita menjunjung tinggi sila Ketuhanan Yang Mahaesa — maka kerukunan hidup antar umat beragama bukanlah sekedar semboyan, melainkan harus dan memang dapat kita jadikan kenyataan”.

Kepala Negara menegaskan, persatuan bangsa tetap kita perlukan dalam masa pembangunan untuk memberi isi kepada kemerdekaan. Persatuan bangsa ini malahan perlu terus kita perkokoh karena kita telah bertekad dan ingin tetap bersatu.

“Bangsa yang bercerai tidak mungkin membangun, dan tanpa pembangunan tidak akan ada kebahagiaan,” Presiden menegaskan.

Badan KonsuItasi antar Umat Beragama

Presiden menyatakan, kerukunan dan persatuan nasional hanya mungkin diwujudkan apabila kita rukun dan bersatu dalam kelompok kita sendiri serta rukun dan bersatu antara kelompok dengail kelompok laindalam keluarga besar bangsa In­donesia.

Di kalangan ummat Islam tampak jelas terus bertambah luasnya usaha untuk memperkuat kerukunan dan persatuan itu, yang tampak dari ikhtiar untuk menyatukan pendapat yang berhubungan dengan ibadah yang selama ini berbeda-beda.

Presiden menyatakan, untuk lebih meningkatkan kerukunan hidup antar ummat beragama perlu dibentuk semacam badan konsultasi antar umat beragama. Dalam badan inilah dibicarakan segala sesuatu untuk kepentingan umat beragama di Indonesia ini.

Dikemukakan, ummat Katolik Indonesia sudah berhimpun dalam Majelis Wali Gereja Indonesia (MAWI), umat Kristen Protestan mempunyai Dewan yang menghimpun Gereja2 Protestan di Indonesia, yakni DGI, begitu pula sudah terdapat badan yang menghimpun umat Hindu, umat Budha, juga terdapat Sekretariat yang menghimpun aliran2 kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Presiden menyatakan, kerukunan hidup antara umat beragama yang berbeda­-beda itu bukan hal baru bagi umat Islam. Dalam ayat Al-Qur’an dengan jelas diterangkan; “Tidak ada paksaan dalam agama.” Demikian juga dalam ayat lain diterangkan: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” Dua ayat Al-Qur’ an itu dengan jelas membuktikan betapa besar ajaran agama Islam dan betapa lapang dada agama Islam.

Oleh karena itu pembentukan badan konsultasi antar ummat beragama sebenarnya adalah hanya merupakan sarana saja untuk pelaksanaan kerukunan beragama.

“Untuk hal ini”, kata Presiden, “benar2 saya harapkan agar supaya kerukunan hidup antar ummat beragama dipelihara betul2 dan ditingkatkan, karena kita semuanya mengetahui, pembangunan mustahil akan tercapai tanpa adanya kerukunan hidup antara ummat beragama”.

“Kita bertekad agar pembangunan berhasil. Kita mau dan dapat hidup rukun. Karena itu kedua-duanya pasti terwujud,” demikian Presiden.

Pertimbangan Dibidang Agama

Menyinggung hal2 yang dapat dikerjakan Majelis Ulama menurut Presiden, salah satu diantaranya ialah menjadi penterjemah yang menyampaikan fikiran2 dan kegiatan2 pembangunan nasional maupun pembangunan daerah kepada masyarakat.

Dalam rangka ini terkandung arti mendorong, memberi arah dan menggerakkan masyarakat dalam membangun diri dan masa depannya.

Hal lain yang dapat diperankan Majelis Ulama adalah pemberian bahan2 pertimbangan mengenai kehidupan beragama kepada pemerintah.

Berkata Presiden: “Pemerintah seringkali merasa perlu mendapat pertimbangan2 yang berhubungan dengan masalah agama. Dalam hal ini pemerintah nanti dapat merninta pertimbangan dari majelis Ulama.”

Hal lain yang dapat diperankannya ialah menjadi penghubung antara pemerintah dan ulama. Masalah2 yang berhubung dengan pemerintahan dan masalah2 yang berhubungan dengan tugas ulama dapat dibicarakan dalam majelis tersebut.

“Dengan demikian maka fikiran2 tentang pembangunan dan segala kegiatannya yang menjadi kewajiban, bahkan sempai ke desa2.”

Pewaris Nabi

Presiden menegaskan kembali peranan alim ulama sebagai pemimpin2 yang berada di tengah masyarakat dan yang benar2 memahami aspirasi dan jiwa rakyat serta mengharapkan, agar mereka dapat meratakan tujuan masyarakat yang ingin kita bentuk bersama.

Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan, bahwa “para Ulama adalah pewaris para Nabi.” Menurut Kepala Negara, ini berarti tugas para ulama adalah meneruskan tugas pekerjaan yang dulu dilakukan oleh para nabi.

Dalam hal ini tugas para ulama dapat disimpulkan dalam “Mengajak masyarakat untuk melakukan perbuatan yang baik dan mencegah masyarakat dari perbuatan yang tidak baik”, atau dalam istilah agama “Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.”

Amar Ma’ruf Nahi Mungkar adalah tugas yang sangat mulia dan tugas itu dipikulkan kepada para Alim Ulama. Oleh karena itu kedudukan Alim Ulama dalam masyrakat dan negara Pancasila ini adalah sangat penting.

“Karena demikian besar peranan Alim Ulama dalam pembangunan masyarakat, maka saya menganggap sangat tepat adanya Majelis Ulama yang segera akan dibentuk para Ulama ini.” Demikian Presiden Soeharto.

Selesai mengucapkan pidato pengarahannya, Presiden Soeharto kemudian beramah tamah dengan para alim ulama itu dan berfoto bersama. (DTS)

Sumber: ANTARA (21/07/1975)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 772-776.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.