SD INPRES BERBUAH AVICENA AWARD1
Pada pertengahan 1970-an, ketika berada di Cilacap, Jawa Tengah, saat meninjau SD Inpres, Presiden Soeharto rupanya melihat ketidakberesan pembangunan gedung sekolah yang disubsidi pemerintah itu. Ia menendang dinding sekolah dengan sepatunya dan ternyata dinding itu ambruk.”Siapa anemer (pemborong) bangunan ini?” tanyanya sambil sekali lagi menendang dinding yang keropos. Dia minta agar pihak pemborong bertanggung jawab terhadap bangunan tersebut.
Kepedulian Pak Harto memang sangat besar kepada pendidikan dasar di Indonesia. Warisan Pak Harto di sektor pendidikan menjadi catatan emas dalam perjalanan bangsa. Perjalanan itu dimulai dari program wajib belajar. Program wajib belajar yang dimulai Pak Harto pada akhir Pelita III telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar.
Sebelum adanya wajib belajar dicanangkan, upaya peningkatan kualitas pendidikan dasar didahului dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Tujuan penerbitan kebijakan ini adalah untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasailan rendah.
Di era Pak Harto, pelaksanan tahap pertama program SD Inpers adalah pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing memiliki tiga ruang kelas. Ketika itu Indonesia baru saja mendapat limpahan dana hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya. Uang itu kemudian digunakan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, salah satunya pendidikan.
Pada tahap awal pelaksanaan program SD Impres, hampir setiap tahun, ribuan hingga puluhan ribu gedung sekolah dibangun. Pembangunan paling besar terjadi pada priode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD baru dibuat. Hingga priode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres telah dibangun.
Seiring degan pembangunan gedung SD Inpres tersebut, ditempatkan pula satu juta lebih guru inpres di sekolah-sekolah itu. Total yang dikeuarkan untuk progam ini hingga akhir Pembangunan Jangka Pajang (PJP) I mencapai hampir Rp6,5 triliun.
Setelah perluasan kesempatan belajar, sasaran perbaikan bidang pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Kenyataan bahwa masih banyak penduduk buta huruf ditanggapi pemerintahan HM Soeharto dengan pecanangan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Tekniknya adalah dengan pembetukan kelompok belajar atau “Kejar”.
Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi masyarakat yang buta huruf yang beruia 10-45 tahun. Tujuannya, mereka akan mampu membaca serta menulis huruf dan angka latin. Tutor atau bimbingan setiap kelompok adalah siapa saja yang berpendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah serta dan waktu pelaksaan setiap Kejar bersifat fleksibel. Hingga saat ini program Kejar yang sudah semakin berkembang masih tetap dijalankan.
Keberhasilan program Kejar salah satunya terlihat angka stastistik penduduk buta huruf yang menurun. Pada Sensus 1971, dari jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang bersetatus buta huruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut Sensus 1980, persentase itu menurun menjadi 28,8 persen. Hingga sensus berikut tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.
Menyimak ketiga program pendidikan populer yang terbit era Pak Harto itu, bisa disimpulkan, Presiden kedua Indonesia ini cukup menganggap penting bidang pendidikan . Penekanannya baru sebatas upaya peningkatan angka-angka indikator pendidikan. Dan ini memang menjadi fokus pembangunan pendidikan saat itu, yaitu peningkatan secara kuantitatif, belum memerhatikan kualitas atau mutu pendidikan.
Pada tahun 1984 dengan program SD Inpresnya, Pak Harto mendapatkan penghargaan Avicienna Award dari UNESCO. Waktu itu tidak banyak negara yang mendapatkan penghargaan tersebut.
Nama Penghargaan : The Avicena Award
Pemberi : UNESCO (United Nation Education, Scientific Culture Organisation)
Diberikan kepada : Presiden Suharto
Tanggal : 19 Juni 1993
Penghargaan Medali Emas yang diterima pada 19 Juni 1993 dari UNESCO (United Nation Education, Scientific Culture Organisation). Dr Fredico Mayor, Dirjen UNESCO, memberikan “The Avicena Award” kepada Presiden Soeharto dalam Pembangunan Bidang Pendidikan untuk Rakyat.
Catatan UNESCO menyebutkan Indonesia dalam konsep pembangunan bidang pendidikan sejak tahun 1970-an telah mewujudkan kebijakan wajib belajar 6 tahun dan pembangunan sarana dan prasarana sekolah dasar dengan dibangunnya SD Inpres serta perbaikan kualitas guru dan kurikulum Sekolah Dasar.
Keberhasilan kebijakan wajib belajar 6 tahun itu dikonsolidasikan dengan program anak asuh yang dirancang untuk meningkatkan mutu pendidikan di kalangan keluarga miskin dan memuji keberhasilan Indonesia dalam memberantas buta huruf.
Dengan penghargaan itu, UNESCO menjadikan Indonesia contoh pembangunan pendidikan. UNESCO menilai Indonesia berhasil dalam pembangunan bidang pendidikan, terutama bagi pendidikan dasar. Untuk itu UNESCO akan menjadikan Indonesia sebagai percontohan dalam pembangunan pendidikan di negara berkembang yang padat penduduk.
1Sumber: Harian Pelita 15 Februari 2013
Satu pemikiran pada “Presiden Soeharto, SD Inpres dan Avicena Award”
mohon bantuannya untuk mendapatkan akta pendirian sd inpres dengan tgl berdirinya 01 juli tahun 1982