PRESIDEN SOEHARTO DI DEPAN SU PBB

PRESIDEN SOEHARTO DI DEPAN SU PBB

 

 

Jakarta, Bisnis Indonesia

Presiden Soeharto membuat sejarah ketika menyampaikan pidato di depan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SU PBB) di New York, 24 September. Ia merupakan Kepala Negara RI kedua yang berpidato di depan sidang besar dan terhormat tersebut. Sebelum itu, Presiden Soekarno pernah pula berdiri di mimbar yang sama pada tahun 1960-an.

Sebagai ketua Gerakan Non Blok (GNB), Presiden Soeharto menawarkan uluran tangan kepada 179 negara anggota PBB untuk meningkatkan kerja sama Selatan-Utara, dua dunia yang dikenal sebagai kelompok negara berkembang dan lainnya kelompok negara maju. Menurut Kepala Negara, dilihat dari sejarah keterkaitannya, hubungan Selatan-Utara belum pemah sebaik sekarang. Namun, bukan berarti semua masalah yang ada di antara kedua kelompok itu dapat diselesaikan dengan lebih mudah.

Dalam pidato tersebut, Presiden mengemukakan tiga hal penting yang berkaitan dengan GNB, masalah perdamaian dan keamanan internasional. Pertama, bahwa kelompok Selatan dengan jumlah penduduk lebih besar ketimbang Utara dan juga berpengaruh sama besarnya dengan kelompok negara-negara industri. Khususnya dalam soal perdamaian dunia dan keamanan internasional. Untuk itu, GNB mengusulkan dunia dan keanggotaan Dewan Keamanan (DK) PBB diperluas dengan memasukkan anggota-anggota baru. Kepala Negara juga menyerukan agar hak veto ditinjau kembali secara konstruktif, terutama dalam hal yang menyangkut pelaksanaannya.

Kedua, GNB juga memperhatikan masalah pencemaran global dan karena itu mendukung hasil-hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro. Hasil KTT itu dinilai membenarkan keyakinan yang telah lama dianut GNB, yaitu masalah lingkungan dan pembangunan yangberkelanjutan serta berwawasan lingkunganjuga memerlukan adanya kemitraan global. Karena itu,perlu diperhatikan kebutuhan negara-negara berkembang akan dana tambahan yang memadai serta akses untuk memperoleh teknologi berwawasan lingkungan.

Ketiga, GNB juga memandang penting pembamgunan sosial, di samping pembangunan politik dan ekonomi. GNB juga mendukung KTT Sedunia tentang Pembangunan Sosial yang akan menempatkan kebutuhan sosial manusia pada pusat perhatian dan kegiatan PBB.

Tidak kalah pentingnya, menurut Presiden, ialah masalah hak-hak asasi manusia (HAM). GNB telah menyuarakan sikap yang jelas. Misalnya, dalam Jakarta Message tercakup pesan, maksud dan tujuan ditegakkannya HAM itu adalah untuk mewujudkan potensi manusia seutuhnya. Dan, potensi itu jelas tidak hanya terbatas pada aspek politik. HAM untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dan sosial tidak boleh dipisahkan dari jenis HAM lainnya.

Penampilan Kepala Negara RI di PBB ini merupakan ketiga kalinya dan membawa bobot pesan yang mendunia dengan segala problematiknya. Dia menawarkan jalan damai dan moderat untuk memecahkan persoalan itu. Berbagai perbedaan dan ketimpangan serta masih adanya pertikaian bersenjata di berbagai belahan dunia, membuat GNB perlu menyerukan pandangan, sumbangan pikiran dan tindakan nyata yang memadai.

Di sana-sini ada pula usul mengenai perubahan di DK PBB yang selama ini didominasi oleh negara-negara besar. Apalagi Uni Soviet kini sudah tidak ada lagi dan tinggal beberapa negara pecahannya, sehingga, sesungguhnya,kurang memadai untuk bisa mewakili sebagian potensi dunia, khususnya dalam menjamin keamanan dan perdamaian. Uni Soviet yang kini terpecah-belah justru menjadi wilayah konflik yang membahayakan perdamaian. Ukurannya kini menjadi jauh lebih kecil ketimbang potensi yang ada pada GNB. Lebih buruk lagi ialah bahwa Rusia, sebagai pengganti Uni Soviet, masih dianggap dan punya peran seperti sebelumnya-termasuk memiliki hak veto. Sementara GNB kurang dan cenderung tidak terwakili dalam DK PBB yang menangani masalah-masalah keamanan dunia melalui forum PBB.

Perkembangan geopolitik dan geo-ekonomi pada saat inimemberikan wajah yang sudahjauh berbeda dengan situasi lima atau, bahkan,47 tahun lalu, ketika PBB baru berdiri. Karena itu, layak wakil dari GNB duduk dalam DK PBB. Bukan hanya karena gerakan ini mewakili 65% warga dunia,melainkanjuga akibat adanya perkembangan mutakhir.Lebih dari itu sejak Perang Dinginberakhir, potensi dunia menjadi lebih jelas terbelah antara Utara dan Selatan, antara yang sedang berkembang (developing) dan yang sudah maju (developed).Dalam hal itulah GNB merasa perlu mendapatkan porsi untuk secara konstruktif membahas soal keamanan dunia melalui DK PBB.

 

 

Sumber : BISNIS lNDONESIA (26/09/1992)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 318-320.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.