Presiden Soeharto: RASA KURANG PUAS TIDAK SELAMANYA BERARTI BURUK

Presiden Soeharto:

RASA KURANG PUAS TIDAK SELAMANYA BERARTI BURUK [1]

 

Jakarta, Antara

Presiden Soeharto dalam pernbukaan Pemeragaan Laporan Visual Pembangunan bertempat di Gedung Pola Jakarta menyatakan, bahwa pemeragaan seperti yang berlangsung di Gedung Pola sangat perlu, agar kita semua mengetahui apa yang telah dapat kita bangun selama ini.

Kita akan tahu apakah sekarang kita bertambah maju atau “mandeg”, atau malahan semakin mundur bila dibandingkan dengan keadaan beberapa tahun yang lalu.

Mungkin diantara kita ada belum puas, demikian Presiden, karena rnerasa bahwa sesungguhnya kita dapat mencapai kemajuan yang lebih besar atau lebih cepat lagi. Mungkin juga ketidak-puasan itu timbul karena melihat masih bertumpuknya masalah yang belum dapat kita atasi sekarang ini, seperti kurangnya gedung2 sekolah, belum mudahnya orang mencari pekerjaan, belum cukupnya rumah2 sakit dsb.

Perasaan kurang puas yang demikian itu tidak selamanya berarti buruk, asal kita dapat meletakkan ditempat yang wajar. Ketidak-puasan itu dapat kita ubah menjadi positif dan malahan dapat menjadi kekuatan pembangunan apabila ia menjadi cambuk bagi kita untuk bekerja lebih keras, lebih tekun dan lebih tertib. Demikian Presiden.

Lebih lanjut dinyatakan oleh Presiden Soeharto, bahwa yang penting sekarang ini jangan sampai kita kehilangan kepercayaan diri sendiri. Sebab, Bangsa yang kehilangan kepercayaan ciri sebenarnya ia sudah menggali liang kuburnya sendiri.

Bahwa pembangunan yang sekarang sedang kita jalankan menyebar kesemua daerah sampai ke Desa2, ini dapat kita lihat dalam pemeragaan. Dari sini kita mulai meratakan pertumbuhan dan hasil pembangunan, yang lebih merupakan rintisan jalan menuju keadilan.

Presiden Soeharto menyerukan kepada segenap bangsa Indonesia untuk terus memelihara “jiwa ’45”, ketika meresmikan gedung veteran “Graha Purna Yudha” (Granadha) di Jakarta hari Minggu pagi.

“Memelihara jiwa ’45, demikian kepala negara, berarti memelihara kekuatan kejiwaan, memelihara lurus arah perjoangan dan berusaha sungguh2 untuk mewujudkan cita2 kemerdekaan nasional yang berpangkal dan berakhir pada Pancasila.”

Diresmikannya gedung yang monumental tersebut oleh presiden dinilai sebagai kewajiban bangsa Indonesia memberikan penghargaan dan penghormatan yang wajar kepada mereka yang telah merintis, menegakkan, mempertahankan dan membela milik bangsa Indonesia yang tertinggi ialah kemerdekaan nasional.

“Saya tahu”, kata presiden, “para veteran tidak ingin tanda penghargaan yang akan dibangun itu terlalu memberatkan rakyat banyak, untuk siapa perjoangan veteran diabdikan.”

“Dalam permulaan pembangunan sekarang ini, belumlah waktunya untuk membangun monumen2 megah yang berada diluar kekuatan keuangan negara, yang berarti juga diluar kekuatan rakyat.”

Semangat Agustus 1945

Gedung veteran “Granadha” terletak pada persimpangan jalan antara jalan Jenderal Sudirman dan jalan Gatot Subroto, di dekat jembatan Semanggi.

Gedung ini bertingkat 17 yang merupakan salah satu gedung tertinggi di Jakarta sesudah Wisma Nusantara di Jl. Thamrin. Disamping gedung utama yang menjulang tinggi itu terdapat auditorium bertingkat tiga yang berbentuk bulat seperti topi baja.

Keliling gedung dipagari oleh “bambu2 runcing” berwarna hitam sebanyak 2.945 buah. Terdapat delapan buah tiang di gedung utama.

Dengan demikian gedung yang diwarisi oleh angkatan ’45 kepada generasi2 sesudahnya melambangkan jiwa dan semangat “17-8-1945”.

“Kami merasa bangga dan gembira dengan gedung ini meskipun penyelesaiannya terlambat tiga tahun,” kata Ketua yayasan Gedung Veteran RI Letjen TNI Sarbini dalam sambutannya.

Dikatakan, bahwa gedung yang pemancangan tiang utamanya dilakukan pada 6 Juni 1965 oleh almarhum Ir. Sukarno, pada tahun 1970-1971 mendapat bantuan sebanyak Rp.750,- juta dari Presiden Soeharto.

“Bantuan presiden itu merupakan 50% dari kekurangan biaya penyelesaian,” kata Letjen Sarbini.

Dia tidak menyebutkan berapa biaya keseluruhan pembangunan gedung tersebut. Tapi dikemukakan, bahwa biayanya dikumpulkan dari organisasi2 veteran Jepang, Korea Selatan dan Australia. Juga beberapa daerah memberikan sumbangan2 veteran.

“Pada masa orde lama ketika dilakukan sanering, uang yang kami kumpulkan dengan susah payah yang jumlahnya ratusan juta menjadi ratusan ribu rupiah saja,” kata Ketua Umum Markas Besar Legium Veteran RI itu.

Dikomersilkan

Mengingat pembangunan gedung veteran itu ber-larut2 pelaksanaannya, maka dicarikanlah jalan melalui kredit.

Sebagaimana dikatakan oleh Letjen TNI Dr. H. Ibnu Sutowo, berdasarkan keputusan Presiden tgl. 13 Maret 1972 dia ditunjuk sebagai penanggungjawab proyek pembangunannya.

Menurut Letjen TNI Ibnu Sutowo, gedung ini akan disewakan pula untuk toko2, show room, kantor2 dll.

Tugas para Veteran

Dalam pidato peresmiannya Presiden Soeharto mengatakan bahwa tugas memelihara dan meneruskan “jiwa 45″ merupakan tugas sangat penting dari Veteran pejoang kemerdekaan.

“Dengan berhasilnya tugas itu” demikian kepala negara “para Veteran tidak hanya akan meninggalkan warisan kebendaan yang bagaimanapun kuatnya akan dikalahkan oleh alam”.

“Yang diwariskan para veteran justru semangat bangsa Indonesia yang tidak pernah padam yang dapat menuntun generasi2 yad. untuk membangun masa depannya dengan lebih baik, maju, sejahtera dan adil,” demikian Presiden Soeharto.

Persembahan Ny. Tien Soeharto

Nyonya Tien Soeharto dalam kesempatan itu mempersembahkan sebuah sajak yang dibacakan oleh seorang siswi Sekolah Lanjutan Atas dengan suara yang lantang dan bersemangat hingga mencekal hadirin.

Sajak berjudul “Tumbal Darah” itu mengisahkan semangat berjoang dan rela berkorban dari pejuang2 Indonesia selama kemerdekaan.

Upacara diakhiri dengan peninjauan oleh Presiden Soeharto di tingkat 17 gedung tersebut presiden menyaksikan pemandangan yang hampir menyeluruh dari Ibukota, bahkan Laut Jawa dan beberapa pegunungan di Jawa Barat. (DTS)

Sumber: ANTARA (12/03/1973)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 364-367.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.